Setelah Lita putus asa mencari keberadaan Tian, suaminya yang tidak pulang tanpa kabar, Lita tidak tahu harus kemana dan bagaimana agar bisa mencukupi kebutuhan hidup karena tidak bisa bekerja dalam kondisi hamil, tetapi juga tidak bisa melihat anak sulungnya kelaparan.
Di ujung keputusasaan, Lita bertemu Adrian, pria yang sangat ia takuti karena rasa sakit dan kekecewaan di masa lalu hingga membuatnya tidak mau bertemu lagi. Tetapi, Adrian justru bahagia bisa bertemu kembali dengan wanita yang bertahun-tahun ia cari karena masih sangat mencintainya.
Adrian berharap pertemuan ini bisa membuat ia dan Lita kembali menjalin hubungan yang dulu berakhir tanpa sebab, sehingga ia memutuskan untuk mendekati Lita.
Namun, apa yang Adrian pikirkan ternyata tidak seindah dengan apa yang terjadi ketika mengetahui Lita sudah bersuami dan sedang mencari keberadaan suaminya.
"Lita, jika aku harus menjadi suami ke-duamu, aku akan lakukan, asalkan aku bisa tetap bersamamu," ucap Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HM_14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Bertemu Lita
Adrian mengulurkan satu tangannya untuk membuka pintu depan mobil, lalu duduk di kursi dan bersiap untuk pergi.
Tok ... Tok ....
Adrian menurunkan kaca jendela untuk melihat Dava. "Ada apa?"
"Tunggu, Om, jangan pulang dulu!"
"Aku janji, lain kali aku akan mengunjungi rumahmu." Adrian mengira Dava mengetuk jendela untuk mengundangnya masuk ke rumahnya lagi.
"Iya, Om."
"Oke, aku pergi sekarang," pamit Adrian.
"Tapi, Om—"
Adrian tersenyum bahagia di balik kertas karena Dava tampak sangat enggan berpisah dengannya meskipun ini adalah pertemuan pertama mereka.
"Mau jalan-jalan bersamaku?" tawar Adrian dengan percaya diri, memotong ucapan Dava.
"Tidak, Om."
Adrian tersenyum lagi. "Kalau begitu aku pulang, ya?"
"Jangan pulang dulu, Om!"
"Dava, aku masih bekerja, jadi aku tidak bisa lama-lama di sini," Adrian menjelaskan karena Dava terus mengatakan padanya untuk tidak pulang.
"Ya, aku mengerti, O—"
"Dava, kamu tidak bisa memaksanya, oke!" Lita menyela dengan lembut karena dia juga berpikir Dava tidak ingin Adrian pergi.
Suara lembut Lita membuat Adrian tersenyum manis, bahkan sangat ingin memeluk dan merasakan belaian yang dulu selalu membuatnya merasa nyaman.
"Kelembutannya tidak pernah berubah," ucap Adrian dalam hati.
"Om!" panggil Dava.
"Ya?" jawab Adrian.
Dava baru saja membuka mulutnya untuk berbicara, tapi sekali lagi ucapnya disela.
"Dava, biarkan Om itu pergi," Lita meminta dengan lembut.
"Dah." Adrian kembali menutup kaca jendela mobil.
"Om, jangan pergi sebelum memberiku es krimku!" Dava berkata cepat karena takut kata-katanya akan terputus lagi.
Adrian langsung menghentikan jendela mobil yang hampir tertutup sepenuhnya setelah mendengar kata-kata Dava, lalu menoleh ke jok di sampingnya.
"Bagaimana aku bisa lupa es krimnya?" Adrian berpikir dalam hati dengan senyum aneh, menertawakan kebodohan dirinya sendiri karena terlalu yakin bahwa Dava masih ingin bersamanya.
Adrian mengambil semua es krim di sampingnya, lalu membuka pintu lagi dan keluar dari mobil.
"Maaf, aku melupakan ini," kata Adrian sambil menyerahkan semua es krim di tangannya.
Dava tersenyum lebar saat menerima hadiah Adrian. "Terima kasih, Om," katanya kegirangan.
Lita dan Adrian saling tersenyum, melihat kebahagiaan Dava. Meskipun Lita tidak bisa melihat senyuman Adrian karena tertutup kertas, tapi ia tahu Adrian sedang tersenyum dari matanya yang menyempit.
"Aku pulang," pamit Adrian ke sekian kali.
"Dadah, Om," Dava melambaikan tangan pada Adrian.
"Dah," jawab Adrian.
Adrian menoleh ke Lita untuk berbicara. "Tolong jaga dirimu. Jangan terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu jika kamu sedang lelah, dan perbanyak istirahat"
"Ya. Terima kasih atas perhatianmu, Pak," jawab Lita.
Adrian benar-benar ingin mengusap pipi Lita dengan lembut sebagai ucapan selamat tinggal, tapi ia yakin itu akan membuatnya tidak nyaman, jadi dia harus menahan diri.
Adrian kembali ke mobilnya lalu melaju pergi karena sudah tidak ada yang tertinggal lagi di dalam mobilnya.
Lita terus menatap mobil Adrian sambil bertanya-tanya, siapa pria aneh tapi baik hati itu.
"Dava, apakah pria itu sudah memakai kertas di wajahnya sejak kita pertama kali bertemu?" tanya Lita, penasaran.
"Tidak, Ma. Om itu baru memakai kertas di wajahnya setelah dia keluar dari mobil."
“Mengapa dia menutupi wajahnya dengan kertas?”
“Aku juga tidak tahu, Ma.”
"Apa wajahnya jelek?"
"Tidak, Ma. Wajah Om itu tidak jelek sama sekali."
"lalu kenapa dia menutupi wajahnya?"
Dava mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban tidak tahu.
Lita kembali menatap bagian belakang mobil Adrian saat mobil itu pergi karena masih penasaran siapa pria itu.
Sementara itu, di dalam mobil, Adrian segera melepas kertas dari wajahnya dan menarik napas dalam-dalam karena tenggorokannya terasa sakit dan suaranya terdengar seperti orang yang sedang flu. Setelah itu, ia tersenyum pada dirinya sendiri, tertaw pada ide menutupi wajahnya dengan kertas dari kursi belakang saat dia melihat Lita berjalan tadi.
"Terima kasih sudah membantuku," kata Adrian pada kertas, lalu melemparnya ke kursi belakang sambil melihat Lita dan Dava melalui kaca spion. "Lita, aku ingin terus bertemu denganmu. Mungkin kita tidak bisa menjadi pasangan dan seakrab dulu karena kamu sudah menikah sekarang, tapi kita masih bisa menjadi teman dan tetap berhubungan baik," katanya dengan penuh ambisi.
•••••
Adrian berjalan cepat, bergegas menuju ICU tempat Erlan menunggu karena lagi-lagi ia terlambat dari waktu yang tadi siang ia janjikan.
“Semoga Erlan tidak terlalu banyak mengeluh,” gumam Adrian sambil berjalan cepat karena sudah setengah sebelas malam.
Begitu tiba di depan ruangan ICU, Adrian langsung menghubungi Erlan melalui telepon selulernya. "Aku di depan ruangan ICU."
Erlan, yang menunggu Adrian di ruangannya, segera bangun dari kursinya lalu keluar dari ruangan.
"Aku sedang dalam perjalanan ke ruang ICU," kata Erlan sambil berjalan.
"Aku tunggu!" Adrian langsung menutup sambungan telepon.
Setelah memasukkan HP ke saku depan celana, Adrian fokus menatap seorang pria yang sudah dua Minggu terbaring di tempat tidur ICU.
"Semoga tidak terjadi hal fatal padamu," kata Adrian.
Saat Adrian menatap intens ke arah ruangan ICU, tiba-tiba seseorang menepuk bahu kanannya, hingga membuatnya menoleh.
"Kenapa kamu terlambat?" tanya Erlan langsung begitu Adrian menoleh.
"Maaf, aku tidak bisa meninggalkan pasienku di Rumah Sakit Medika Rose karena aku benar-benar lupa datang ke sini, jadi aku tidak bisa pulang tepat waktu," jawab Adrian, berbohong. Sebenarnya, dia tidak punya banyak pasien di rumah sakit hari ini, tapi dia menghabiskan sebagian besar waktunya memikirkan cara agar bisa bertemu Lita besok.
"Jadi kalau aku tidak mengirim chat, kamu tidak akan datang ke sini?"
Adrian tersenyum terima salah. "Maaf."
Erlan menarik napas dalam-dalam, berusaha bersabar dengan jawaban Adrian. "Kamu yang punya masalah, tapi kenapa aku yang antusias dengan orang itu?" Mata Erlan melirik ke ruang ICU untuk menunjukkan siapa yang dia maksud.
"Bagaimana kondisinya?"
"Seperti yang kamu lihat. Dia masih tidur nyenyak di ICU."
"Apakah kondisinya belum membaik sampai sekarang?"
"Belum."
"Apa ada hal fatal yang terjadi padanya?"
"Pria itu mengalami cedera kepala parah yang menyebabkan otaknya membengkak. Kemudian, karena pembengkakan tersebut, cairan di otak secara otomatis menekan tulang tengkorak hingga akhirnya menekan batang otak dan merusak Sistem Aktivasi Retikuler, atau bagian otak yang bertanggung jawab untuk menjaga kesadaran seseorang. Rekanku mengatakan, bahwa sejak pria ini pertama kali dirawat, dia tidak menunjukkan kemajuan atau perbaikan apa pun, dan rekanku yang lainnya meragukan dia bisa sadar kembali," jawab Erlan.
"Apakah belum ada keluarga yang mencarinya?"
"Belum. aku juga mulai ragu apakah dia memiliki keluarga."
Adrian mengerutkan kening heran. "Ragu kenapa?"
"Karena sudah dua minggu dia di sini, tapi tidak ada kabar tentang siapa pun yang mencarinya."
Adrian diam, memikirkan apa yang dia ketahui tentang pria yang sudah ia celakai.
"Apa yang akan kamu lakukan untuk pria itu selanjutnya?" tanya Erlan ketika melihat Adrian diam.
Adrian tetap diam karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana melakukannya. Dia terlalu penakut untuk mengambil tindakan tegas dengan melibatkan polisi, karena dia tidak ingin citranya tercoreng dan karirnya hancur jika terlibat dengan hukum. Tapi dia juga merasa kasihan pada keluarga pria itu, yang mungkin sedang menunggunya pulang.
"Bagaimana jika pria itu meninggal pada Minggu ini? Siapa yang akan kamu hubungi untuk memberitahu keluarganya, sedangkan kamu tidak tahu identitasnya?"
Adrian menarik napas dalam-dalam untuk mengungkapkan apa yang ia sembunyikan tentang pria itu dari awal mencelakainya.
"Sebenarnya, aku mengenal pengendara motor itu," kata Adrian dengan berat hati.