Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Beginning'5
Raja Iblis, yang melihat R.I. dan Araya berbicara, menjadi sangat marah. "Apa yang kalian bisikkan?!" teriaknya, suaranya menggelegar di seluruh ruangan. "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku dengan obrolan rendahan itu?" Aura kegelapan di sekitarnya semakin pekat, dan ia bersiap untuk menyerang.
Araya dan R.I. tidak membalas. Mereka tahu, saatnya berbicara telah berakhir. Kini, hanya ada satu hal yang bisa mereka lakukan: bertarung.
Araya mengambil posisi bertarung, pedangnya diacungkan. R.I. mengarahkan meriamnya. Mereka berdua berdiri berdampingan, siap untuk menghadapi pertempuran terakhir.
Pertarungan dimulai. R.I. kembali melempar meriam ke arah Raja Iblis. Namun, tepat sebelum meriam itu mengenainya, R.I. berteleportasi, muncul di tempat meriam itu akan meledak. Ia melepaskan meriamnya, dan meriam itu menghilang, digantikan oleh pedang yang telah diberikan oleh Araya.
Dengan cepat, R.I. melancarkan serangannya, bergabung dengan Araya. Serangan gabungan mereka membuat sang raja kewalahan.
Sang Raja Iblis menggeram, "Apa yang kau lakukan?! Bagaimana kau bisa secepat ini?"
R.I. hanya tersenyum sinis. "Kau terlalu fokus pada satu titik, Raja. Kau tidak akan pernah bisa melacakku," jawabnya.
Araya melancarkan teknik pedang klan Yamada, mengikat Raja Iblis dengan bilah-bilah darah, sementara R.I. melancarkan serangannya.
"Sekarang!" seru R.I. Ia kembali mengeluarkan meriamnya dan melemparkannya ke atas.
Araya melompat dan memijakkan kakinya di atas meriam itu. Dengan lincah, R.I. menghempaskan Araya ke arah Raja Iblis.
Araya melancarkan serangan pamungkasnya, Dread Blood, sebuah teknik yang kuat. R.I. mengikutinya, menyerang sang raja dengan cepat.
Serangan gabungan mereka menciptakan gelombang energi yang luar biasa. Sang raja tidak bisa menghindarinya. Ia terkena serangan itu dengan telak, tubuhnya ambruk, dan kekuatan iblis yang ia serap mulai menghilang. Araya dan R.I. berdiri di atas tubuhnya yang tidak bergerak. Mereka tahu, pertempuran ini telah berakhir, dan tirani Raja Iblis akhirnya hancur.
Tiba-tiba, di luar kastil, fenomena aneh terjadi. Semua prajurit yang telah terkontaminasi iblis di luar kastil lenyap, hanya menyisakan baju zirah kosong mereka. Roseline, yang menyaksikan pemandangan itu, segera menyadari apa yang terjadi.
...
...
"Mereka berhasil," gumamnya. "Araya telah berhasil mengalahkan Raja Tirani." Otsuki, Jeon, Irene yang berada di dekatnya mengangguk, hati mereka dipenuhi kelegaan. Kemenangan itu adalah tanda bahwa tirani yang telah lama berkuasa akhirnya berakhir.
...
...
...
...
Sementara itu, Riana dan Ninaya keluar dari kastil bersama para tahanan yang telah mereka bebaskan. Riana, yang menggendong adiknya, merasa lega.
Gadis yang ia yakini sebagai adiknya itu, akhirnya membuka mata. "Kakak... Riana?" bisiknya.
Riana tidak bisa menahan air matanya. "Raina," jawabnya. "Aku ingat namamu. Aku sudah lama mencarimu, Raina." Pertemuan kembali itu adalah sebuah keajaiban di tengah kekacauan.
...
...
Raina tersenyum, senyum yang begitu tulus. "Aku tahu kau akan datang, Kakak. Aku tidak pernah kehilangan harapan," katanya.
Ninaya, yang menyaksikan momen haru itu, tersenyum. "Kalian berdua sangat mirip," ucapnya. Mereka semua merasa bahagia melihat Riana dan adiknya bersatu kembali.
Kastil yang dulunya gelap dan menakutkan, kini disinari oleh cahaya harapan. Kemenangan itu adalah awal dari era baru, era di mana mereka semua bisa hidup bebas dan damai, tanpa rasa takut. Janji yang telah mereka buat kepada Yukio kini terpenuhi.
...
...
Ninaya melangkah mendekat dan duduk di samping Nuita, dan bersama-sama mereka tertawa lepas, melepaskan semua beban emosi yang selama ini mereka pikul, sambil merasakan semilir angin kemenangan yang berembus di sekitar mereka setelah kerja keras yang panjang, dengan latar belakang sorak-sorai gembira orang banyak yang merayakan.
Araya dan R.I. akhirnya tiba di luar kastil, disambut teman-teman mereka yang telah menunggu. Kemenangan terukir jelas di wajah mereka.
Araya menatap mereka semua dengan senyum lega. "Ada yang bisa kubantu sebagai ucapan terima kasih?" tanyanya.
R.I. tidak membuang waktu. "Bantu aku mendekati Evelia," katanya tanpa ragu.
Araya terkekeh. "Dengan senang hati," jawabnya.
Araya lalu meminta R.I. untuk menemui yang lain lebih dulu, sementara ia ingin beristirahat sejenak. Ia duduk di reruntuhan dinding kastil yang hancur, memandang ke langit.
...
...
Pikirannya melayang, mengingat kembali janji dan kata-kata dari orang-orang yang ia cintai. Ia bergumam pelan. "Aku harap Irago sudah makan di sana..." Lalu ia terkekeh. "Dan kuharap Ibu Yukio sudah tidur siang..."
Meskipun kesedihan masih terasa, hati Araya kini lebih ringan. Ia tahu ia telah memenuhi janjinya. Ia membalas dendam untuk Irago dan mewujudkan impian Yukio. Ia telah membawa perdamaian ke benua ini, dan kini ia bisa memulai babak baru dalam hidupnya.
Sementara itu, R.I. berjalan menghampiri Evelia, yang tampak malu-malu. Ia tahu bahwa ia akan memulai sebuah hubungan baru, sebuah hubungan yang akan mengisi kekosongan di hatinya. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian, dan ia memiliki teman-teman yang akan membantunya.
Evelia, yang merasakan pipinya memerah, mencoba berlagak cuek dan membuang muka. Namun, dua prajurit wanita yang adalah teman Eveliana tidak membiarkannya. Mereka berdua terkikih geli, dan dengan nakal mendorong Evelia hingga ia terpaksa mendekati R.I.
...
...
"Ayolah, Evelia! Jangan malu-malu begitu!" goda salah satu prajurit wanita yang ceria. Evelia hanya bisa mendengus kesal, sementara R.I. tersenyum tipis, merasa terhibur dengan tingkah laku mereka.
Melihat tingkah lucu mereka, yang lain tak bisa menahan tawa. Beban yang selama ini mereka pikul akhirnya terangkat. Mereka semua tertawa lepas, menikmati momen kebahagiaan yang langka ini. Untuk sesaat, mereka melupakan semua duka dan penderitaan yang telah mereka alami, hanya fokus pada kebahagiaan saat ini.
Di sisi lain, Araya yang duduk sendirian di reruntuhan, kembali menangis. Kali ini bukan karena duka, melainkan karena kelegaan. "Kami berhasil... kami berhasil..." bisiknya berkali-kali, air mata mengalir membasahi wajahnya. Ia tahu bahwa ia telah memenuhi janji-janjinya. Ia telah membalas kematian Irago, dan ia telah mewujudkan impian Yukio.
Setelah beberapa saat, Araya bangkit dan berjalan ke arah teman-temannya. Ia menatap mereka semua dengan tatapan penuh tekad. "Aku akan memimpin benua ini," katanya. "Aku akan menamainya Benua Shirayuki Sakura." Ia melanjutkan, "Dan militer kita akan bernama Kingsguards. Benua ini sekarang akan terbagi menjadi tiga wilayah: Suzaku, Insomnia, dan Niflheim." Kata-kata Araya dipenuhi keyakinan. Mereka semua mengangguk, siap untuk mengikuti Araya dan membangun kembali dunia yang lebih baik.
Setelah Araya mengumumkan nama baru untuk benua dan pembagian wilayahnya, semua warga yang telah dievakuasi keluar dari tenda-tenda darurat mereka. Mereka menatap Araya, tatapan yang dulu penuh kebencian dan ketakutan kini berganti menjadi rasa hormat dan kekaguman. Mereka semua berlutut, menundukkan kepala mereka, menjadikan Araya sebagai pemimpin baru mereka, pemimpin Benua Shirayuki Sakura.
...
...
Araya memandang mereka semua, hati yang dulu penuh amarah kini dipenuhi kelegaan dan harapan. Ia tidak lagi melihat orang-orang yang membencinya, melainkan orang-orang yang kini membutuhkan bimbingannya. Ia tidak mengatakan apa pun, ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyuman yang menyiratkan rasa lelah, kebahagiaan, dan tekad yang kuat. Senyuman itu adalah jawaban yang paling tulus untuk semua orang.
Dengan Araya sebagai pemimpin baru, mereka semua mulai menatap masa depan. Mereka tidak lagi takut, karena mereka tahu mereka memiliki pemimpin yang kuat dan berani. Mereka akan membangun kembali benua yang hancur, dan memastikan bahwa tidak ada lagi tirani yang berkuasa.
.
.
.
.
.
..
.
Kini Benua Shirayuki Sakura berkembang pesat, dan ekonomi mereka kembali stabil berkat bantuan dari Benua Hanie. Araya kemudian mengunjungi Tree of Life, sebuah entitas suci yang juga merupakan pohon leluhurnya, yang terletak di pusat benua, di tengah-tengah tiga kerajaan. Klan Yamada, garis keturunan kuno, adalah pelindung tradisional pohon ini. Sambil mengelus perutnya yang sudah besar, Araya berbicara pada dirinya sendiri.
"Kami berhasil, Irago. Kami berhasil," bisiknya, air mata mengalir di pipinya. "Lihatlah, benua ini akan berkembang. Kita akan membesarkan anak kita di tempat yang damai." Araya tersenyum, membayangkan kehidupan barunya. Ia tidak lagi harus bertarung, tetapi kini ia memiliki tanggung jawab baru sebagai pemimpin.
Ia melanjutkan, "Aku tahu kau melihatku. Aku akan menjadi pemimpin yang kuat, seperti yang Yukio inginkan. Aku akan memastikan benua ini menjadi tempat yang aman bagi kita semua." Araya merasakan hembusan angin sejuk, seolah-olah Irago dan Yukio sedang mengawasinya dari atas, bangga dengan apa yang telah ia capai.
Ia mengelus perutnya lagi, merasakan gerakan kecil dari dalam. "Kau akan menjadi pahlawan, Nak. Seperti ayahmu," bisiknya. "Kau akan memiliki takdirmu sendiri, dan aku akan selalu ada di sini untuk membimbingmu." Araya tahu bahwa meskipun ia telah kehilangan banyak hal, ia juga telah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga.
Beberapa bulan telah berlalu, dan tiba saatnya Araya melahirkan. Ia berada di sebuah ruangan di Tree of Life, tempat yang aman dan suci. Di sisinya, Ninaya memegang tangannya dengan erat. Araya menggenggam tangan adiknya dengan sangat kuat, napasnya memburu, merasakan gelombang rasa sakit yang datang. Ninaya tidak mengeluh, ia hanya memberikan dukungan moral yang ia bisa.
Evelia dan Nuita berperan sebagai bidan. Mereka menahan energi mana Araya yang tidak stabil. "Emosi ibumu saat ini tidak stabil," jawab Nuita.
"Aku harus menguras mana untuk mengimbangkannya agar kau bisa lahir dengan selamat," kata Evelia kepada bayi di dalam perut Araya.
Araya mengerang, kekuatan sihirnya yang luar biasa tidak terkendali, membuat Evelia dan Nuita harus mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk menjaga keseimbangan.
"Kakak, kau bisa! Sedikit lagi!" teriak Ninaya, mencoba memberikan semangat.
Araya mengangguk, ia menguatkan tekadnya, mengingat janji-janjinya kepada Irago dan Yukio. Ia harus kuat, demi putranya, demi masa depan benua ini.
.
.
.
.
.
Setelah perjuangan yang panjang, akhirnya suara tangisan bayi terdengar di ruangan itu. Araya yang kelelahan hanya bisa tersenyum. Ia menatap putranya, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia memeluk putranya dengan erat, merasakan kehangatan yang tak terlukiskan. Sebuah babak baru telah dimulai.
Bayi Araya kini berada di pangkuan Evelia, yang memandanginya dengan penuh kasih sayang. Nuita, Ninaya, dan Riana juga berkumpul di sekelilingnya.
"Dia sangat mirip dengan Irago," bisik Nuita, terharu.
Ninaya mengangguk, "Ya, tapi matanya... matanya persis seperti Kakak."
Semua orang setuju, merasa kehangatan dan kebahagiaan di tengah duka yang masih terasa.
Araya, yang kelelahan namun wajahnya berseri, tersenyum mendengar komentar mereka. Ia kemudian dengan lembut mengambil putranya dari pangkuan Evelia.
"Namanya..." kata Araya, suaranya dipenuhi cinta. "Namanya Ikaeda Indra." Nama itu adalah perpaduan dari nama keluarga Yukio, Ikaeda, dan nama tengah Irago, Indra, yang juga merupakan nama asli R.I. Mereka semua merasa bahwa nama itu adalah pilihan yang sempurna.
Nuita mengusap air matanya. "Nama yang indah, Kakak," katanya. "Irago pasti akan menyukainya."
Evelia mengangguk, "Dan Ibu Yukio juga. Nama itu adalah pengingat bahwa mereka akan selalu bersama kita, di dalam hati kita."
Araya menatap putranya, hatinya dipenuhi harapan. Ia tahu bahwa putranya akan memiliki takdir yang berbeda. Ia tidak akan tumbuh di bawah bayang-bayang perang, tetapi di dunia yang damai, dunia yang telah ia dan teman-temannya perjuangkan. Ia akan membesarkan putranya dengan cinta dan keberanian, dan suatu hari nanti, ia akan menceritakan kisah tentang ayah dan neneknya, para pahlawan yang telah mengorbankan segalanya untuk kebebasan.
...
...
Beberapa tahun berlalu, dan Benua Shirayuki Sakura telah sepenuhnya pulih.
• After Kingsguards : [Ikaeda] Self Acceptance
Di rumahnya di Suzaku, Araya terlihat sedang berdiri, membaca sebuah buku tebal. Buku itu adalah catatan pribadinya, sebuah diari yang menceritakan seluruh perjalanannya, mulai dari pertemuannya dengan Yukio hingga pertempuran terakhirnya melawan Raja Tirani. Araya tersenyum, mengenang semua yang telah ia lalui.
...
...
Setelah beberapa saat, putranya, Ikaeda, yang kini telah berusia 25 tahun, tiba di rumah bersama Evelia yang baru saja pulang dari pasar. Ikaeda memandangi Araya yang baru saja menutup bukunya. Araya membawa Ikaeda ke ruang tamu, di mana mereka semua akan menghabiskan waktu bersama. Mereka segera mulai menyiapkan makan malam, dengan Evelia dan Araya yang sibuk di dapur, sementara Ikaeda dilarang membantu.
Ikaeda, yang merasa bosan, membuka buku yang dibawa Araya tadi. Ia melihat sebuah ilustrasi seorang pria dengan rambut hitam dan mata merah. Ia merasa familiar dengan wajah itu. "Ibu," panggilnya. "Siapa pria ini?"
Araya menoleh dan tersenyum, "Itu adalah wajah ayahmu," jawabnya.
Evelia, yang melihat Araya akhirnya berani menceritakan tentang Irago kepada Ikaeda, tersenyum bangga. "Aku bangga padamu, Araya," bisiknya.
...
...
Ikaeda memandangi foto ayahnya. Ia tidak pernah bertemu ayahnya, tetapi ia mendengar banyak cerita tentangnya dari Araya dan yang lainnya. Ia tahu ayahnya adalah seorang pahlawan, seorang pria yang mengorbankan dirinya untuk masa depan yang lebih baik. Ikaeda merasa bangga. Ia tahu bahwa ia akan melanjutkan warisan ayahnya, dan ia akan melindungi dunia yang telah diperjuangkan oleh ayah dan ibunya.