Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Castrovia
Rania tersenyum lagi—kali ini hatinya ikut menghangat. Baginya, ini seperti mimpi. Selama bersama Garren, semua selalu ditentukan oleh pria itu. Bahkan heels yang ia pakai pun Garren yang memilihkan. Tapi Arven… Arven memberinya kebebasan. Seolah kebahagiaan mereka ada di tangannya. Jika ia senang, maka pria tampan ini pun tentunya akan senang.
Itu membuat Rania terharu tanpa ia sadari.
“Manusia biasanya menonton bioskop,” katanya, sedikit gugup. Otaknya sempat kembali ke masa lalu, saat masih pacaran dan menikah dengan Garren—pria itu tak pernah mau diajak menonton. Alasannya selalu sama, film itu bohong, buang-buang waktu, meskipun perusahaannya sendiri yang memproduksi sebagian besar film di negeri itu.
“Arven, aku… punya permintaan.”
Suara Rania lirih, tapi jelas. Arven langsung menoleh—refleks.
“Apa? Katakan saja. Apa pun itu.”
Tatapan Arven melembut, nyaris memuja. “Kau duniaku sekarang…” ucapya.
Mata Rania seketika membesar. Senyumnya mekar seperti bunga liar yang tiba-tiba menerobos retakan batu.
“Arven… apa semua alien sepandai itu merayu?” godanya, pipinya langsung panas sendiri.
“Aku bukan alien,” sahut Arven cepat, wajahnya kembali serius seperti sedang membaca kitab suci. “Aku Archeon.”
“Ya ampun… apa bedanya? Sama-sama makhluk luar bumi,” balas Rania sambil mengibaskan tangan.
“Beda.”
Nada Arven merendah, seperti ada pintu besar yang belum siap ia buka. “Kau akan tahu saat masuk ke duniaku. Sama seperti aku yang baru tahu… saat masuk ke bumi.”
Rania memiringkan kepala. “Memangnya kamu pikir mahluk bumi seperti apa? Hah? Ceritakan! Aku penasaran!”
Arven terdiam. Bukan karena tidak mau menjawab—tapi karena ia tidak enak. Di mata para Archeon, manusia reputasinya tidak bagus. Serakah, tak pernah puas, ingin menguasai semua elemen semesta—padahal usia mereka pendek, tubuh mereka rentan, dan kemampuan terbatas.
Jadi, bagaimana dia menjelaskan itu… pada Rania?
“Kenapa malah diam?” Rania mendesak, dan mencubit lengan Arven pelan. “Aku penasaran!”
Lalu tanpa sadar menarik tangan Arven—manja. Arven menoleh, menatap tangan mungil itu. Lama… Membuat Rania langsung panik dan buru-buru melepaskannya.
“A—aku, maaf…“ gumamnya gugup.
Namun Arven dengan cepat kembali menariknya. Lalumenggenggamnya erat— membuat Rania merasa seperti tersengat aliran Listrik— kecil namun menjalar ke seluruh tubuhnya.
Rania langsung tersipu. Kepalanya menunduk, padahal hatinya berloncatan. Entahlah, sejak Arven mengubah penampilan, Rania mendadak menjadi aneh di mata Arven—tidak se elegan sebelumnya.
“Kau bilang punya permintaan,” ujar Arven lembut. “Apa itu?”
“Oh.” Rania berkedip, baru ingat. “Iya, aku hampir lupa. Kita tidak bisa menonton di kota ini. Garren pasti masih mencariku.”
Arven mengangguk, kaku seperti robot. “Baik. Kalau begitu… kita menonton di mana?”
Rania membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah foto—kota megah di bagian utara, gedung tinggi menjulang, jembatan kaca melintas di atas laut, lampu neon menyala seperti galaksi jatuh ke bumi.
“Castrovia,” ucap Rania bangga. “Kita ke sini. Kota besar paling indah sejauh ini.”
Arven melihat foto itu lama sekali. Seolah sedang menganalisis tiap pikselnya.
Rania mendecak pelan. “Kau serius sekali menelitinya? Kita cuma mau nonton, bukan misi penyelamatan dunia.”
Arven mengangguk pelan. “Aku hanya memastikan… tempat ini aman untukmu.”
Dada Rania mendadak penuh. Hangat. Sakit. Bahagia. Campur semua. Namun tetap saja, sikap Arven yang kaku membuatnya tetap merasa tidak puas.
“Arven…” bisiknya. “Kau manis sekali…” goda Rania, mulai memasang lampu hijau.
Senyum Arven muncul—lurus, sederhana, polos… udah itu saja. Membuat Rania menghela napas panjang, membuang tatapannya ke samping.
Arven mengkerutkan kening, Apa ada yang salah? Gumamnya.
“Baiklah… di mana letak bioskopnya?” tanya Arven sambil menatap sekeliling seperti sedang membaca peta bintang.
“Ini.”
Rania menunjuk bangunan raksasa berbentuk bulat seperti potongan bawang Bombay, berdiri di tengah deretan gedung pencakar langit.
Arven sempat melongo. “Gedungnya… seperti tanaman yang tumbuh terlalu cepat.”
Rania terkekeh. “Itu namanya desain futuristik, Tuan Arven...”
Arven tidak benar-benar paham, tapi ia mengangguk seolah mencatat sesuatu yang penting. Tangannya meraih tangan Rania, Lalu—
Clink!
Keduanya menghilang, dan muncul kembali tepat di halaman depan gedung Bombay Theater.
“Yeeaah!”
Rania hampir melompat, tertawa lepas. Untuk sesaat, ia benar-benar lupa bahwa namanya sedang dicari di negara itu seperti penjahat buron— Ia lupa bahwa Garren menguasai seluruh industri media.
*
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu