Elise, seorang gadis keturunan bangsawan kaya, hidupnya terikat pada aturan keluarga. Untuk mendapatkan harta warisan, ia diwajibkan menikah dan segera melahirkan keturunan. Namun Elise menolak. Baginya, pernikahan hanyalah belenggu, dan ia ingin memiliki seorang anak tanpa harus menyerahkan diri pada suami yang dipaksakan.
Keputusan nekat membawanya ke luar negeri, ke sebuah laboratorium ternama yang menawarkan program bayi tabung. Ia pikir segalanya akan berjalan sesuai rencana—hingga sebuah kesalahan fatal terjadi. Benih yang dimasukkan ke rahimnya ternyata bukan milik donor anonim, melainkan milik Diego Frederick, mafia paling berkuasa dan kejam di Italia.
Ketika Diego mengetahui benihnya dicuri dan kini tengah berkembang dalam tubuh seorang wanita misterius, murka pun meledak. Baginya, tak ada yang boleh menyentuh atau memiliki warisannya.
Sementara Elise berusaha melarikan diri, Diego justru bersumpah akan menemukan wanita itu, dengan segala cara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Enam tahun telah berlalu, namun jejak wanita yang mengandung benihnya masih menjadi misteri yang menyesakkan dada Diego. Setiap kali ingatan itu menyeruak, amarahnya membara tak terkendali.
Di ruang kerjanya yang bernuansa dingin, Diego berdiri mematung di hadapan jendela kaca raksasa, memandang hujan yang mengguyur kota Milan dengan brutal. Jemarinya menggenggam erat, rahangnya mengeras, mencerminkan gejolak batin yang tak tertahankan.
"Enam tahun," gumamnya, suara beratnya terdengar seperti geraman tertahan. "Benihku raib selama enam tahun, dan tak seorang pun mampu mengungkap keberadaannya?"
Alana, sepupunya yang kini berprofesi sebagai dokter ternama, hanya bisa menatap dengan raut pasrah dari kursi di seberang meja. Aura ketenangan dan rasionalitas terpancar dari dirinya, kontras dengan Diego yang keras kepala dan impulsif.
"Diego, sudah berulang kali kukatakan. Data lama di laboratorium itu telah terhapus. Kau tak bisa terus menerus menyalahkan dunia atas satu kesalahan sistem," ujar Alana dengan nada lembut.
"Kesalahan sistem?" Diego berbalik dengan tatapan setajam elang. "Ini bukan sekadar kesalahan sistem, Alana. Ini adalah sebuah kejahatan. Seseorang telah mencuri benihku, dan jika wanita itu melahirkan... anak itu kini telah berusia enam tahun."
Nada suaranya sarat akan ancaman. Sorot mata dinginnya mampu membuat Alana menghela napas panjang.
"Lantas, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Alana, menyerah pada keras kepala sepupunya. "Kau telah mengerahkan semua orang untuk mencarinya. Kau bahkan mengintimidasi direktur laboratorium hingga nyaris membunuhnya. Namun, hasilnya nihil."
Diego melangkah mondar-mandir dengan gelisah, kemudian berhenti di depan meja kerjanya.
"Aku tak akan menyerah. Aku ingin kau menelusuri kembali data enam tahun lalu. Siapa pun yang memiliki akses ke ruang penyimpanan saat itu, aku ingin mengetahui identitasnya," perintah Diego dengan nada tak terbantahkan.
Alana memijat pelipisnya, mencoba meredakan denyutan yang mulai terasa. "Kau tahu, akan lebih mudah jika kau mengeluarkan benih baru dan menyimpannya kembali. Setidaknya, ada jaminan untuk masa depanmu."
Namun, Diego justru menatapnya dengan sorot mata yang menghunus. "Kau pikir aku sama dengan pria biasa lainnya?"
Keheningan menyelimuti ruangan.
Alana menatap Diego dengan rasa prihatin yang mendalam. Ia tahu betul, sepupunya itu menyimpan trauma yang mengakar kuat. Di usianya yang telah menginjak kepala tiga, Diego tak mampu bersentuhan dengan wanita mana pun tanpa tubuhnya bereaksi menolak.
Luka batin akibat masa lalunya terlalu dalam, membuatnya menjauhi segala bentuk kedekatan fisik.
"Aku tak akan melakukannya lagi," ucap Diego datar. "Satu kali sudah cukup. Benih itu adalah satu-satunya milikku. Dan aku akan menemukannya. Kecuali jika aku menemukan wanita yang bisa kusentuh dan kunikmati sepuas hati."
Alana hanya bisa mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Baiklah. Tapi, jangan biarkan obsesi ini menghancurkanmu, Diego."
Pria itu tak menjawab. Ia hanya kembali menatap ke luar jendela, matanya menyipit tajam. Dalam keheningan, sebuah tekad membara di dadanya, ia akan menemukan benih itu, apa pun yang terjadi.
*****
Sementara itu, di sebuah rumah kontrakan sederhana di pinggiran kota, suasana kontras terasa begitu kentara.
"Alex! Tolong, jangan gunakan panci Mama untuk memasak air lagi!" teriak Elise dari ruang tamu.
Suara dentingan sendok dan aroma bawang goreng menyeruak dari dapur sempit. Bocah berusia enam tahun itu berdiri di atas kursi kecil, mengaduk nasi di wajan dengan ekspresi serius layaknya seorang koki profesional.
"Jika Mama bisa memasak, aku tak perlu melakukan ini," balas Alex datar tanpa menoleh.
Elise mendengus. "Mama sibuk bekerja. Lagipula, mie instan juga makanan, kan?"
Alex menghentikan aktivitasnya, lalu menatap ibunya yang berdiri di ambang pintu dapur dengan tangan bersedekap.
"Makanan cepat saji tidak mengandung nutrisi, Mama. Kau tahu itu. Kau bahkan tak mengonsumsi sayuran selama tiga hari terakhir. Itu sebabnya kulit Mama terlihat pucat," ujar Alex dengan nada prihatin.
Elise memutar bola matanya. "Apa kau seorang dokter? Cerewet sekali!"
"Anak dari seseorang yang tampaknya sangat cerdas," balas Alex santai, membuat Elise terdiam sesaat.
Hatinya bergetar, bercampur antara rasa bangga dan takut. Terkadang, ucapan Alex terlalu tajam untuk ukuran anak seusianya.
"Sudah, Mama duduk saja. Aku hampir selesai," ucap Alex kemudian, kembali sibuk menyalakan api kecil.
Beberapa menit kemudian, aroma nasi goreng yang menggugah selera memenuhi seisi dapur. Elise menatapnya dengan takjub. "Kau belajar memasak seperti ini dari mana?"
Alex mengangkat bahunya acuh. "Dari internet. Aku menggunakan resep paling sederhana, tapi aku memodifikasinya sedikit agar rasanya lebih kompleks."
Elise mendengus pelan. "Dengar itu... kompleks. Bocah enam tahun berbicara seperti seorang chef."
Alex menatap ibunya tanpa ekspresi. "Aku tak ingin Mama terus makan sembarangan. Jika Mama sakit, siapa yang akan menjagaku?"
Elise tercekat. Kalimat sederhana itu menusuk relung hatinya. Ia menatap anaknya yang kini meletakkan piring di meja makan, wajahnya dingin namun matanya menyimpan kasih sayang yang mendalam.
"Alex..." panggil Elise lirih.
Anak itu menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis, senyum langka yang hanya Elise yang tahu maknanya. "Makanlah sebelum dingin, Mama. Rasanya tak seburuk mie instan, aku janji."
Elise tertawa kecil, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menyesak di dada.
"Jangan menangis, Mama jelek kalau menangis," ucap Alex seraya menghapus air mata ibunya.
"Siapa yang menangis! Mama kelilipan, tahu!" elak Elise, membuat Alex memutar bola matanya dengan malas.
"Ck ck ck! Lihatlah, wanita memang pandai berbohong," maki bocah itu dalam hati.
lanjut thor💪💪semngt
Kamu akan diratukan oleh seorang mafia kejam kerana telah melahirkan benihnya yg premium langsung penerusnya..