Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Sesampainya di lokasi syuting, Adam lekas mengganti pakaiannya di kamar ganti.
Setelah selesai mengganti pakaiannya, Adam keluar dan duduk sambil menunggu giliran.
Adam membaca skenario yang akan ia mainkan dan disana bersaman managernya datang dan duduk disampingnya.
"Adam, kamu sudah sarapan?" tanya Widi.
Adam menggelengkan kepalanya dan masih fokus membaca skenarionya.
"Ayo, kita cari sarapan dulu." ajak Widi.
Adam menganggukkan kepalanya pelan, lalu melipat skenario di tangannya.
“Baiklah, kita cari sarapan,” ucap Adan dengan suara datar.
Adam menatap salah satu kru dan tersenyum tipis.
Ia berdiri dan berjalan bersama Widi menuju area parkiran.
Mereka masuk ke dalam mobil, Widi duduk di kursi kemudi, sementara Adam duduk di kursi penumpang depan.
Widi menghidupkan mesin mobilnya dan disaat bersamaan ada tangan yang langsung menutup mulut Adam.
"MMMMPPHH!"
Adam mencoba memberontak dengan menendang dashboard mobil.
Tetapi usahanya sia-sia dan dalam hitungan detik ia langsung jatuh pingsan.
"Istirahatlah Adam," ucap Widi sambil melajukan mobilnya ke suatu tempat.
Seseorang yang tadi membius Adam langsung tersenyum tipis.
"Kerja yang bagus, sayang." ucap Widi sambil melihat kaca spion.
Rubby menganggukkan kepalanya dan ia kembali duduk dengan tenang.
Beberapa jam kemudian mereka telah sampai di sebuah apartemen yang sudah tidak terpakai.
Widi turun dari mobil dan memanggil anak buahnya untuk membawa Adam yang pingsan.
Rubby menggenggam tangan Widi dan ikut masuk kedalam apartemen.
Anak buah Widi menyeret tubuh Adam yang masih pingsan ke dalam ruangan tua di lantai dua apartemen terbengkalai itu.
Bau lembap dan karat memenuhi udara. Sebuah kursi kayu sudah disiapkan di tengah ruangan, di bawah lampu gantung yang berayun pelan.
“Ikat dia,” perintah Widi dingin.
Tali kasar melilit kedua tangan dan kaki Adam dengan kuat.
Suara gesekan tali menambah suasana mencekam.
Setelah semuanya selesai, Widi mengambil sebotol air dari ember di pojok ruangan, lalu menyiramkan isinya tepat ke wajah Adam.
BYUR!
Adam kegelagapan saat air dingin menyiram wajahnya.
Ia melihat dirinya dalam kondisi terikat di ruangan yang tidak pernah ia kenal.
"Widi, apa yang kamu lakukan? LEPASKAN AKU!!"
Widi tersenyum miring, menatap Adam yang kini mulai sadar dan berusaha meronta.
“Tenang, Adam. Kita cuma mau bicara sebentar,” ucapnya dingin sambil berjalan pelan mengelilingi kursi tempat Adam diikat.
“Widi, apa maksudmu ini?!” teriak Adam dengan suara serak.
Widi menghentikan langkahnya, menatap tajam ke arah Adam.
“Adam, dimana Flashdisk itu? Di mana kau menyembunyikannya?”
“Flashdisk? Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan!”
Rubby, wanita berambut pirang yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan, melangkah maju.
“Jangan main-main denganku, aktor manis. Kamu tahu apa yang terjadi pada orang yang berbohong pada Salvatore.” ucap Rubby sinis sambil menepuk pipi Adam dengan ujung jarinya.
Adam langsung terdiam saat mendengar nama Alvatore yang disebut oleh Rubby.
Ceklek!
Suara pintu terbuka dan mereka masuk ke dalam apartemen.
Adam membelalakkan matanya saat puluhan temannya juga berada disana.
"Apakah dia sudah mengaku?" tanya Sisil sambil mendekat ke arah Adam yang terikat.
Sisil berjalan perlahan mendekati Adam sambil membawa sebuah botol kaca berisi cairan bening.
Senyumnya dingin, matanya penuh amarah yang ditahan.
“Kalau kau tidak mau bicara baik-baik, kita lakukan dengan cara yang berbeda,” ucap Sisil dengan nada mengancam.
Ia menuang cairan itu ke dalam gelas dan menatap Adam tajam.
“Minum ini. Sekarang!"
“Tidak! Aku tidak akan minum minuman itu!"
Adam menggelengkan kepalanya dan menolaknya.
Namun Widi memegang dagunya dengan paksa, sementara Rubby menarik rambutnya dari belakang.
Cairan itu dituangkan ke mulut Adam dengan paksa.
Adam berusaha memuntahkannya, tapi sebagian besar sudah masuk ke tenggorokannya.
Rasa panas dan pahit segera menjalar, membuat pandangannya mulai kabur.
Sisil berjongkok di depannya dan langsung menyuntikkan narkotika ke lengan Adam.
“Sekarang, di mana flashdisk itu, Adam?”
Adam menggigit bibirnya, mencoba melawan efek mabuk dan obat yang mulai membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia hanya menggeleng lemah.
“A-aku tidak tahu...” gumamnya dengan suara serak.
Sisil mendengus kesal dan kembali menyuntik obat ke lengan Adam.
“Buka ikatannya. Aku ingin lihat sejauh mana dia bisa bertahan.”
Widi ragu sejenak, tapi akhirnya menuruti perintah Sisil.
Begitu tali dilepaskan, Adam langsung jatuh tersungkur ke lantai.
Dalam satu gerakan cepat, ia mendorong tubuh Sisil dengan sekuat tenaga hingga wanita itu terjatuh ke belakang dan membentur meja.
Rubby berteriak, sementara Widi berusaha menarik Adam, tapi terlambat.
Adam merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah flashdisk kecil berwarna hitam.
Semuanya terhenti sejenak dan semua mata tertuju padanya.
“Ini yang kalian cari, kan?” ucap Adam dengan suara bergetar namun tegas.
Sebelum siapapun sempat bereaksi, Adam langsung menelan flashdisk itu.
“Sekarang, kalian tidak akan pernah mendapatkannya,” katanya dengan sisa tenaga.
“BANGSAT!!!” teriak Widi sambil berlari menghampirinya.
Adam menendang kursi dan berlari ke arah tangga darurat, tubuhnya limbung karena alkohol dan rasa mual.
Sisil bangkit dengan wajah penuh darah dan amarah.
“KEJAR DIA!”
Suara langkah kaki menggema di koridor apartemen tua itu.
Adam berusaha menuruni tangga dengan nafas yang terengah-engah.
Sebelum ia sempat mencapai pintu keluar, Widi melompat dari belakang dan menubruknya keras.
Mereka bergulat di lantai berdebu, hingga akhirnya Widi berhasil menekan tubuh Adam ke tanah.
“Sudah cukup main drama, aktor,” ucap Widi dingin sambil mengeluarkan pistol dari pinggangnya.
Adam menatapnya lemah, darah mengalir di sudut bibirnya.
“Kalau aku mati, seseorang akan tahu semuanya.” bisiknya pelan.
Rubby menekan saputangan ke wajah Adam yang akan melarikan diri
Bau menyengat dari cairan bius segera memenuhi hidungnya.
“MMMMPHH—”
Perlawanan Adam melemah. Tubuhnya jatuh lemas di pelukan Widi.
“Cepat panggil dokter,” ucap Widi dingin, suaranya bergetar di antara panik dan keserakahan.
“Kalau flashdisk itu benar dia telan, kita harus keluarkan sekarang juga.”
Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas putih dengan masker masuk ke ruangan.
Tangannya sudah bersarung lateks, dan di belakangnya dua anak buah membawa meja logam penuh peralatan bedah.
“Dia masih hidup?” tanya dokter.
“Untuk saat ini, ya. Tapi jangan terlalu berharap banyak,” jawab Rubby dengan nada sinis.
Mereka membaringkan Adam di atas meja logam dingin.
Lampu gantung diarahkan tepat ke wajahnya
yang pucat.
Dada Adam naik-turun pelan, napasnya berat, sesekali mengerang tak sadar.
"Tunggu dulu! Sebelum dia dioperasi aku akan bermain dengannya." ucap Robby.
Rubby dan Sisil tersenyum tipis saat mendengar perkataan Robby.
Sisil mengajak Rubby ke kamar sebelah dan mereka memutar lagu yang sangat keras.
Robby, Widi, dan kesepuluh lelaki lainnya melakukan hubungan yang tidak semestinya.
Mereka memperkosa Adam seperti sampah yang tidak berguna.
Adam yang sudah sadar hanya bisa berteriak kesakitan.
"A-aku akan membalas kalian semua!" ucap Adam dengan suara lirih.
Setelah hampir satu jam mereka melakukan kekejaman kepada Adam.
Widi keluar dengan tidak memakai sehelai apapun.
"Dokter, lekas operasi dia dan ambil flashdisk itu."
Dokter menganggukkan kepalanya dan mengoperasi Adam.
Tanpa tindakan anastesi, dokter mengambil pisau bedah dan langsung membuka perut Adam.
Adam berteriak kesakitan saat dokter melakukan tindakan yang sangat keji.
"Sania, aku sangat mencintaimu." ucap Adam yang langsung memejamkan matanya dengan air matanya yang mengalir.
Dokter memeriksa denyut nadi Adam yang sudah tidak ada.
Widi masuk dan ia tersenyum saat melihat Adam yang sudah meninggal dunia.
Ia mengambil sarung tangan dan masuk ke perut Adam untuk mengambil flashdisk.
"Terima kasih, Adam." ucap Widi sambil mencium bibir Adam
Adam meminta mereka untuk membuang Adam lewat jendela apartemen lantai enam.
"Buat seolah-olah ia mabuk dan jatuh dari apartemen." ucap Widi.
Robby, Darwis dan yang lainnya membawa tubuh Adam yang sudah dibersihkan dan perut juga sudah diperban.
Setelah itu mereka membawa jasad Adam ke apartemen lainnya.
Di dalam mobil mereka tertawa terbahak-bahak merayakan kematian Adam.
Mereka menunggu waktu yang tepat untuk membuang jasad Adam.
Jam menunjukkan pukul dua pagi dan mereka langsung keluar dari mobil.
Mereka bertiga membawa jasad Adam dan tanpa menunggu lagi mereka melemparkan jasad Adam dan meninggalkannya begitu saja.