Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Tombol "Ikuti" telah ia tekan. Sebuah tindakan digital yang terasa begitu nyata, seolah ada seutas benang tak kasat mata yang kini terhubung dari kamarnya di Padang ke tempat gadis itu berada. Jantung Akbar berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. Ia merasa seperti seorang remaja, bukan pria 24 tahun yang seharusnya lebih tenang dalam menghadapi situasi seperti ini.
"Apa yang baru saja kulakukan?" bisiknya pada diri sendiri, di antara deru kipas angin.
Ia kembali membuka profil Erencya, kali ini menelaahnya lebih dalam. Ia membaca beberapa keterangan foto yang ditulis gadis itu. Kalimat-kalimatnya ceria dan sedikit jenaka. Terlihat jelas ia adalah seseorang yang menikmati hidupnya, dikelilingi teman-teman dan keluarga yang hangat. Semakin banyak yang Akbar lihat, semakin kuat pula dorongan aneh di dalam dadanya. Sebuah keinginan untuk mengenal sosok di balik senyuman itu.
Pandangannya lalu tertuju pada tombol "Pesan". Tombol itu seolah memanggilnya, sebuah gerbang menuju percakapan yang mungkin saja tidak akan pernah ada. Selama beberapa menit, ia hanya menatapnya. Keraguan berperang dengan keinginan. Apa yang harus ia katakan pada seorang gadis asing yang usianya terpaut enam tahun, tinggal di pulau seberang, dan berasal dari dunia yang sama sekali berbeda?
Jemarinya akhirnya bergerak, membuka kolom percakapan yang masih kosong dan dingin. Keyboard virtual muncul, menunggu perintahnya.
Pikirannya buntu.
Hai. Terlalu singkat.
Salam kenal, kamu cantik. Terlalu gombal dan murahan.
Akbar menarik napas dalam-dalam. Jadilah dirimu sendiri, Bar. Tulus dan apa adanya. Jemarinya mulai mengetik sebuah kalimat yang terasa paling mewakili dirinya.
“Assalamualaikum. Maaf, profil kamu lewat di explore saya. Salam kenal dari Padang.”
Ia berhenti, menatap kembali kalimat itu. Assalamualaikum. Itu adalah sapaan damainya, identitasnya sebagai seorang Muslim. Namun, keraguan menyergapnya. Akankah gadis itu merasa aneh? Akankah sapaan itu justru menciptakan dinding pertama di antara mereka bahkan sebelum percakapan dimulai?
Dengan cepat, ia menghapus kalimat itu. Ia mencoba lagi dengan versi yang lebih netral.
“Malam. Maaf, profil kamu lewat di explore. Fotonya bagus. Salam kenal dari Padang.”
Ia membacanya lagi. Entah kenapa, kalimat itu terasa hambar dan tanpa jiwa. Bukan dirinya. Rasanya seperti ia sedang menyembunyikan sebagian dari dirinya.
Dengan sebuah helaan napas pasrah, ia menghapus draf kedua itu dan mengetik ulang kalimat pertamanya. Biarlah. Inilah dirinya. Jika sapaan yang membawa doa kedamaian ini saja sudah menjadi penghalang, maka apalah artinya melanjutkan kepura-puraan?
“Assalamualaikum. Maaf, profil kamu lewat di explore saya. Salam kenal dari Padang.”
Ia memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberanian, lalu dengan satu ketukan cepat, ibu jarinya menekan ikon kirim.
Pesan itu melesat pergi. Centang satu berwarna abu-abu muncul di sudutnya. Terkirim.
Akbar sontak meletakkan ponselnya di atas kasur dengan layar menghadap ke bawah, seolah benda itu adalah benda panas yang bisa meledak kapan saja. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya kembali ke laptop, ke skripsinya yang terbengkalai. Tapi sia-sia. Huruf-huruf di layar seakan menari-nari tanpa makna. Pikirannya tidak lagi di Padang, melainkan melayang jauh ke Jambi, bertanya-tanya apakah pesannya akan dibaca, dan jika iya, akankah ada balasan?
Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit.
Ia tidak tahan lagi. Dengan gerakan ragu, ia meraih kembali ponselnya. Layar itu menyala, dan hatinya sedikit mencelos. Pesan itu masih sama. Centang satu. Terkirim. Belum diterima. Mungkin gadis itu sudah tidur.
Dan di tengah malam Padang yang hening, dengan hanya denting jam dinding sebagai penanda waktu, Akbar menunggu sebuah jawaban dari seberang pulau. Sebuah jawaban yang tidak ia tahu akan menjadi awal dari segalanya.