MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Labirin Tanpa Warna
Dunia Rahayu adalah simfoni suara dan tekstur. Sejak kecelakaan tiga bulan lalu merenggut penglihatannya, rumah mewah ayahnya tak lagi menjadi istana, melainkan labirin yang penuh jebakan tersembunyi.
Rahayu Saskia, jemari tangannya meraba dinding marmer yang dingin, menghitung langkah menuju ruang makan. Di ujung koridor, ia mendengar tawa renyah Laura, ibu tirinya, yang beradu dengan denting sendok perak.
"Ayah berangkat sekarang, Laura. Pastikan Rahayu minum vitaminnya," suara berat Rio, ayahnya, terdengar dari arah pintu depan.
"Tentu, Sayang. Jangan khawatirkan putri kesayanganmu ini," sahut Laura dengan nada manis yang selalu terdengar seperti sirup beracun di telinga Rahayu.
Begitu deru mesin mobil Rio menjauh, suasana hangat itu menguap seketika.
"Masih aja meraba-raba dinding, Rahayu? Kamu membuat dinding mahal ini kotor dengan tanganmu," cibir Laura. Langkah kakinya yang menggunakan high heels mendekat, suaranya tajam seperti belati.
"Maaf, Ma. Aku hanya ingin ke meja makan," jawab Rahayu pelan, kepalanya menunduk.
"Sini, biar aku bantu, Kak." Sebuah tangan lembut menggandeng lengan Rahayu. Itu Santi, adik tirinya.
Suaranya terdengar penuh perhatian, tipe suara yang akan membuat siapapun percaya bahwa dia adalah malaikat.
Santi membimbing Rahayu duduk di kursi kayu jati.
"Aku udah siapkan bubur untukmu, Kak. Masih hangat."
"Terima kasih, Santi. Kamu baik sekali," bisik Rahayu tulus.
Namun, di balik kegelapan mata Rahayu, ia tidak bisa melihat seringai yang tersungging di wajah Santi. Di bawah meja, Santi baru saja menumpahkan sedikit air sabun ke arah lantai tempat Rahayu akan melangkah nanti.
Santi mendekatkan wajahnya ke telinga Rahayu, memastikan Laura tidak mendengar, lalu berbisik dengan nada yang sangat rendah namun penuh kebencian,
"Nikmati makanmu, Si Buta. Aku benci lihat wajahmu yang seolah-olah paling menderita di rumah ini."
Rahayu membeku. Sendok di tangannya bergetar. Inilah rahasia yang tidak pernah diketahui ayahnya. Di rumah ini, saat sang raja pergi, istana berubah menjadi neraka, dan saudara yang dianggapnya penolong adalah orang yang paling menginginkannya hancur.
Butiran air mata jatuh membasahi bubur yang masih mengepul di depannya. Rahayu tidak sanggup menelan satu suap pun. Kata-kata Santi barusan lebih menyakitkan daripada kecelakaan yang merenggut cahayanya tiga bulan lalu.
Di rumah ini, ia bukan lagi seorang putri ia hanyalah sebuah beban yang harus disingkirkan di mata Laura dan Santi.
"Kenapa diam aja? Makan!" bentak Laura dari seberang meja.
"Jangan buat wajah sedih begitu, seolah kita menyiksamu. Kalau Papa pulang dan melihat matamu sembap, aku yang akan kena masalah!"
Rahayu hanya bisa mengangguk kecil, mencoba menghapus air matanya dengan tangan yang gemetar.
Tiba-tiba, langkah kaki yang berbeda terdengar. Bukan ketukan high heels yang mengancam atau langkah ringan Santi yang penuh tipu daya. Ini adalah langkah kaki yang mantap namun lembut, diiringi aroma sabun cuci dan wangi rempah dapur.
"Nona Rahayu, ini jus jeruk segar kesukaan Nona," suara hangat itu memecah ketegangan.
Itu Bibi Lulu. Dia adalah satu-satunya orang di mansion ini, selain ayahnya, yang masih memperlakukan Rahayu seperti manusia.
Bibi Lulu mendekat, dan dengan cekatan ia melihat tetesan air sabun di lantai dekat kaki Rahayu. Matanya seketika menyipit menatap Santi yang berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Tanpa suara, Bibi Lulu mengambil serbet dan mengelap tumpahan licin itu sebelum Rahayu sempat berdiri dan celaka.
"Terima kasih, Bi," bisik Rahayu. Ia merasakan sentuhan tangan Bibi Lulu di bahunya, sebuah remasan pelan yang seolah berkata: Sabar ya, Nona. Bibi di sini.
Laura mendengus tidak suka melihat kedekatan mereka.
"Lulu! Jangan terlalu memanjakannya. Setelah dia selesai, suruh dia kembali ke kamar. Dan pastikan dia tidak berkeliaran di ruang tamu, ada tamu penting sore ini. Aku tidak mau mereka melihat 'pemandangan' yang tidak mengenakkan."
Setelah Laura dan Santi pergi meninggalkan ruang makan dengan tawa meremehkan, Bibi Lulu berjongkok di samping kursi Rahayu.
"Nona, jangan menangis lagi," bisik Bibi Lulu lirih, suaranya parau karena menahan haru.
"Tuan Rio sangat menyayangi Nona. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."
Rahayu memegang tangan kasar Bibi Lulu.
"Sampai kapan, Bi? Di kegelapan ini, aku gak tahu siapa yang memegang pisau di depanku. Mereka... mereka sangat membenciku."
"Bibi akan jadi mata untuk Nona," janji Bibi Lulu dengan tegas.
"Mulai sekarang, jangan makan atau minum apapun kecuali yang Bibi siapkan langsung. Bibi merasa ada yang tidak beres dengan vitamin yang diberikan Nyonya Laura."
Rahayu tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Jika benar apa yang dikatakan Bibi Lulu, maka labirin tanpa warna ini jauh lebih mematikan daripada yang ia bayangkan.
Sore hari itu, kediaman megah Rio kembali bergema oleh suara langkah kaki. Namun kali ini, suasananya berbeda. Aroma parfum mahal dan suara tawa formal memenuhi ruang tamu yang luas. Pak Anton dan Bu Citra, rekan bisnis lama Rio, telah tiba bersama putra tunggal mereka, Andika Rahardjo.
Rahayu duduk di sudut sofa dengan gaun sutra yang dipakaikan secara paksa oleh Laura sebelumnya. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan yang menghujamnya tatapan kasihan, meremehkan, dan satu tatapan yang terasa sangat dingin.
"Rio, kita sudah membicarakan ini sejak lama," suara Pak Anton memecah keheningan setelah basa-basi singkat.
"Rahayu adalah putri yang manis. Dan aku rasa, ini saat yang tepat untuk mempererat hubungan keluarga kita melalui Andika dan Rahayu."
Rahayu meremas jemarinya di pangkuan. Perjodohan? Ayahnya tidak pernah mengatakan apa pun tentang ini.
Andika, yang sejak tadi hanya diam dengan wajah datar, tersentak. Ia menoleh ke arah Rahayu yang duduk kaku dengan pandangan kosong.
"Tunggu, Pa. Maksud Papa... dia?"
"Andika, jaga bicaramu," tegur Bu Citra lembut namun tegas.
"Tapi Ma, dia..." Andika menggantung kalimatnya. Kata 'buta' tertahan di ujung lidahnya, namun sorot matanya yang tajam seolah meneriakkan kata itu ke seluruh ruangan.
Baginya, ia adalah pria dengan masa depan gemilang, dan dijodohkan dengan wanita yang "cacat" adalah penghinaan bagi harga dirinya.
Di sudut ruangan, Laura menyunggingkan senyum kemenangan. Baginya, menyingkirkan Rahayu dari rumah ini melalui pernikahan adalah jalan keluar tercepat.
"Andika, Rahayu mungkin punya keterbatasan," potong Laura dengan nada dibuat-buat sedih,
"tapi dia sangat lembut. Kita semua sangat menyayanginya, meskipun merawatnya terkadang... yah, melelahkan."
Santi yang berdiri di belakang ibunya menambahkan dengan suara manis, "Benar, Kak Andika. Kak Rahayu butuh seseorang yang sangat sabar untuk membimbingnya setiap langkah. Karena kalau tidak, dia sering sekali terjatuh atau merusak barang."
Rahayu menggigit bibir dalamnya. Ia ingin berteriak bahwa itu semua bohong, tapi suaranya seolah hilang di tenggorokan.
"Cukup," suara Rio akhirnya terdengar. Ada nada keraguan namun penuh harapan di sana.
"Andika, saya mempercayakan putri saya padamu. Saya hanya ingin dia ada yang menjaga jika saya sudah tidak ada nanti."
Andika mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia melihat ayahnya memberi kode mata yang tidak bisa dibantah kode tentang saham perusahaan dan warisan.
"Baik, Pa. Kalau itu mau Papa dan Om Rio... aku setuju," jawab Andika dingin.
Suaranya datar, tanpa sedikit pun kehangatan.
Setelah pertemuan usai dan para tamu berpamitan, suasana kembali mencekam. Saat Rio mengantar Pak Anton ke mobil, Andika sengaja kembali masuk dengan alasan tertinggal ponselnya. Ia mendekati Rahayu yang masih terpaku di sofa.
"Jangan berpikir pernikahan ini karena aku menyukaimu," bisik Andika tepat di telinga Rahayu, suaranya sedingin es.
"Kamu hanya beban tambahan dalam hidupku. Jangan harap aku akan menjadi matamu."
Rahayu tidak menjawab. Ia hanya bisa mendengar langkah sepatu pantofel Andika yang menjauh dengan kasar.
Namun, di tengah keputusasaannya, sebuah tangan kasar kembali menyentuh bahunya. Bibi Lulu.
"Nona, jangan takut," bisik Bibi Lulu.
"Tuan Muda Andika mungkin terlihat kasar, tapi setidaknya dia jauh dari jangkauan Nyonya Laura. Mungkin... ini adalah jalan keluar Nona dari neraka ini."
Rahayu terdiam. Keluar dari satu neraka untuk masuk ke neraka yang lain?
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏