NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:680
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saat Dunia Menyerang

Dua hari kemudian..

Pagi itu Luna, berencana tidak datang lagi ke tempat Orion. Hati kecilnya selalu tidak tenang meninggalkan pria itu. Tapi,mengingat ucapan Orion membuat Luna memilih untuk tetap diam dirumah.

Luna berdiri di halaman, menjemur pakaian sambil menatap ke arah rumah sakit dari kejauhan. Sudah dua hari ia tidak melihat Orion, dan rasa sesak itu terus menempel di dadanya.

Dia menatap ponselnya tidak ada pesan masuk dari Orion. Padahal, biasanya Orion selalu mengirim pesan singkat setiap malam, walau hanya menanyakan hal sepele seperti “kamu makan?” atau “jangan lupa istirahat.”

Luna menarik napas pelan, menatap langit.

Namun langkah kakinya terhenti ketika dari arah pagar, seorang wanita mendekat dengan langkah cepat dan wajah marah. Tatapannya tajam, suaranya berat, penuh emosi.

“Kamu Luna Carter?” Nada itu bukan pertanyaan lebih seperti tuduhan.

Luna mengernyit. “Iya, ada apa ya, Mam?”

Wanita itu langsung melangkah lebih dekat, jaraknya kini hanya beberapa langkah dari Luna.

“Aku tahu kamu! Kamu perempuan yang menghancurkan rumah tanggaku!”

Suaranya meninggi, dan sebelum Luna sempat bereaksi, tangan wanita itu menampar pipinya keras.

“Mam,tunggu, saya nggak—”

Tamparan kedua datang bahkan sebelum Luna bisa menyelesaikan kalimatnya. Rasa perih menjalar di pipinya, dan napasnya tercekat.

“Bukankah sudah aku katakan untuk pergi dari sink. Jika aku sampai melihatmu, aku akan menghabisi mu. Setelah tidak berhasil dengan suamiku, sekarang kamu mendekati pembalap itu! Dasar perebut suami orang! Dasar wanita murahan!!" Wanita itu menjerit, emosinya meledak.

Mendengar ucapannya Luna sadar, siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Dia istri dari Raymond Blake, Luna berusaha mundur, tapi tangannya ditarik kasar. Rambutnya dijambak, tubuhnya didorong sampai terjatuh di rumput.

“Berhenti!” teriak Luna, matanya berkaca-kaca. “Saya nggak kenal Anda!”

Namun wanita itu tidak mendengar — atau tidak peduli.

Pukulan lain mendarat di pipinya, keras, membuat Luna meringis dan berusaha menutupi wajahnya dengan tangan.

Sementara itu, di sisi lain halaman, Orion berjalan pelan dengan tongkatnya.

Langkahnya berat, tapi tekadnya lebih kuat.

Beberapa menit sebelumnya, ia mengirim pesan ke Luna:

Orion: “Aku mau datang. Aku harus bicara langsung. Jangan pergi dulu, ya.”

Pesan itu tidak dibaca.

Sudah dua puluh menit berlalu.

Rasa gelisah membuatnya nekat keluar, bahkan tanpa izin Damian.

Kakinya masih nyeri, tapi ia tidak peduli.

Namun langkahnya terhenti begitu mendengar suara jeritan dari arah halaman belakang.

Suara itu…

Luna.

“Luna?”

Orion menegakkan tubuhnya, wajahnya menegang.

Jeritan itu kembali terdengar — lebih keras, bercampur suara benturan.

Tanpa pikir panjang, Orion mempercepat langkahnya.

Kakinya gemetar hebat, rasa sakit menjalar sampai ke punggung, tapi ia terus berjalan.

Dan saat ia sampai di halaman, dunia seolah berhenti.

Luna terduduk di tanah, rambutnya acak-acakan, wajahnya memerah penuh luka.

Di depannya, seorang wanita masih berteriak-teriak, hendak memukul lagi.

“Cukup!” teriak Orion.

Wanita itu menoleh cepat — tapi sebelum sempat bicara, Orion sudah maju.

Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia mendorong wanita itu menjauh dari Luna.

Dorongannya keras — cukup untuk membuat wanita itu jatuh tersandung beberapa langkah.

Luna mendongak, matanya membulat melihat Orion berdiri di sana dengan wajah tegang, tubuhnya gemetar menahan sakit.

“Rion! Jangan—kakimu!” jerit Luna.

Tapi Orion tidak mendengarnya.

Ia berdiri di depan Luna, melindunginya dengan tubuhnya yang masih lemah.

“Jangan sentuh dia lagi!”

Suara Orion rendah tapi menggelegar.

Wanita itu bangkit, wajahnya memerah penuh emosi. “Kamu siapa?! Pembela pelacur ini, hah?!”

Tanpa ragu, dia kembali maju dan mendorong Orion dengan keras.

Tubuh Orion oleng, kehilangan keseimbangan, lalu jatuh menghantam tanah.

“Rion!!”

Luna menjerit, panik. Ia langsung merangkak ke arahnya, memeluk bahu Orion.

Pria itu mengerang, wajahnya memucat, tangan kirinya mencengkeram kakinya yang kembali berdenyut hebat.

“Aaaahh—” napasnya terputus-putus.

Rasa sakitnya begitu tajam, seperti disayat dari dalam.

“Diam, jangan gerak dulu!” Luna menangis, suaranya histeris. “Tolong! Ada orang!! Tolong!!”

Teriakannya menggema di sekitar halaman.

Beberapa detik kemudian, suara langkah cepat terdengar dari arah koridor — seorang perawat dan dua security datang berlari.

Wanita itu masih berteriak, berusaha mendekat lagi, tapi security langsung menahan kedua lengannya.

“Bu, cukup! Anda sudah melampaui batas!”

Wanita itu terus berontak, tapi akhirnya dibawa pergi sambil mengumpat keras.

Luna tetap di tempatnya, memegangi Orion yang menggeliat lemah di tanah.

Tangannya gemetar, air mata jatuh ke wajah Orion yang basah keringat.

“Rion, tahan ya… aku di sini,” bisiknya dengan suara parau. “Aku nggak akan ninggalin kamu.”

Orion memaksa tersenyum meski wajahnya menegang kesakitan.

“Kamu… gila… keluar sendirian kayak gini,” suaranya lemah tapi lembut.

Luna menggeleng cepat, air mata masih mengalir. “Aku cuma mau tenang, aku nggak nyangka ada orang yang nyerang aku.”

“Kamu… nggak apa-apa?”

Suara itu nyaris seperti bisikan.

Luna menatapnya, lalu menunduk, menempelkan dahinya di bahu Orion. “Aku yang harusnya nanya begitu…”

Damian datang terburu-buru bersama tim medis.

Begitu melihat keadaan itu, ia langsung berjongkok.

“Cepat, bawa tandu! Luka kakinya kambuh!”

Luna tak mau melepas genggamannya.

Baru ketika Orion diangkat ke tandu, ia ikut berjalan di sampingnya, menahan tangis.

Beberapa jam kemudian…

Ruangan rehabilitasi kini sunyi.

Orion sudah mendapat suntikan pereda nyeri, tapi wajahnya masih pucat.

Di sisi ranjang, Luna duduk dengan wajah bengkak dan bibir pecah.

Ia belum berganti pakaian, hanya diam, memegang tangan Orion erat.

Damian berdiri di depan pintu, mengamati mereka berdua dalam diam.

Luna masih menangis pelan, tapi kali ini bukan karena takut.

Karena baru saja ia sadar…

meski terluka, meski hampir jatuh,

orang itu tetap berdiri untuk melindunginya.

Orion menatapnya dari ranjang, mata mereka bertemu.

Suaranya pelan, tapi penuh makna.

“Aku janji, Luna… mulai sekarang aku nggak akan biarin kamu diserang sendirian lagi.”

Air mata Luna kembali jatuh, tapi kali ini disertai senyum kecil.

Senyum yang untuk pertama kalinya — bukan karena luka, tapi karena ia tahu:

mereka tidak sendirian lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!