Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rantai Kenangan yang Terlupakan
Kabut pagi menyelimuti desa kecil di kaki gunung, menempel dingin pada kulit seperti kain lembap. Su Yue, gadis berusia enam belas tahun, duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai, kedua telapak kakinya yang telanjang menyentuh air yang mengalir pelan. Airnya sedingin es, tapi dia tak bergerak. Matanya, sebesar biji prem, kosong menatap pusaran air di antara bebatuan. Di tangannya, ia menggenggam erat seuntai kalung sederhana, hanya seutas tali rami yang mengikat sebuah batu kecil berwarna biru muda, halus karena years of usapan.
Batu itu adalah satu satunya petunjuk tentang asal usulnya. Enam belas tahun lalu, seorang petani menemukan seorang bayi perempuan terbungkus kain mewah, tergeletak di atas batu yang sama ini, dengan kalung ini sebagai satu satunya barang bawaan. Tidak ada surat, tidak ada nama. Hanya tangisan bayi yang menyayat kabut pagi. Desa itu menamainya Su Yue, "Berbulan Suci", karena wajahnya yang pucat dan seakan memancarkan kesedihan sejak dalam buaian.
Su Yue dibesarkan oleh keluarga petani tua yang baik hati, Pak Li dan istrinya. Mereka merawatnya dengan tulus, namun selalu ada jarak yang tak terjelaskan. Bukan karena mereka tak menyayanginya, tapi karena Su Yue sendiri seperti hidup dalam kabut. Dia anak yang pendiam, sering melamun, matanya kerap berkaca-kaca tanpa alasan yang jelas. Dia memiliki mimpi berulang:
suara seorang wanita mendayu-dayu menyanyikan lagu pengantar tidur, aroma harum bunga plum musim dingin, dan semburan warna merah tua yang tiba-tiba mengaburkan segalanya, diikuti rasa hampa yang mencekik.
"Hari ini hari ulang tahunmu, nak," suara lembut Bu Li memecah lamunannya. Wanita tua itu menghampiri, membawakan semangkuk mie panjang umur. Wajahnya penuh kerutan dan kasih. "Kau masih di sini lagi. Batu ini selalu memanggilmu."
Su Yue memalingkan kepala, senyum tipis mengambang di bibirnya. "Ibu... apakah menurut Ibu, orang tua kandungku sengaja meninggalkanku di sini? Apakah mereka membenciku?"
Bu Li menghela napas, tangannya yang kasar membelai rambut hitam Su Yue yang seperti sutra. "Tidak pernah, nak. Kain yang membungkusmu dulu, sangat halus, bordirnya rumit seperti milik keluarga bangsawan. Kalung ini... mungkin adalah janji. Mereka pasti terpaksa."
"Terpaksa..." gumam Su Yue, jemarinya membelai batu biru itu. Sebuah rasa sakit tumpul menggedor dadanya, seperti kenangan yang terkunci mati berusaha memberontak.
Waktu berlalu...
Kehidupan berjalan tenang, sampai suatu sore di musim gugur. Seorang pengembara asing dengan pakaian sederhana namun berwibawa memasuki desa. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Su Yue yang sedang membantu memetik teh di lereng bukit. Tatapannya terpaku, penuh kejutan dan duka yang dalam.
"Gadis muda," katanya, suaranya serak. "Bolehkah aku melihat kalung di lehermu?"
Dengan hati-hati, Su Yue menunjukkan batu biru itu. Wajah pengembara itu berubah pucat. Tangannya gemetar. "Batu Hati Es Qingyun... Ini... ini adalah benda pusaka Ibu Suri Klan Baihua. Bagaimana bisa ada padamu?"
Su Yue tertegun. Jantungnya berdebar kencang. "Aku... aku tidak tahu. Ini satu satunya barang yang menyertaiku sejak aku bayi."
Pengembara itu, yang memperkenalkan diri sebagai Mantan Penjaga Taman Klan Baihua, mengisahkan sebuah kisah yang membuat darah Su Yue membeku. Enam belas tahun lalu, Klan Baihua, klan kultivator yang kuat, diserang secara tiba-tiba oleh musuh bebuyutan mereka, Klan Api Neraka. Ibu Suri klan, Madam Ling, yang sedang mengandung, memimpin pertahanan terakhir. Untuk menyelamatkan bayi dalam kandungannya yang baru lahir, dia memerintahkan pelayan setianya, seorang wanita bernama Lian, untuk melarikan diri dengan bayi perempuannya. Madam Ling memberikan kalung Batu Hati Es Qingyun, yang mampu menyembunyikan aura spiritual bayi, pada anaknya. "Lindungi Yue'er," begitu pesan terakhirnya sebelum gerbang istana hancur berantakan.
"Jangan biarkan dia mengenang. Kenangan hanya akan membawanya pada kebencian dan bahaya. Biarlah dia hidup sebagai manusia biasa, jauh dari dunia kultivasi yang kejam ini."
Lian berhasil melarikan diri, luka parah. Dengan sisa tenaga terakhirnya, dia sampai di desa terpencil ini. Dia meninggalkan bayi itu di atas batu, berharap ditemukan oleh keluarga baik, sebelum napasnya terputus di balik semak belukar, jasadnya menyatu dengan alam.
"Kau," kata Pengembara itu dengan suara bergetar, "adalah Bai Suyue, putri tunggal Madam Ling, pewaris sah Klan Baihua. Klanmu... sudah musnah. Istana bunga plum musim dingin diratakan dengan tanah. Tak ada yang selamat."
Dunia Su Yue runtuh. Kabut di matanya tersapu badai. Semburan warna merah dalam mimpinya adalah darah. Lagu pengantar tidur adalah nyanyian terakhir ibunya. Rasa hampa itu adalah kehilangan segalanya sebelum dia bahkan memilikinya. Air mata mengalir deras, tapi tidak ada suara tangis. Hanya diam yang menyiksa.
Pengembara itu memberikannya sebuah jimat tua, peninggalan Lian. "Ini menyimpan segel kenangan terakhir dari ibumu. Jika kau pecahkan, kau akan melihat apa yang terjadi. Tapi ingat pesannya: jangan biarkan dia mengenang."
Su Yue menggenggam jimat itu berhari-hari. Rasa ingin tahu dan kerinduan akan asal usul berperang dengan rasa takut akan luka yang tersembunyi. Akhirnya, di bawah cahaya bulan purnama di atas batu tempat ia ditemukan, dengan hati remuk redam, dia memecahkan jimat itu.
Segala sesuatu membanjiri pikirannya. Dia melihat seorang wanita cantik luar biasa dengan mata yang sama seperti miliknya, tersenyum lembut sambil mendekapnya. Dia mencium aroma bunga plum. Lalu, teriakan. Langit menjadi merah oleh jurus api. Dia melihat wajah ibunya, penuh darah dan keputusasaan, namun tetap anggun, meletakkan kalung di lehernya yang mungil.
"Maafkan ibu, Yue'er. Ibu mencintaimu. Lupakan semua ini. Hiduplah."
Dia merasakan pelukan terakhir yang hangat, lalu dinginnya angin malam saat Lian membawanya pergi dengan cepat. Dan akhirnya, melalui mata Lian yang sekarat, dia melihat dari balik semak: ibunya, Madam Ling, berdiri tegak di puing-puing istana, tubuhnya bersinar terang seperti bulan, sebelum meledak dalam cahaya menyilaukan, mengorbankan diri dan inti kultivasinya untuk menghancurkan musuh yang tersisa. Sebuah ledakan dahsyat, lalu kehancuran total.
Ketika visi itu berakhir, Su Yue terduduk lunglai. Tubuhnya menggigil tak terkendali. Dia tidak menangis. Rasanya seperti seluruh jiwa dan raganya dikikis habis. Kenangan itu bukan sebuah hadiah. Itu adalah kutukan. Sekarang dia tahu. Dia tahu betapa dalamnya kasih sayang ibunya, betapa heroiknya pengorbanan itu, dan betapa absolutnya kehancuran itu. Dia adalah satu satunya yang tersisa, namun dia hanyalah bayi yang diselamatkan, tidak memiliki kekuatan, tidak memiliki klan, hanya memikul warisan duka yang terlalu berat untuk dipikul manusia biasa.
Su Yue tidak pergi mencari kultivasi. Tidak juga membalas dendam. Apa yang harus dibalas? Klan musuh juga telah hancur lebur oleh ledakan terakhir ibunya. Tidak ada yang tersisa untuk dibenci. Yang ada hanya kekosongan yang luas.
Dia kembali ke rumah Pak dan Bu Li. Wajahnya lebih sunyi dari sebelumnya. Dia tetap melakukan rutinitas sehari-hari: memetik teh, menenun, memasak. Tapi matanya, yang dulu berkabut, kini seperti danau beku yang dalam, menyimpan samudra kesedihan di kedalamannya. Setiap malam, dia duduk di atas batu itu, memandangi bulan.
Bu Li menangis diam-diam. "Dia ada di sini, tapi jiwanya telah pergi ke tempat yang sangat jauh, tempat yang bahkan air mata pun tak bisa mencapainya."
Su Yue menyadari kebenaran tragis dalam pesan ibunya. "Jangan biarkan dia mengenang."
Ibunya benar. Kenangan, bagi yang tak berdaya, adalah siksaan tiada henti. Lebih baik hidup dalam ketidaktahuan yang damai daripada memikul kebenaran yang menghancurkan. Cinta ibunya adalah sebuah perlindungan, tetapi juga sebuah penjara. Dia dikutuk untuk mengetahui bahwa dirinya dicintai dengan begitu besar, namun ditinggalkan oleh cinta itu demi keselamatannya. Dia adalah pusaka terakhir dari sebuah klan yang sudah tidak ada, sebuah nama yang tak ada lagi yang memanggil, sebuah janji pada masa lalu yang terkubur.
Pada suatu pagi, Pak Li menemukan Su Yue masih duduk di atas batu, tubuhnya menghadap ke arah matahari terbit. Di tangannya masih tergenggam batu biru itu. Senyum tipis yang aneh dan damai menghiasi bibirnya yang pucat. Napasnya telah berhenti. Tidak ada luka, tidak ada penyakit. Sepertinya jiwanya yang telah remuk redam akhirnya memilih untuk pergi, menyusul bayangan keluarganya di balik kabut, mencari kehangatan lagu pengantar tidur yang selama ini dirindukannya.
Di antara jemarinya yang kaku, mereka menemukan secarik kain kecil yang dirobek dari jubahnya, dengan coretan yang ditulis dengan arang: "Aku telah melihat bulan yang seharusnya menjadi rumahku. Terima kasih telah memberiku sungai dan batu ini sebagai pelabuhan terakhir. Maafkan Yue yang tak berguna ini."
Embun pagi menempel di bulu matanya yang panjang, seperti air mata terakhir yang tak sempat jatuh. Batu biru di dadanya memantulkan cahaya matahari yang lembut, akhirnya pulang ke dalam kesunyian yang abadi, menyimpan sebuah kisah yang terlalu sedih untuk diceritakan, dan sebuah tragedi yang dimulai dan berakhir pada cinta yang terpaksa dilupakan.
Dia adalah Bai Suyue, pewaris yang terlupakan.
Dia adalah Su Yue,gadis desa yang tersesat dalam mimpinya sendiri.
Dan dalam kematiannya, kedua nama itu akhirnya bersatu dalam kedamaian yang pilu, seperti embun yang menguap di atas batu yang dingin, tak meninggalkan jejak apapun kecuali kesunyian.