NovelToon NovelToon
Ishen World

Ishen World

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Fantasi Isekai / Anime
Popularitas:65
Nilai: 5
Nama Author: A.K. Amrullah

Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Latihan Para Pahlawan

Setelah Zetsuya diusir dari Kuil Suci Elysia, Raja Lux kembali memusatkan perhatian kepada para pahlawan.

“Sekarang, para pahlawan yang diberkahi oleh sang Dewi,” ucap sang Raja, suaranya tegas namun berwibawa. “Aku telah menyiapkan tempat tinggal berupa sebuah mansion bagi kalian di ibu kota Sedressil. Di sana, kalian akan menjalani pelatihan untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman yang akan datang.”

Para murid bertukar pandang. Beberapa tampak bersemangat, sementara yang lain merasa lega karena setidaknya mereka memiliki tempat tinggal yang layak.

Sena, yang berdiri di sisi Raja, melangkah maju. “Mansion kalian terletak di bagian timur ibu kota Sedressil. Bangunannya luas, memiliki lapangan latihan, dan sudah disiapkan agar kalian bisa berlatih dengan nyaman.”

Raja Lux melanjutkan, “Ibu kota ini adalah pusat kerajaan Sedressil, tanah yang paling makmur di dunia ini. Dari sini, kita memimpin perang melawan sang Bencana yang di ramalkan oleh sang Dewi.”

Saat para pahlawan keluar dari kuil, mereka langsung disambut dengan pemandangan luar biasa.

Ibu kota Sedressil terbentang luas di hadapan mereka, dipenuhi bangunan megah dengan arsitektur yang elegan. Jalanan bersih dan teratur, dihiasi taman-taman indah serta air mancur yang memancarkan kemilauan di bawah cahaya matahari. Namun yang paling mencolok adalah Istana Kerajaan yang berdiri megah di sisi barat kota. Bangunannya berwarna putih bersih, dengan menara-menara tinggi menjulang ke langit, memberikan kesan suci dan tak tergoyahkan.

Sementara itu, Kuil Suci Elysia yang mereka tinggalkan terletak di bagian utara ibu kota, menandakan posisinya sebagai tempat paling sakral. Di sisi timur, mansion yang telah disediakan untuk mereka menanti.

Saat mereka tiba di mansion, mereka langsung dibuat kagum.

Bangunan besar dengan desain klasik berdiri kokoh di depan mereka, dihiasi ukiran-ukiran indah di dindingnya. Halamannya luas, dengan taman yang terawat rapi dan lapangan latihan yang siap digunakan.

Sena tersenyum tipis. “Mulai sekarang, tempat ini akan menjadi rumah kalian.”

Sebelum mereka bisa menjelajahi lebih jauh, Sena bertepuk tangan. “Baiklah, izinkan aku memperkenalkan kalian kepada orang yang akan melatih kalian.”

Dua sosok melangkah maju dari sisi ruangan.

Yang pertama adalah pria gagah dengan tubuh kekar dan wajah penuh bekas luka. Rambutnya hitam pendek, dan matanya tajam seperti elang. Dia mengenakan baju zirah berat dan membawa pedang besar di punggungnya.

"Aku Jenderal Rey Normand, Panggil aku Rey," katanya dengan suara berat. "Kalian yang menggunakan senjata, bersiaplah. Aku akan mengajari kalian bagaimana cara bertarung dengan benar.”

Di sebelahnya berdiri seorang wanita berambut pirang panjang dengan ponytail dan mata berwarna emeraldnya yang sangat dengan memakai baju putih dan jubah biru berhiaskan lambang kerajaan. Dia tampak anggun, tetapi auranya menunjukkan bahwa dia bukan sembarang penyihir.

"Dan aku Jenderal Lisa Graham, panggil saja aku Lisa," katanya dengan suara lembut namun tegas. "Bagi yang memiliki bakat sihir, aku akan membimbing kalian agar bisa menguasai kekuatan kalian.”

Para murid mulai bersemangat, terutama mereka yang mendapat role bertarung.

Kouji mengepalkan tangan. "Baiklah, ini saatnya kita benar-benar mempersiapkan diri."

Akari tersenyum. "Aku juga ingin tahu seberapa kuat sihirku."

Sementara itu, di luar istana, di suatu tempat yang jauh dari semua itu, Zetsuya melangkah sendirian. Masa depannya masih tidak pasti, tapi satu hal yang jelas, dia tidak akan tinggal diam begitu saja.

Selama pelatihan berhari-hari, kemampuan luar biasa beberapa murid mulai terlihat, menarik perhatian para jenderal.

Jenderal Rey Normand menepuk bahu Kouji dengan bangga. "Kau punya bakat alami sebagai Paladin. Kekuatan, kecepatan, dan teknikmu luar biasa. Dengan latihan lebih lanjut, kau bisa menjadi perisai dan pedang terkuat di medan perang.”

Di sisi lain, Jenderal Lisa Graham memperhatikan Akari yang berhasil mengontrol sihir apinya dengan presisi tinggi. "Kecerdasan dan instingmu luar biasa untuk seorang Fire Mage pemula. Dengan sedikit pembelajaran lagi, kau bisa menjadi penyihir yang mengerikan.”

Ryunosuke, dengan sihir kegelapannya yang unik, mendapatkan pujian khusus dari Lisa. "Kekuatan kegelapanmu kuat dan berbahaya. Jika kau bisa mengendalikannya dengan baik, kau bisa menjadi aset yang sangat penting dalam pertempuran.”

Takeshi, seorang Tanker bertubuh besar, menunjukkan daya tahan luar biasa dalam latihan bertarung jarak dekat. Rey tersenyum puas. "Badanmu seperti benteng. Kau bisa menahan serangan berat tanpa mundur dengan perisaimu. Dengan teknik yang tepat, kau bisa menjadi perisai garis depan yang tak tergoyahkan.”

Sementara itu, Hanabi, sang Archer, memukau dengan akurasi tembakannya. Dalam ujian menembak jarak jauh, dia berhasil mengenai target kecil berkali-kali tanpa meleset. Lisa mengangguk kagum. "Kau memiliki penglihatan dan refleks yang tajam. Jika terus berlatih, panahmu bisa menjadi ancaman besar bagi musuh.”

Saat latihan berlangsung, Hanabi berbicara dengan bangga, "Di dunia sebelumnya, aku adalah anggota klub memanah, jadi aku sudah terbiasa membidik target dari jarak jauh."

Murid lain mengangguk kagum, menyadari bahwa keahliannya bukan hanya sekadar keberuntungan.

Di dalam mansion megah yang diberikan Raja Lux, suasana hening. Para murid masih merenungi latihan-latihan yang baru saja mereka jalani. Setelah mengalami pertarungan sengit dan latihan keras, mereka mulai memahami betapa seriusnya dunia baru ini.

Kouji duduk di salah satu sofa, membersihkan pedangnya dengan kain. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang. "Kita benar-benar harus jadi lebih kuat," gumamnya.

Akari, yang duduk di dekat jendela, menoleh padanya. "Kau terdengar serius sekali."

Kouji tersenyum tipis. "Karena ini bukan sekadar latihan biasa. Dunia ini menuntut kita untuk bertahan hidup. Jika kita lengah sedikit saja, kita bisa mati."

Akari menghela napas, lalu mengistirahatkan kepalanya di sandaran sofa. "Aku mengerti... tapi tetap saja, semuanya terasa begitu cepat. Dua minggu yang lalu kita masih di sekolah, dan sekarang kita berada di dunia lain, menjalani latihan berat layaknya latihan militer."

Kouji menatapnya, lalu dengan lembut berkata, "Kau terlihat lelah."

Akari tersenyum kecil. "Tentu saja. Mengendalikan sihir api lumayan sulit dan sangat melelahkan."

Tanpa berpikir panjang, Kouji mengulurkan tangannya dan merapikan beberapa helai rambut Akari yang jatuh ke wajahnya. "Kalau begitu, istirahatlah."

Akari terdiam, wajahnya sedikit memerah. Dia menatap Kouji sejenak, lalu menoleh ke arah lain, menyembunyikan senyum kecilnya. "Kouji... kau selalu perhatian, ya?"

Kouji mengangkat bahu, "Aku hanya tidak ingin kau kelelahan."

Akari tersenyum lembut. "Terima kasih."

Sementara itu, di sudut ruangan lain, Yui duduk diam, menatap telapak tangannya yang masih bersinar samar. Kata-kata Jenderal Lisa Graham masih terngiang di kepalanya. "Kau memiliki potensi luar biasa sebagai Penyihir Cahaya. Mungkin lebih dari itu... Kau bisa saja jadi Saintess..."

"Saintess, ya..." bisiknya pelan.

Sementara itu...

Ruang latihan itu bergetar oleh napas manusia dan baja. Aula batu yang luas dipagari pilar-pilar tinggi, lantainya dipenuhi bekas goresan senjata dan retakan lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Obor-obor di dinding menyala liar, seolah tahu bahwa sebentar lagi tempat ini akan menjadi saksi benturan kehendak dan ketahanan.

Di tengah lingkaran latihan, Jenderal Rey Normand berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung. Tatapannya tajam, dingin, namun di baliknya ada harapan yang disembunyikan rapat. Dua minggu. Hanya dua minggu, namun cukup untuk mengubah baja mentah menjadi senjata yang ampuh.

“Mulai,” perintahnya singkat.

Gojo melangkah maju lebih dulu. Tubuhnya besar, urat-urat di lengannya menonjol seperti tali baja yang ditarik terlalu kencang. Kapak besar di tangannya tampak terlalu berat untuk manusia biasa, mata kapaknya lebar, berkilau. Napasnya berat, teratur, seperti binatang buas yang menahan diri tepat sebelum menerkam.

Di seberangnya, Takeshi mengangkat tameng besarnya. Tameng itu setinggi dadanya, lebar, penuh goresan dan denting latihan yang sudah lewat. Pedangnya di tangan kanan, tidak terlalu panjang, tidak terlalu mencolok, namun posisinya sempurna. Kakinya tertanam kuat di lantai batu. Ia tidak terlihat garang, tetapi ketenangannya membuat udara di sekelilingnya terasa padat.

Para pahlawan lain berkumpul di tepi ruangan. Ada yang menyilangkan tangan, ada yang memperhatikan secara serius, ada pula yang tanpa sadar melangkah setengah inci lebih dekat. Mereka tahu ini bukan sekadar sparring. Ini adalah pembuktian.

Gojo menggeram rendah dan menyerang pertama.

Kapaknya melesat dalam ayunan horizontal yang brutal, angin terbelah oleh kecepatannya. Dentuman keras menggema ketika mata kapak menghantam tameng Takeshi. Benturan itu begitu kuat hingga beberapa obor bergetar, dan lantai batu di bawah kaki Takeshi retak halus.

Namun Takeshi tidak bergeser.

Ia menekuk lutut sedikit, menyerap hentakan dengan seluruh tubuhnya. Tamengnya bergetar hebat, lengan kirinya berdenyut menahan rasa sakit, tapi ia tetap berdiri. Pedangnya bergerak membalas, menyambar ke arah sisi tubuh Gojo, cepat dan terukur.

Gojo memutar tubuh, kapaknya kembali naik, menepis serangan itu dengan gagang senjata. Baja beradu, percikan api berhamburan. Mereka saling mendekat, jarak dipersempit hingga hanya napas dan keringat yang memisahkan.

Serangan demi serangan menghujani Takeshi. Gojo menyerang seperti badai, ayunan vertikal, diagonal, serangan beruntun yang tak memberi waktu bernapas. Setiap hantaman kapak mendarat di tameng dengan suara seperti palu yang menghantam besi. Beberapa pahlawan yang menonton tanpa sadar mundur selangkah, mata mereka membelalak.

“Dia masih bertahan…?” bisik seseorang.

Takeshi terdorong mundur sedikit demi sedikit. Tumitnya menggesek batu, meninggalkan garis tipis. Tamengnya sudah penuh bekas pukulan kapak tersebut, lengan kirinya bergetar hebat. Namun setiap kali tampak hampir runtuh, ia mengencangkan rahang dan bertahan satu detik lagi.

Gojo meraung dan menghantam dari atas, kapaknya jatuh seperti hukuman. Takeshi mengangkat tameng dengan sisa tenaga. Benturan itu membuat lututnya menyentuh lantai. Debu beterbangan, dan untuk sesaat, semua orang mengira itu akhir.

Namun Takeshi bangkit kembali.

Ia mendorong tameng ke depan, menciptakan jarak, lalu pedangnya menusuk cepat ke arah perut Gojo. Gojo tersentak, memutar tubuhnya, ujung pedang hanya menggores pelindungnya. Senyum tipis, hampir bangga, terbit di wajah Gojo.

"Hebat juga kegigihanmu, Takeshi!"

Gojo mengubah gaya bertarung. Ia tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan mentah. Langkahnya menyamping, memutar, memancing. Takeshi mengikuti, tameng tetap di depan, napasnya berat kini, tetapi matanya tajam, fokus tak goyah.

Serangan pamungkas datang tiba-tiba. Gojo berlari, satu langkah, dua langkah, lalu melompat, kapaknya terangkat tinggi. Takeshi menyiapkan tameng, seluruh tubuhnya menahan satu serangan terakhir.

Kapak itu turun.

Dentuman yang dihasilkan lebih keras dari sebelumnya. Tameng Takeshi retak di bagian tengah, garis pecahnya menjalar seperti kilat. Takeshi terlempar ke belakang, menghantam lantai dan terguling beberapa kali sebelum berhenti. Pedangnya terlepas dari genggaman.

Ruangan itu sunyi.

Gojo mendarat dengan satu lutut, napasnya memburu. Ia berdiri perlahan, berjalan mendekat, kapaknya terangkat namun tidak langsung diayunkan. Takeshi mencoba bangkit, satu lutut terangkat, lalu jatuh kembali. Tangannya gemetar, namun ia tetap berusaha berdiri.

Para pahlawan tertegun. Tidak ada sorak. Yang ada hanya kekaguman murni terhadap keteguhan Takeshi, terhadap fakta bahwa ia masih berusaha berdiri setelah menerima serangan sebrutal itu.

Gojo berhenti tepat di depan sahabatnya. Ia menurunkan kapaknya, lalu dengan sisi gagangnya, menekan ringan bahu Takeshi, membuatnya kembali duduk. Isyarat jelas. Duel selesai.

Jenderal Rey Normand melangkah maju. Suaranya menggema, penuh wibawa. “Cukup. Pemenangnya, Gojo.”

Gojo mengulurkan tangan. Takeshi menatapnya sesaat, lalu tersenyum lelah dan meraih tangan itu. Gojo menariknya berdiri, menahan berat tubuh sahabatnya tanpa keluhan.

Di sekeliling mereka, para pahlawan menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Beberapa mengangguk pelan, beberapa mengepalkan tangan dengan semangat baru, beberapa bahkan memberikan tepuk tangan sebagai apresiasi atas keteguhan Takeshi. Mereka baru saja menyaksikan hasil latihan dua minggu yang tidak sia-sia. Kekuatan tanpa ampun, dan ketahanan yang nyaris tak terpatahkan.

Di ruang latihan itu, di antara retakan batu dan denting baja, dua sahabat berdiri bersama. Bukan sebagai pemenang dan pecundang, tetapi sebagai bukti bahwa mereka siap menghadapi medan perang yang sesungguhnya. Takeshi masih meregangkan tubuhnya yang terasa sangat pegal setelah duel berat melawan Gojo.

"Oi, Takeshi," kata Gojo, duduk di sebelahnya. "Latihan hari ini lumayan keren, kan?"

Takeshi mendengus. "Keren bagimu, mungkin. Aku masih merasa seperti dipukul truk."

Gojo tertawa. "Yah, anggap saja itu pemanasan."

Takeshi berkata "Pemanasan? Perisai ku retak loh!."

Gojo kemudian tertawa terbahak bahak...

Setelah latihan...

Di dalam mansion, suasana masih dipenuhi dengan kelelahan setelah latihan. Namun, ketenangan itu terusik ketika Ryunosuke menyeringai sambil duduk di kursinya.

"Heh, kalau dipikir-pikir, ada satu hal yang masih membuatku geli," katanya dengan nada meremehkan. "Si Merchant payah rendahan itu... Apa dia masih hidup di luar sana?"

Beberapa murid melirik ke arahnya, tapi tak ada yang langsung menanggapi. Namun, Ryunosuke terus melanjutkan.

"Apa yang dia pikirkan? Dunia ini bukan tempat untuk orang aneh seperti dia. Otaku tolol seperti Katsuragi cuma akan jadi beban kalau tetap di sini."

Hanzo, yang sedari tadi diam, mendadak berdiri. Matanya tajam menatap Ryunosuke. "Cukup," katanya dengan suara datar namun penuh tekanan.

Ryunosuke mendengus. "Apa? Kau kasihan padanya? Itu fakta. Dia sampah. Tidak ada gunanya di medan perang."

Hanzo tetap menatapnya dengan ekspresi dingin. "Mungkin dia tidak sekuat kita, tapi bukan berarti kau bisa menghina seenaknya."

Tiba-tiba, Hanabi ikut berdiri. "Aku setuju dengan Hanzo."

Semua mata langsung tertuju pada Hanabi. Gadis pemanah itu jarang sekali ikut campur dalam konflik semacam ini.

Hanabi menatap Ryunosuke dengan tajam. "Kau berbicara seperti kau yang paling hebat di sini. Tapi kenyataannya, kau hanya bisa menghina orang lain."

Ryunosuke mendecak. "Jadi sekarang kau juga membela otaku sampah itu?"

Sebelum Hanabi bisa menjawab, Akari yang sejak tadi mendengarkan akhirnya ikut bersuara.

"Ryunosuke, diamlah," katanya tegas.

Ryunosuke menatapnya dengan sedikit terkejut. Akari memang terkenal ramah, tapi jika dia sudah marah, itu bukan pertanda baik.

"Apa untungnya bagimu terus menghina Katsuragi? Apa itu membuatmu merasa lebih kuat? Lebih hebat?" lanjut Akari.

Ryunosuke terdiam, tapi ekspresinya masih kesal.

"Katsuragi sudah diusir. Tidak ada gunanya membicarakan dia lagi," kata Hanzo. "Fokuslah pada latihan kita."

Ryunosuke mendengus, lalu bersandar ke kursinya dengan ekspresi malas. "Terserah. Kalau dia mati di luar sana, jangan salahkan aku karena sudah bilang yang sebenarnya."

Meskipun Ryunosuke akhirnya diam, suasana di dalam mansion terasa lebih tegang dari sebelumnya.

Hanzo melirik Hanabi yang masih berdiri di sampingnya. "Terima kasih," katanya singkat.

Hanabi sedikit gugup, tapi dia tersenyum. "Aku hanya tidak suka melihat orang yang sok hebat."

Akari menatap Hanabi dengan senyum tipis, lalu berbisik, "Kau terlihat lumayan keren tadi, Hanabi-san."

Hanabi hanya tersipu, tanpa mengatakan apa-apa. Namun di dalam hatinya, dia senang bisa berdiri di samping Hanzo.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!