Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Papa Disini
Langkah kaki Clarissa terdengar cepat menyusuri lorong Montgomery Corp. Tumit stilettonya menginjak lantai marmer, menimbulkan gema kecil di koridor yang kosong. Wajahnya full makeup, bold dan sempurna dengan tas H**mes tergantung di bahu. Langkahnya langsung menuju pintu ruang pribadi Sean, pintu yang biasanya bisa ia buka dengan mudah tanpa harus izin terlebih dahulu.
Namun malam ini dua bodyguard berdiri tegap di depan pintu menghalangi langkahnya.
“Maaf, Nona Clarissa. Anda tidak diperkenankan untuk masuk.”
Clarissa berhenti, dagunya terangkat.
“Saya tidak butuh izinmu. Saya bagian dari keluarga Montgomery, minggir!”
Bodyguard tetap tak bergeming.
“Maaf Nona, ini perintah langsung dari Tuan Sean dan itu mutlak.”
Wajah Clarissa berubah tegang.
“Sean ada di dalam?”
Tak ada jawaban.
“Sendirian?”
Diam.
“Atau jangan-jangan dia bersama Ariana?”
Kedua bodyguard saling melirik, tapi tetap diam.
Clarissa memicingkan mata, matanya menyipit tajam.
“Jadi benar Sean bersama Ariana!?”
Ia mencoba masuk dengan paksa, tapi salah satu bodyguard mengangkat tangan menghadangnya dengan tegas. Ini termasuk tanda peringatan.
“Maaf, Nona. Tolong segera pergi dari sini atau kami tidak akan segan menggunakan kekerasan.”
Clarissa berdiri di depan pintu dengan napasnya cepat dan rahang yang menegang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Rasa marah, harga diri yang terinjak, dan rasa takut kehilangan semuanya berkecamuk jadi satu.
“Wanita kampung, upik abu!” Suara itu hanya untuk dirinya sendiri.
Wajahnya yang biasanya anggun, hari ini mulai retak.
“Buka pintunya! Aku bilang buka!”
Clarissa menekan tombol intercom namun tidak ada jawaban dari dalam. Ia menoleh ke salah satu bodyguard yang bernama Jerry. “Kalau kamu bekerja di sini, kamu seharusnya tahu siapa aku!”
Jerry menjawab dengan tenang. “Kami hanya menjalankan perintah langsung dari Tuan Sean.”
“Aku tunangannya!”
“Kami tidak menerima informasi resmi soal itu, Nona.”
Suara tumit Clarissa menghentak lantai. Ia berjalan bolak-balik lalu menendang kursi kecil di sudut lorong hingga jatuh.
“Kalian pikir wanita yang dibawa masuk diam-diam itu lebih baik dariku? Dia bahkan bukan siapa-siapa!” teriaknya dengan wajah memerah. Napasnya sampai terengah-engah.
“Sebentar lagi aku akan menjadi Nyonya Montgomery! Kalian salah kalau bermain-main denganku. Aku pastikan saat aku menikah dengan Sean kamu tidak akan pernah menginjakkan kaki di kantor ini.”
Jerry tetap diam, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Sekali lagi perintah dari Sean Montgomery adalah mutlak.
“Silahkan pergi dari sini Nona, apa pun yang anda lakukan tidak akan mengubah apa pun.”
“Sial… sial… sial…! Brengsek kalian semua!”
Clarissa menatap pintu itu dengan kilatan penuh dendam.
“Clarissa tidak akan pernah lupa untuk semua penghinaan ini.” bisiknya lalu membalikkan badan.
Langkahnya cepat namun tidak sestabil biasanya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Clarissa, ia harus pergi tanpa membawa kemenangan. Rasanya seperti seluruh harga diri yang ia bangun bertahun-tahun dirobohkan dalam sekejap. Kali ini ia boleh mengalah, tapi di dalam kepalanya kalimat ini sudah terukir dalam. Kalau aku tidak bisa memiliki Sean, maka tidak ada seorang pun di dunia ini yang boleh memilikinya.
Hanya dia seorang, Clarissa.
Sean Montgomery hanya untuk Clarissa.
Pelan-pelan perasaan itu berubah menjadi ambisi yang mematikan.
***
Sean bersandar pelan di sandaran kursi. Matanya belum mau menutup. Menjelang malam, udara semakin dingin. Ariana masih tertidur, tubuhnya terlalu lelah setelah ledakan emosi dan rasa sakit bertubi-tubi.
Sean menatap wajah itu lama lalu berdiri perlahan. Ia melepaskan jasnya, kemudian kemeja putih dan melipatnya rapi di ujung sofa lalu berjalan pelan ke sisi ranjang.
Tangannya ragu saat menyentuh selimut yang menyelimuti Ariana, tapi hanya sebentar. Setelah itu ia menyelipkan dirinya masuk ke balik selimut yang sama. Menarik Ariana perlahan ke dadanya. Lengan kirinya melingkari tubuh Ariana. Tangannya menyentuh bagian punggung wanita itu. Terasa hangat dan lembut. Jaket tipis Ariana ia lepas pelan-pelan agar perempuan itu lebih nyaman.
Dan di dalam pelukan itu, Sean menemukan kenyamanan yang telah hilang sejak delapan bulan yang lalu. Sean memejamkan mata ingin merasakan detak jantung Ariana lebih jelas. Aroma rambutnya yang sederhana tapi entah kenapa membuat Sean merasa candu dan menemukan ketenangan.
Dan dalam keheningan malam itu, kenangan lama mulai menyusup masuk.
Piring makan malam yang dulu ia diamkan. Bantal yang basah oleh tangis Ariana. Suara lembutnya yang dulu sering bertanya, “Kamu capek, Sean? Biar aku pijat kepalamu.”
Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dulu hanya ia balas dengan diam atau helaan napas pendek. Sekarang pertanyaan-pertanyaan itu menghantui.
Kenapa aku tidak pernah melihatnya?
Kenapa aku diam saja saat dia menangis?
Kenapa aku biarkan dia pergi tanpa pernah menahannya?
Tangannya mengepal perlahan di atas perut Ariana.
Dan saat itulah satu tendangan kecil menyentuh sisi dadanya. Tepat di antara keheningan dan gelombang rasa bersalah yang tak terbendung. Lalu disusul satu tendangan lagi, kali ini lebih kuat. Seolah bayi itu memberi pertanda, ia sedang menyapa ayahnya. Sean tidak bisa menahannya lagi, tubuhnya bergetar pelan. Air mata turun tanpa disertai suara. Hanya mengalir seperti air yang akhirnya menemukan celah setelah lama tertahan di bendungan yang keras kepala.
“Maaf,” bisiknya di rambut Ariana.
“Maaf, aku terlalu bodoh.”
Ariana tidak menjawab, tapi tubuhnya bergerak sedikit. Mungkin ia mendengar atau mungkin juga tidak. Tangannya menyentuh perut Ariana lagi. Tendangan itu datang lagi, tendangan kecil yang membuat Sean merasa ia benar-benar menjadi seorang ayah.
“Papa di sini…” Kalimat itu keluar begitu saja.
Dan untuk pertama kalinya sejak James Montgomery meninggal, Sean Montgomery menangis. Perlahan ia menyentuh lengkung wajah Ariana, hidung yang kecil, pipi yang sedikit membulat, dan rambut yang tergerai. Sean menatap wajah itu lama. Ia mengangkat selimut sedikit lalu tangannya menyentuh ujung dress tipis Ariana lalu menarik dress itu perlahan ke atas, bukan dengan nafsu seperti dulu, tapi dengan rasa kagum dan penyesalan yang datang terlambat.
Perut Ariana membulat dan ada garis samar di tengah kulitnya
Sean menunduk, dalam keheningan malam ia mencium perut itu lembut. Bersama air mata yang masih belum sepenuhnya berhenti. Ia mengusap pelan dengan punggung jarinya dan tendangan kecil itu kembali menyapanya. Sean terkekeh kecil, menertawakan kebodohannya sendiri.
Lalu wajahnya kembali naik, menyusuri tubuh yang selama ini selalu hadir disisinya tapi tak pernah ia hormati sebagaimana mestinya. Ia mengecup bahu Ariana, lalu dahi, lalu pipi, kelopak mata yang tertutup, ujung dagu. Seluruh wajah itu ia cium, seakan ingin menghapus semua luka yang pernah ia ciptakan. Ariana mengerang pelan dalam tidur. Sean membisik di telinganya, “Bersabarlah, tunggu aku sebentar lagi.”
Sean menarik selimut lagi namun pandangannya terhenti. Kaki Ariana, bengkak.
Sean terdiam, rasa sesal yang datang menusuk dalam. “Kamu pasti sudah melewati banyak hal sendiri.”
Sean mengambil satu bantal dari belakang kepalanya dengan hati-hati tanpa membangunkan Ariana. Dengan perlahan menyelipkan bantal itu di bawah kedua kakinya, mengangkatnya sedikit supaya peredaran darah lebih baik.
Ia menatap kaki itu lekat. Lalu dengan hati-hati, ia menunduk dan mengecup kakinya. Sean mengusap rambut Ariana, lalu membisik. “Maafkan aku.”
Sean memeluknya sekali lagi, mencoba menyerap rasa tenang yang sempat hilang.
tp sebelumx buat Sean setengah mati mengejar kembali ariana