seorang anak perempuan bercita-cita untuk sukses bersama sang ayah menuju kehidupan yang lebih baik. banyak badai yang dilalui sebelum menuju sukses, apa saja badai itu?
Yok baca sekarang untuk tau kisah selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica Wulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesabaran
Matahari siang menyinari desa mekar asri dengan terik. Aisyah, dengan rambut terurai dan seragam putih abu-abu yang sedikit kusut, mengayuh sepedanya dengan lincah. Sepeda bututnya melintasi jalan setapak yang berdebu, menuju ke tempat ayahnya bekerja di sawah. Angin sore membawa aroma tanah basah dan padi yang harum.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat bude rita pemilik warung sembako sederhana namun ramai dikunjungi para petani. Bude Rita, dengan senyum ramahnya yang khas, melambaikan tangan memanggil Aisyah. Aisyah pun menghentikan sepedanya dan menghampiri warung tersebut.
"Aisyah, Nak! Mau kemana ini, siang-siang masih bersepeda aja?" sapa Bude Rita, suaranya hangat dan ramah.
"Mau ke sawah, Bude, mau ketemu Ayah," jawab Aisyah, napasnya sedikit tersengal.
Bude Rita tersenyum, matanya mengamati seragam sekolah Aisyah yang sedikit kotor terkena debu jalan. "Ayahmu lagi sibuk ya? Sekolahmu sudah selesai?"
"Iya, Bude. Ini aisyah baru aja pulang sekolah," jawab Aisyah.
Bude Rita menarik napas dalam-dalam. Ia memperhatikan Aisyah yang terlihat lelah namun tetap ceria. "Aisyah, Nak... Begini...Bude lagi butuh banget bantuan. Gimana kalau kamu bantu Bude jaga warung ini, sepulang sekolah?"
Aisyah mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak. Membantu ayahnya memang impiannya, tetapi ia juga harus tetap fokus pada sekolah.
"Bantu jaga warung, Bude? tapi.. aisyah masih sekolah, Bude," kata Aisyah ragu-ragu.
"Iya, Nak bude tau kok, Kerjanya cuma sepulang sekolah aja, sampai jam tujuh malam. Gajinya sehari dua puluh lima ribu. Atau kalau mau bulanan, tujuh ratus lima puluh ribu. Gimana, Nak? memang ngga banyak, tapi semoga bisa membantu," Bude Rita menjelaskan dengan sabar, matanya penuh pengertian.
**Deghh**
Aisyah tertegun. Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah dalam sebulan! Jumlah itu cukup besar untuk membantu meringankan beban keluarganya. Ia membayangkan wajah ayahnya yang selalu lelah setelah seharian bekerja di sawah. Hatinya bergetar.
"Bagaimana, Nak? Pikir baik-baik ya, bude cuma percaya sama kamu aisyah.." Bude Rita menambahkan, memberikan Aisyah waktu untuk mempertimbangkan tawarannya.
Aisyah menggigit bibir bawahnya. Ia memikirkan keseimbangan antara sekolah dan membantu keluarganya. Setelah beberapa saat terdiam, ia mengangkat wajahnya, matanya berbinar.
"Baiklah, Bude aisyah mau!" jawab Aisyah mantap. Senyum lega merekah di wajahnya.
Bude Rita tersenyum lebar, merasa lega. "Alhamdulillah... Besok, sepulang sekolah ya, Nak. Jam dua sore sudah mulai. Jangan lupa ya!"
"Iya, Bude. Terima kasih banyak, Bude aisyah pamit dulu assalamu'alaikum!" Aisyah mengucapkan terima kasih dengan tulus, hatinya dipenuhi rasa syukur dan harapan.
Setelah berpamitan, Aisyah kembali mengayuh sepedanya, kali ini dengan langkah lebih ringan dan hati yang lebih tenang. Ia membayangkan bagaimana ia bisa membantu ayahnya, meskipun hanya dengan sedikit penghasilan tambahan.
Di warungnya, Bude Rita mengamati Aisyah yang pergi. Ia berdoa dalam hati, "Ya allah Semoga Aisyah selalu sukses dan menjadi anak yang baik. Semoga rezeki nya selalu melimpah untuknya dan keluarganya." Setetes air mata haru menetes di pipinya, ia merasa telah melakukan sesuatu yang bermakna hari ini. Ia telah membantu seorang anak yang baik hati dan rajin.
...----------------...
Mentari sore menyinari hamparan sawah yang luas. Aisyah mengayuh sepedanya dengan kencang, jantungnya berdebar-debar. Sesampainya di sawah, ia melihat ayahnya, Ramlan, tengah memanen padi dengan tubuh yang sedikit membungkuk.
"Ayah!" teriak Aisyah, suaranya riang memecah kesunyian sore.
Ramlan tersentak, lalu tersenyum lebar melihat putrinya datang. Ia segera menghampiri Aisyah yang sudah turun dari sepeda.
"Aisyah, Nak! Ada apa ? kenapa kamu buru-buru sekali?" tanya Ramlan, sedikit khawatir.
"Ayah, aku dapat kerjaan yahh!" seru Aisyah, matanya berbinar-binar. Ia menceritakan tawaran Bude Rita, tentang pekerjaan menjaga warung sepulang sekolah, dengan gaji 25 ribu per hari atau 750 ribu per bulan. "Aku sudah terima, Yah!" lanjutnya dengan penuh semangat.
Ramlan tertegun. Ia menatap Aisyah dengan raut wajah terkejut. "Kerja nak? Aisyah, kamu masih sekolah. Fokus sekolahmu dulu, Nak. Biar Ayah saja yang bekerja keras," kata Ramlan, suaranya terdengar sedikit tegas namun lembut.
"Tapi, Yah... aku ingin membantu Ayah. Aku juga ingin menabung lebih banyak untuk kuliah nanti," bujuk Aisyah dengan nada manja, sambil memeluk lengan ayahnya. "Gaji itu cukup banyak, Yah. Kita bisa beli beras lebih banyak, dan aku bisa menabung untuk kuliah.Pliss boleh ya ayah ku sayang.. "
Ramlan menghela napas panjang. Ia tahu betapa gigihnya Aisyah. Ia melihat tekad yang kuat di mata putrinya. Melihat usaha putrinya yang ingin membantunya, hatinya luluh.
"Baiklah, Nak. Ayah mengizinkan. Tapi, kamu harus tetap fokus sekolah. Jangan sampai pekerjaan mengganggu belajarmu. Janji?" kata Ramlan, akhirnya mengalah.
Aisyah langsung mengangguk cepat, "Janji, Ayah! Aisyah akan tetap rajin belajar dan mengerjakan PR. Terima kasih, Ayah sayang!" Ia memeluk ayahnya erat-erat, rasa syukur dan bahagia memenuhi hatinya. Ramlan mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih sayang. Ia tahu, Aisyah adalah anak yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ia percaya, putrinya mampu menyeimbangkan antara sekolah dan pekerjaan barunya. Meskipun sedikit khawatir, ia bangga akan semangat dan kerja keras Aisyah.
Malam telah larut. Aisyah duduk di meja belajarnya, lampu meja menerangi wajahnya yang serius mengerjakan PR. Namun, pikirannya melayang. Buku pelajaran di depannya seakan kabur, digantikan oleh kenangan akan sosok ibunya, Fatimah.
"Ibu ais rindu ibu....." bisik Aisyah lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia teringat senyum lembut ibunya, sentuhan tangannya yang hangat, dan nasihat-nasihat bijak yang selalu diingatinya. "Kenapa ibu pergi bu?.. Ibu selalu mengajariku kebaikan, kesabaran, dan selalu tersenyum dalam keadaan apapun. Ibu... aku rindu Ibu hikss hikss...."
Aisyah meletakkan pulpennya, air matanya kini mengalir deras. Ia teringat bagaimana ibunya selalu mendukungnya, selalu ada untuknya. Betapa ia merindukan pelukan hangat ibunya, pelukan yang selalu membuatnya merasa aman dan tenang.
"Aku harus kuat, untuk Ayah," gumam Aisyah, menghapus air matanya. Ia bangkit dari kursinya dan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu, ia menunaikan sholat Isya dengan khusyuk.
Setelah sholat, Aisyah bersimpuh di hadapan sajadah, berdoa dengan suara terbata-bata. "Ya Allah, ampunilah dosa-dosa Ibuku, ya allah. Tempatkanlah ia di tempat yang paling mulia di surga-Mu. Berikanlah ia ketenangan dan kebahagiaan abadi. Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk selalu menjaga Ayah dan membahagiakannya. Aku janji akan selalu berusaha menjadi anak yang baik dan berbakti." Doanya diiringi isak tangis yang pelan.
Setelah selesai berdoa, Aisyah merasa sedikit lebih tenang. Ia kembali ke meja belajarnya, melanjutkan mengerjakan PR-nya. Meskipun rindu pada ibunya masih terasa, ia merasa lebih tegar dan bersemangat. Ia akan selalu mengingat pesan-pesan ibunya, dan ia akan selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik, yang mampu menjaga dan membahagiakan ayahnya.
Di balik pintu kamar Aisyah, Ramlan berdiri. Ia tak sengaja mendengar setiap kata doa yang dipanjatkan putrinya untuk almarhumah Fatimah. Air mata tak mampu dibendungnya. Ia mendengar kerinduan Aisyah yang begitu dalam, kerinduan yang sama yang juga dirasakannya setiap hari. Rasa kehilangan istrinya masih begitu terasa, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Setelah beberapa saat, Ramlan kembali ke kamarnya. Ia bersimpuh di hadapan sajadah, menunaikan sholat . "Ya Allah," doanya dimulai, suaranya masih bergetar, "Ampunilah dosa-dosa istriku, Fatimah. Tempatkanlah ia di sisi-Mu, berikanlah ia ketenangan dan kebahagiaan di surgaMu. Dan, Ya Allah, berkahilah Aisyah, anakku. Jagalah ia selalu, berikanlah ia kekuatan dan kesehatan, bimbinglah ia menuju jalan yang benar. Berikanlah ia kebahagiaan, seperti yang selalu ia doakan untuk ibunya."
Ia melanjutkan doanya dengan suara yang lebih tenang, namun air matanya masih terus mengalir. "Aku berjanji akan selalu ada untuknya, akan selalu menjaganya, seperti yang selalu Fatimah lakukan." Doanya diakhiri dengan isak tangis yang pelan, menyatukan kesedihan dan rasa syukur dalam satu untaian doa yang tulus.
...****************...
Pagi hari, Aisyah bersiap untuk berangkat sekolah. Ia meraih sepatunya, namun ia mendapati sol sepatu sebelah kanannya sudah robek cukup parah. Ia menghela napas. Ia tahu, meminta sepatu baru pada ayahnya berarti menambah beban kerja ayahnya. Ayahnya sudah bekerja keras setiap hari di sawah, ia tak ingin menambah beban ayahnya.
"Hmm... gimana ini?" gumam Aisyah, melihat sol sepatunya yang robek. Ia berpikir sejenak. "Yaudah gapapa deh, aku bisa memperbaikinya sementara."
Aisyah mencari lem di laci meja riasnya. Ia menemukan lem bekas dan segera membersihkan sol sepatunya yang robek. Dengan hati-hati, ia mengoleskan lem dan menempelkan kembali bagian yang robek. Ia berharap perbaikan sementara ini cukup untuk bertahan sampai ia bisa membeli sepatu baru sendiri.
"Sabar ya, sepatu, sayang" kata Aisyah sambil mengoleskan lem, suaranya lembut. "Nanti kalau aku sudah mulai kerja di warung Bude Rita, aku akan beli sepatu baru sendiri dan memperbaiki kamu juga. Aku janji." Ia tersenyum kecil, mencoba untuk tetap optimis. "Aku harus rajin bekerja dan menabung. Aku nggak mau merepotkan Ayah lagi." Ia menyelesaikan perbaikan sepatunya dengan tekun, mencoba untuk menutupi robekan semaksimal mungkin. Meskipun perbaikannya sederhana, ia merasa lega karena setidaknya ia bisa berangkat sekolah tanpa harus merepotkan ayahnya lagi.
...----------------...
Aisyah sampai di sekolah dan memarkir sepedanya di tempat biasa. Ia hendak menuju kelasnya, namun langkahnya terhenti. Alya, anak dari paman dan bibinya, berdiri menghalanginya bersama dua temannya, Rini dan Dita. Ketiganya mengenakan seragam yang rapi dan bersih, kontras dengan seragam Aisyah yang sedikit kusut dan sol sepatunya yang telah diperbaiki.
"Hai miskin Lihat tuh, sepatu kamu robek! Masih mau sekolah aja? Nggak malu ya?" ejek Alya, suaranya nyaring dan penuh dengan kebencian. Rini dan Dita tertawa mengejek.
"Ini sepatu Aisyah, bukan sepatu kamu," jawab Aisyah tenang, berusaha mengabaikan ejekan mereka.
"Alah Sok alim! Padahal bajunya aja udah kayak anak gembel! Kotor, lusuh, lecek iww. " timpal Rini, menunjuk-nunjuk seragam Aisyah.
"Biarin aja. Yang penting aku bisa sekolah," jawab Aisyah, suaranya tetap tenang, walaupun hatinya sedikit terluka.
Alya semakin kesal melihat Aisyah yang tetap tenang. Ia merasa ejekannya tidak mempan. "Kamu iri kan sama aku? Aku punya baju bagus, sepatu bagus, dan Papa Mamaku kaya!" ujar Alya, suaranya meninggi.
"Aku nggak iri," jawab Aisyah, "Aku bersyukur dengan apa yang aku punya."
"Bohong! Kamu pasti iri! Kamu kan anak orang miskin jadi ngga bisa kayak kita kita" teriak Dita, ikut-ikutan mengejek.
Aisyah menghela napas panjang. Ia tahu, Alya dan teman-temannya sebenarnya iri pada nya yang selalu mendapat sorotan dari guru dan murid lain. Mereka hanya mencoba untuk menjatuhkannya dengan cara yang tidak terpuji.
"Kalian ngga perlu tau kehidupan aku
. Kebahagiaan itu bukan hanya tentang harta benda," kata Aisyah, suaranya sedikit lebih tegas. "Kalian harus belajar untuk menghargai diri sendiri dan orang lain."
***Brukkk***
Alya semakin marah. Ia tidak suka dibantah. Dengan kasar, ia mendorong Aisyah hingga jatuh terduduk. Buku-buku dan alat tulis Aisyah berserakan di tanah.
"Dasar miskin! Jangan sok pintar bikin jijik aja, Yok guys kita pergi biarin si miskin di sini sendirian!" bentak Alya, lalu berlalu pergi bersama Rini dan Dita, meninggalkan Aisyah yang terduduk di tanah, merasakan sakit fisik dan sakit hati. Aisyah merapikan buku-bukunya, mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan kesal yang ia rasakan.
Caca, yang baru saja tiba di sekolah, melihat Aisyah terduduk di tanah dengan buku-buku yang berserakan. Ia langsung menghampiri Aisyah dan membantunya berdiri.
"Aisyah! Kamu kenapa? pasti alya the geng yang melakukan ini?" tanya Caca, suaranya penuh kekhawatiran. Ia melihat seragam Aisyah yang kusut dan wajahnya yang sedikit pucat.
Aisyah hanya tersenyum tipis, mencoba untuk menyembunyikan rasa sakit hatinya. "Gakpapa, Ca," jawabnya pelan.
Caca melihat kesedihan di mata Aisyah. Ia geram. "Gakpapa gimana? Lihat ini! Mereka berani-beraninya memperlakukanmu seperti ini!" Caca menunjuk buku-buku Aisyah yang berserakan. Amarahnya memuncak. "Aku nggak terima sya! Aku akan melabrak Alya dan teman-temannya yang sok cantik itu...!"
"Ca, jangan! Aku gakpapa kok," Aisyah mencoba menenangkan Caca. "Jangan sampai kamu terkena masalah karenaku ca."
"Tapi aku nggak terima liat kamu diperlakukan seperti itu! Mereka itu jahat, sombong, dan iri sama kamu sya!" Caca masih marah. "Mereka hanya iri karena kamu cantik dan pintar!"
Aisyah memegang tangan Caca. "Aku tahu, Ca. Tapi aku nggak mau memperpanjang masalah. Lebih baik kita fokus belajar aja."
Caca menatap Aisyah dengan penuh kekhawatiran dan sayang. Ia mengerti Aisyah adalah orang yang baik hati dan selalu sabar. Tapi ia tidak bisa tinggal diam melihat temannya diperlakukan seperti itu.
"Baiklah," kata Caca, suaranya sedikit lebih tenang. "Tapi aku akan selalu bersamamu sya. Biar mereka nggak berani macam-macam lagi. Aku nggak akan membiarkan mereka nyakitin kamu lagi sya." Caca memeluk Aisyah erat-erat.
"Terima kasih, Ca," kata Aisyah, membalas pelukan Caca. Rasa hangat dan aman memenuhi hatinya. "Aku bersyukur punya sahabat sepertimu."
"Aku Selalu ada untukmu, Aisyah," kata Caca, menguatkan Aisyah. "Kita sahabat, kan? Kita akan selalu bersama, untuk menghadapi apapun okey. " Ia melepaskan pelukannya, mengusap air mata yang jatuh di pipi Aisyah.
"Sekarang, ayo kita ke kelas. Jangan biarin mereka merusak harimu." Caca tersenyum, memberikan Aisyah kekuatan dan semangat untuk melanjutkan harinya. Ia bertekad untuk selalu melindungi Aisyah dari kejahatan Alya dan teman-temannya.