"Gue Mau Putus"
Tiga kata itu Nyaris membuat Alle tak bernafas beberapa detik, sebelum akhirnya menghela nafas.
"Sayang, jangan bercanda deh. ini benar hari anniversary kita tapi kejutannya jangan gini dong, aku ngak suka. *rujuknya dengan suara manja, berfikir ini hanya prank, Ares hanya mengerjainya saja*
Ares tak membalas ucapan Alle namun dia dengan tegas menggenggam tangan gadis disampingnya dan menatap Alle dengan tatapan dingin dan muak.
"Gue udah selingkuh sama Kara, dua bulan yang lalu dan....".
"Dia sekarang hamil anak gue"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodelima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAKIT
Alle mengerjakan matanya sembari meringis kecil ketika tubuhnya reflek bangun.
"Eh, udah bangun?" suara seorang membuatnya menoleh.
Alle mendapati dokter yang biasanya terjaga lali tersenyum tipis.
Setelah membantu Alle duduk, dokter bernama Leti itu mengambil bungkus makanan dan cup minuman yang sudah menjadi dingin karna Alle pingsan cukup lama.
"Tadi kamu pingsan, kamu dari kemarin belum makan ya?" tanya dokter Leti sembari menyiapkan makanan untuk Alle.
"Siapa yang membawa saya kesini dok?"
"Tadi cowok tampan, fotonya pernah saya lihat dimading foto laki-laki tertampan dikampus ini kayaknya, tapi saya lupa siapa namanya."
Senyum Alle terukir, pasti Ares pikirnya.
"Dia juga bawain makanan ini tadi." lanjut dokter itu menjelaskan. "Sekarang habiskan makanannya, tubuh kamu masi lemas, kamu boleh istirahat disini atau kamu mau pulang ngak apa-apa."
Alle tersenyum dan mengangguk setelah dokter Leti memberikan makanannya, dia segera melahapnya dengan cepat karna berpikir pasti Ares yang membelikan.
Memang tadi pagi dia sarapan, tapi dimuntahkannya kembali. padahal dia hanya memakai sedikit nasi dan lauk, semua terbuang sia-sia karna tubuhnya seakan tidak mau menerima.
Selesai makan dia segera memeriksa ponselnya yang ada ditas, pesan yang dikirimnya tadi pagi belum ada satupun yang dibaca Ares, jangankan dibalas dibuka saja tidak.
Dia pun segera turun mengingat ini memang jam pulang entah berapa lama dia pingsan, namun baru kakinya menginjak lantai tiba-tiba saja kepalanya kembali pusing dan nyaris ambruk untung saja dokter Leti mengetahui dan segera tanggap membantu.
"Kamu mau pulang? Ada teman atau saudara yang mau menjemput?" tanya dokter Leti, sembari membantu Alle duduk kembali.
Alle menggeleng lemah, teman? Dia tak punya teman satupun ataupun saudara? Dia tak ingin mengingat itu.
"Bentar saya Carikan orang-orang yang bisa membantumu pulang."
Setelah dokter Leti pergi, Alle berinisiatif menelpon Ares namun beberapa kali panggilan tidak satupun dijawabnya.
Nomornya memang aktif, namun sepertinya Ares tidak mengetahui atau tak mengakatnya.
Tak lama kemudian dokter Leti membawa seorang laki-laki, Alle tak mengenalnya, selain karna Alle jarang bertegur sapa dengan orang-orang disekitarnya dia memang tidak terlalu ingin untuk bersikap biasa aja.
"Kamu bisa mengantarnya pulang?"
Laki-laki itu memandang Alle nakal, raut wajahnya yang tak baik terlihat ketika melihat dengan detail dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Alle yang sempat melirik wajah laki-laki itu semakin gemetar ketakutan dia meremas ujung bajunya dengan sangat gelisah.
"Bisa kok dok."
"Dok saya bisa pulang sendiri." cicit Alle pelan.
"Ngak, kamu masih lemas, biar dia saja yang mengantar kamu pulang."
Dengan sedikit terpaksa Alle bangun dibantu dokter Leti sampai didepan pintu keluar.
Ketika keluar, dia mendapati suasana yang sangat sepi hal itu membuatnya semakin gemetar.
"Ngak usah pegang, aku ngak papa." Alle berujar dengan gugup sembari memberi jarak.
Namun laki-laki itu tak tinggal diam tetap merangkul tubuh Alle yang dirasanya gemetar sangat hebat, bukan merasa kasihan laki-laki itu malah semakin gemes dibuatnya.
"Lo itu lemas, nanti kalau ada apa-apa gue yang disalahin tuh dokter, nurut aja, gue cuma mau ngasih Lo enak kok."
Laki-laki itu menatap Alle dengan tatapan nakal, membuat gadis itu hanya bisa menggigit bibirnya menahan ketakutan.
"Ares, aku takut." Alle merintih dalam hati.
Hingga ketika melewati lorong yang sangat sepi, laki-laki itu semakin berani, tubuh Alle semakin dieratkan padanya dan tangannya yang semula ada dibahunya semakin turun hendak menyentuh payudaranya.
TAK!!
Namun sebelum itu terjadi, sebuah tangan menyentak tangan laki-laki yang merangkul Alle cukup keras sampai terlepas dan Alle yang masih melemas nyaris limbung jika saja tak ada seseorang yang menahan tubuhnya.
"Biar gue aja yang antar, dia teman gue."
Suara berat dan dingin yang cukup tak asing membuat Alle mendongak, bisa dia melihat wajah Arga yang menatap laki-laki tadi dengan tatapan tajam, membuat laki-laki yang akan kurang ajar padanya mendengus dan pergi dengan kekesalannya.
Laki-laki itu merasa kesal karna tidak bisa melawan Arga, laki-laki dingin yang soalnya sangat menakutkan jika sekali bicara ditamba tatapannya yang tak biasa.
Setelah membantu Alle berdiri dengan sempurna, Arga memberi jarak.
"Bisa pulang sendiri?"
Alle mengangguk dengan sedikit takut menatap wajah tampan Tico namun menyeramkan.
"Kalau Lo mau, gue bisa antar kedepan dan gue ngak akan pegang kalau Lo ngak nyaman."
"Terima kasih." Alle masih menunduk dalam. "Maaf udah ngerepotin."
Merekapun jalan bersampingan, Tico dengan sabar menunggu Alle berjalan dengan sangat pelan.
Suasana tampak canggung, Tico yang memang tak berniat membuka obrolan dan Alle yang memang pada dasarnya takut dengan Tico yang mempunyai aura cukup menakutkan.
Namun dengan menyangkut hal ini dan dengan mengumpulkan keberanian Alle menatap Tico sekilas sangat cepat sampai Tico tidak menyadarinya.
"Kakak liat Ares?" tanya Alle melirih setelah membasahi bibinya beberapa kali.
"Udah pulang."
Jawaban singkat itu membuat Alle merasa kecewa, apakah Ares sudah tak sepeduli itu? Tapi kenapa tadi dia mau mengantarnya ke UKS atau memang dia tidak tahu kalau dia sakit? Berbagai macam pertanyaan bersarang dibenaknya tanpa tau jawabannya.
"Tadi pagi, kakak tau siapa yang membawaku ke UKS?"
"Andre."
Kata itu semakin membuatnya dilanda kecewa, ternyata bukan Ares, padahal dia berharap Areslah orangnya.
"Salam buat kak Andre ya kak, makasih."
"Hemmm..."
"Salam juga buat kak A."
"Sudah sampai, Lo bisa nyetir sendiri?"
Alle mengerjap, tak menyangka Tico akan memotong ucapannya dan dia lebih tidak menyangka dia lebih secerewet itu, tidak biasanya, dan dia biasanya cerewet hanya pada Ares saja.
Hingga dengan kecerewetannya dia tidak menyadari sudah sampai diparkiran.
"Akku bisa kak, sekali lagi makasih."
Tanpa membalas ucapan Alle, Tico langsung menuju tempat parkiran motornya berada.
Melihat sekelilingnya ternyata hanya ada beberapa motor dan mobil saja yang masih terparkir disana dan benar saja, mobil Ares tidak ada disana.
Dengan lesu Alle segera masuk ke mobil, takut ada hal yang tidak diinginkan kembali menakutinya.
Sepanjang perjalanan dia termenung, apakah benar Ares benar-benar tidak mencintainya, tapi tak mungkin mengingat semua tingkah dan sikapnya kepada Alle sangat spesial dan tidak ada yang berubah.
Hingga ketika melihat kedai ice cream langganannya dengan Ares mampir sebentar, dia memang menyukai ice cream dan ice cream lah membuat moodnya membaik.
Namun jika biasanya dia datang bersama dengan Ares, sekarang dia sendiri.
Setelah memesan ice cream coklat vanila kesukaannya dia menyandarkan pandangannya, kedainya sangat ramai hingga dia cukup kesulitan mencari tempat duduk tadi.
Namun setelah tempat agak pojok dilihat bisa untuk dia duduki, hingga cukup lama mengedarkan pandangan dia mendapati pemandangan yang membuatnya sesak.
Disana hanya berjarak 2 meja, Ares dan Kara tengah menikmati Ice cream didepannya seperti memang tak menyadari kehadirannya.
Baru saja akan bangkit dia melihat Kara tengah menyuapi sesendok ice cream rasa kajang hijau, dan Ares nampak tengah melamun dan mengaduk ice cup didepannya tak menyadari dan hanya membuka mulutnya.
Dengan kepala yang masih agak pusing Alle pun segera berlari menepis ice cream itu tepat waktu sebelum ice cream itu masuk kemulut Ares.
Semua orang terkejut melihat kegaduhan itu karna tiba-tiba saja Kara terkejut dan tergelincir.
Ares yang awalnya terkejut menatap Alle tajam namun sesaat seperti ada tatapan lain beralih melihat Kara berdiri, untung saja benturan tubuhnya dilantai tidak cukup keras karna tadinya hanya kursinya yang terjengkang dan dia ikut roboh.
"Lo apa-apa an sih Al." sentak Ares setelah membantu Kara duduk, gadis itu sedikit meringis.
"M-maaf kak, tadi Kara mau ngasih ice cream kacang hijau, kakak kan alergi."
"Tapi Ngak sampai segitunya Al." geram Ares, sembari membantu Kara membersihkan tangannya yang tadi terkena ice cream yang tercecer.
Orang-orang yang tadi ikut terkejutpun kembali menikmati makanannya sendiri sendiri.
"Aku refleks, takut alergi kakak kambuh."
"Itu urusanku."
"Tapi kak ..."
"Aduh perutku keram Res." rintih Kara memotong ucapan Alle, gadis itu terlihat meringis sembari memegang perutnya.
Ares yang tampak khawatirpun segera bangkit dari duduk dan segera membantu Kara berjalan dengan pelan meninggalkan Alle yang dilanda rasa bersalah.
Tapi sungguh dia tadi hanya menepis ringan tidak kasar, dan sedikitpun tidak ingin melukai Kara tapi kenapa bisa gadis itu terjatuh.
Mungkin besok dia akan meminta maaf jika bertemu dan semoga...
Kandungannya tidak kenapa-kenapa.
Bagaimana pun dia adalah darah daging kekasihnya.
Mungkin.
Setelah sampai dirumah dia terkejut mendapati mobil seseorang yang sangat ingin dihindarinya telah terparkir disana, tak biasanya karna orang itu jarang pulang sering menghabiskan malam diapertemen miliknya.
Dengan tubuh yang kembali gemetar Alle berjalan sangat pelan, sungguh daripada berhadapan dengan laki-laki yang kurang ajar tadi dia 3 kali lebih takut berhadapan dengan orang itu.
Ketika masuk Alle menyandarkan pandangannya, gadis itu bernafas lega ketika tak melihat orang itu tak ada disekitar ruang tamu mungkin aja langsung masuk kamar.
Semoga Aja.
"Hay Cantik." seruan dari dapur itu membuatnya tersentak kaku ditempat, dia yang baru saja akan melangkahkan kakinya kelantai dua dibuatnya terkejut dengan suara barusan.
Seiring dengan langkah kaki yang kian mendekat genggaman tangan Alle dianak tangga semakin mengerat.
Hingga sebuah tarikan membuatnya limbung jika orang itu tak menahannya namun sungguh daripada berada direngkuhan orang itu lebih baik tubuhnya menghantam lantai yang cukup keras itu.
"Kak Lex, Lepass." rintih Alle tak nyaman, bahkan tubuhnya Masi bergetar karna takut.
Yah, laki-laki yang paling dihindarinya adalah Lex, lebih tepatnya Alexsander Pratama. Putra satu-satunya dari Tantenya Claudia Tatanugro dan Bima Pratama.
Bukannya melepaskan, Lex malah tersenyum miring ketika melihat raut ketakutan Alle yang malah membuatnya gemesss.
"Lo makin lama, makin gemesssin tau ngak." desis Lex sembari menegakkan tubuh Alle namun tangannya tetap melingkar dipinggang gadis itu dengan tanpa jarak diantar keduanya. "Apalagi bibir merah Lo ini."
setelah berkata demikian Lex langsung memanggut bibir pucat Alle yang masih tampak merah, tanpa lipstik sekalipun.
Alle meronta, memang ini bukan sekali dua kali Alle diperlakukan seenaknya oleh sepupu gilanya itu.
Setelah dirasa Alle kehabisan nafas dan tubuhnya melemas Lex melepaskan ciumannya, bibir Alle bertambah merah dengan beberapa Saliva yang masih menempel.
Bibirnya gemetar begitupun dengan tubuhnya.
"Lo kali ini lolos, cepetan tidur. Gue ngak suka ciuman sama orang sakit."
Setelah mengucapkan itu Lex kembali kedapur, sepertinya laki-laki itu kembali mabuk karna bisa Alle lihat banyak botol dan gelas berserakan dimeja makan.
Dengan tubuh yang lemas dan Alle segera naik dengan susah payah.
Hingga ketika sampai dikamar dia segera menutup pintu dan masuk, tubuhnya luruh didepan pintu yang sudah dia kunci, air matanya mengalir deras.
'Ares, dia kembali. Tolong aku.'
Dia Lex, sepupunya sendiri yang membuatnya tak bisa akrab dengan laki-laki lain selain Ares, termasuk teman Ares yang cukup baik padanya.
Dia trauma dengan tindakan Lex 3 tahun silam.