NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 2

Langkah kaki Zamara Nurayn perlahan menjauh dari pelataran masjid. Angin sore menyapu lembut kerudung putih yang membingkai wajahnya.

Cahaya mentari senja mengintip malu dari sela pepohonan, seakan ikut menjadi saksi kepergian seorang perempuan yang baru saja melontarkan sesuatu yang tak biasa.

Dari balik tiang masjid, pandangan Ustadz Yassir Qayyim tak beranjak darinya. Jubah yang dikenakannya berayun ringan diterpa angin sore. Bibirnya gemetar menahan kata, matanya berkaca, dadanya bergemuruh.

"Ya Rabb... apakah benar dia mengucapkan itu karena keyakinan? Atau sekadar karena emosi yang belum jernih?" batinnya lirih, terangkat dalam doa yang tak bersuara.

Kepalanya tertunduk, napasnya ditahan lama lalu dilepas perlahan. Jemarinya menyentuh dada, merasakan denyut yang berlari tak beraturan.

“Ya Allah...” ucapnya nyaris tak terdengar, “apakah sungguh dia bersungguh-sungguh?”

Ustadz Yassir tersenyum getir. “Di mana-mana perempuan menunggu untuk dilamar ini malah dia yang lebih dulu datang,” gumamnya.

Ia menggeleng kecil, seperti tak percaya. “Atau mungkin aku yang terlalu kaku hingga tak peka, kalau selama ini dia menyimpan rasa?”

Langit sore mulai berwarna jingga, namun pikiran Yassir kian berkabut.

“Kalau ia hanya main-main, aku takut kecewa. Tapi jika ia benar-benar sungguh aku takut tak pantas,” lirihnya, menatap arah gerbang tempat Zamara baru saja menghilang.

Hatinya dipenuhi tanda tanya yang tak jua menemukan jawab.

“Ya Allah, beri petunjuk. Jangan biarkan aku menilai dengan prasangka, tapi juga jangan biarkan aku terseret rasa sebelum yakin akan istikharah-Mu,” doanya lirih.

Tak lama, dua sahabatnya mendekat. Ustadz Alif bersedekap, sementara Ustadz Hanan Wiyoko menatap raut wajah Yassir yang tampak gusar.

“Antum masih kepikiran, ya?” tanya Alif, suaranya rendah namun sarat perhatian.

Yassir tak segera menjawab. Ia hanya menarik napas, matanya menatap langit yang mulai meremang.

“Bukan apa-apa, Lif... aku hanya takut salah niat. Takut ditipu oleh perasaan,” ucapnya jujur.

Hanan duduk di sampingnya. “Kalau begitu, mari kita bicarakan di tempat yang lebih tenang. Bagaimana kalau nanti sore kita bertemu di kafe dekat pesantren putri?”

“Setuju,” timpal Alif cepat. “Perkara ini serius perempuan tadi juga masih sangat muda.”

Yassir menoleh, sedikit terkejut dengan kepedulian itu, lalu mengangguk pelan.

“Benar juga...” katanya lirih.

Alif menimpali, “Kita perlu tahu jelas maksud dan tujuannya. Jangan-jangan ia hanya ikut-ikutan atau iseng.”

Hanan menambahkan dengan nada serius, “Lebih penting lagi, kita harus tahu asal usul keluarganya. Zaman sekarang, banyak yang tampak manis di luar, tapi dalamnya penuh rahasia. Na’udzubillah, bisa saja terkait hal berbahaya.”

Raut wajah Yassir berubah serius. Ia sadar, niat baik saja tak cukup. Sebuah langkah besar harus berlandaskan kejelasan.

“Baiklah nanti sore kita bertemu di kafe itu,” katanya mantap.

Alif tersenyum kecil. “Tenang, kami temani. Jika perempuan itu sungguh-sungguh, insyaAllah akan ada petunjuk.”

Hanan menepuk pundaknya. “Kalau tidak, lebih baik kecewa sekarang daripada menyesal seumur hidup.”

Dalam hati, Yassir berdoa, “Ya Rabb, jika ini baik, dekatkanlah. Jika buruk, jauhkan tanpa melukai siapapun.”

Senja kian merunduk. Di kamar sederhananya, Yassir duduk di atas sajadah. Ponselnya tergenggam erat. Ia menatap layar, ragu tapi tak ingin menunda.

Dengan hati-hati ia mengetik nomor Zamara. Jarinya sempat berhenti, sebelum akhirnya menekan tombol hijau. Nada sambung terdengar sekali, dua kali, tiga kali lalu terjawab oleh suara lembut.

“Halo, ini Zamara...” ucapnya terburu, diiringi suara gaduh samar dari IGD.

“Assalamu’alaikum,” jawab Yassir, suaranya bergetar. “Ini saya, Yassir.”

Di seberang sana, Zamara menahan napas sejenak.

“Wa’alaikumussalam, Pak Ustadz. Maaf, saya di IGD. Ada pasien baru masuk.”

“Oh... iya. Saya tidak mengganggu, kan?” tanyanya cepat.

“Tidak insya Allah. Hanya bolehkah nanti saya hubungi balik? Setelah pasien tertangani?” suaranya lelah, tapi tetap sopan.

“Baik. Saya hanya ingin membicarakan niat yang tadi. Supaya jelas, tanpa ragu,” ujar Yassir hati-hati.

“InsyaAllah, saya juga ingin menjelaskan. Nanti saya kabari,” jawab Zamara.

“Semoga pasiennya diberi kesembuhan.”

“Aamiin. Terima kasih, Pak Ustadz,” balas Zamara, sebelum sambungan terputus.

Yassir menatap ponsel yang kini hening. “Ya Allah... jika dia datang karena Engkau, tuntun aku untuk tidak menyia-nyiakan,” bisiknya.

---

Di ruang ganti rumah sakit, Zamara berdiri di depan cermin kecil. Rambut kusutnya ia rapikan, lalu meraih kerudung warna sage yang lembut. Ia tersenyum kecil, memberi semangat pada bayangan dirinya sendiri.

“Aku harus terlihat segar. Aku harus yakin,” gumamnya.

Ia menepuk pipinya pelan, mencoba menyingkirkan lelah. Tangannya menyisir jilbab agar rapi. Bibirnya membentuk senyum tipis.

“Aku yang datang duluan, aku juga harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya,” katanya lirih, namun tegas.

Sebelum berangkat, ia sempat bercanda kecil dengan dirinya sendiri. “Aku harus cantik supaya Ustadz ganteng itu nggak berubah pikiran,” ucapnya sambil tersenyum getir.

Langit senja masih menyimpan sisa jingga ketika Zamara melangkah masuk ke kafe. Tangannya sedikit gemetar memegang buket mawar kuning yang ia beli di pinggir jalan. Warnanya cerah, segar, seolah melambangkan keberanian yang baru saja ia putuskan.

Di sudut ruangan, Ustadz Yassir berdiri menunggunya. Rautnya sopan, namun tak bisa menyembunyikan keterkejutan saat melihat Zamara datang dengan bunga di tangan.

“Assalamu’alaikum...” sapa Zamara, suaranya bergetar.

“Wa’alaikumussalam,” balas Yassir lembut, menarik kursi untuknya.

Zamara duduk perlahan, lalu meletakkan buket di atas meja. “Ini untuk Ustadz,” ucapnya malu-malu.

Yassir menatap bunga itu. “Kenapa mawar kuning?” tanyanya perlahan.

Zamara menarik napas, lalu tersenyum tipis. “Karena merah untuk cinta, putih untuk ketulusan, dan kuning untuk keberanian yang mungkin terlihat nekat.”

Senyum tipis terbit di bibir Yassir. “Nekat, ya?”

Zamara menunduk, namun matanya tetap berani menatap. “Kalau Ustadz belum siap menerima lamaran saya, saya rela melamar dua kali. Kalau Ustadz masih ragu, saya bisa menunggu. Tapi jangan minta saya berhenti menyimpan rasa.”

Yassir menghela nafas panjang. Tangannya meraih gelas kopi, mencoba menenangkan debaran di dada.

“Zamara... kamu tahu ini bukan hal ringan. Pernikahan bukan sekadar soal suka bukan pula hanya tentang berani datang lebih dulu.”

“Saya tahu, Ustadz,” jawab Zamara lirih, “tapi saya juga tahu perasaan ini bukan sesaat. Saya tidak meminta langsung diterima. Saya hanya meminta kesempatan agar Ustadz yakin bahwa saya bukan sekadar perempuan nekat yang membawa bunga.”

Yassir terdiam. Di hadapannya, duduk seorang perempuan yang datang bukan hanya dengan mawar kuning, tapi juga dengan keberanian dan kejujuran. Dan mungkin itulah yang selama ini ia cari.

Suasana kafe sore itu cukup tenang. Hanya terdengar suara gelas beradu dan percakapan orang-orang yang duduk berjarak. Zamara menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, sementara Ustadz Yassir menatapnya penuh makna.

Belum sempat kata lain terucap, dua sosok mendekat. Ustadz Alif dan Ustadz Hanan datang, wajah mereka serius tapi tetap ramah.

“Assalamu’alaikum,” sapa Ustadz Alif sambil menepuk bahu Yassir.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Yassir singkat.

Zamara berdiri refleks, memberi salam sambil menunduk. “Wa’alaikumussalam, Ustadz.”

Hanan membalas dengan senyum tipis. “Silakan duduk Mbak. Kita ngobrol baik-baik.”

Mereka semua duduk. Suasana agak kikuk, namun tatapan Yassir membuat Zamara sedikit lebih tenang.

Ustadz Alif membuka percakapan. “Tadi kami dengar dari Yassir, kamu datang ke masjid dengan niat melamar dia. Boleh diceritakan, apa yang bikin kamu berani melakukan hal itu?” tanyanya pelan, ujarnya penuh rasa ingin tahu.

Zamara menggenggam erat tangannya di pangkuan. “Saya merasa kalau menunggu terus malah bikin hati saya gelisah. Saya tahu biasanya laki-laki yang melamar, tapi saya takut kesempatan itu hilang kalau saya diam saja,” katanya dengan suara yang masih bergetar.

Hanan menatap lekat. “Berarti kamu sudah siap dengan segala resikonya? Siap dengan pertanyaan orang-orang, bahkan mungkin cibiran?” imbuhnya tegas.

Zamara mengangguk. “Iya, Ustadz. Saya lebih takut kehilangan kesempatan daripada takut omongan orang.”

Yassir hanya menunduk, menahan debar yang terus berlari.

Alif bersandar, lalu menghela napas. “Kamu kerja di mana, Mbak?” tanyanya.

“Saya dokter, Ustadz. Sekarang lagi tugas di rumah sakit kota. Bidang IGD,” jawabnya cepat.

“Dokter ya...” gumam Hanan, nadanya datar tapi matanya menguji. “Kalau kariermu nanti bentrok dengan kehidupan rumah tangga, apa kamu siap mengalah?” tanyanya lagi, menekankan setiap kata.

Zamara menatap ke arah Yassir sebentar, lalu kembali menjawab. “Saya belajar dari pasien saya, Ustadz. Hidup bisa berhenti kapan saja. Jadi buat saya keluarga tetap prioritas. Karier bisa saya sesuaikan, tapi kalau kehilangan orang yang kita sayang, itu tidak bisa diulang,” ucapnya tegas.

Yassir menutup mata sejenak, dadanya makin sesak mendengar kalimat itu.

Alif mencondongkan badan. “Satu hal lagi. Kamu yakin rasa ini bukan karena kagum semata? Ustadz Yassir orang yang disegani. Banyak murid perempuan yang juga simpati padanya. Jangan sampai ini hanya kekaguman sesaat,” ujarnya serius.

Zamara menelan ludah. Ia tersenyum tipis, meski suaranya tetap mantap. “Kagum pasti ada, Ustadz. Tapi kalau hanya kagum, saya nggak akan berani datang. Rasa ini sudah saya simpan lama, sudah saya doakan lama. Saya nekat melamar bukan karena iseng, tapi karena saya yakin,” jawabnya penuh keyakinan.

Hanan menghela napas, lalu menatap Yassir. “Antum dengar sendiri jawabannya. Tinggal sekarang hati antum mau ke mana.”

Yassir terdiam. Tangannya memegang gelas kopi yang sudah dingin. Ia menatap Zamara yang masih duduk tenang dengan mawar kuning di meja.

Dalam hati ia berucap, “Ya Rabb, inikah jawaban dari doa-doaku?”

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!