NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Rumor"

Pagi itu, Alya sudah merasa ada yang salah bahkan sebelum hari benar-benar dimulai.

Udara di sekolah terasa lebih berat. Tatapan-tatapan yang biasanya hanya berbisik kini terang-terangan. Tidak ada senyum canggung. Tidak ada pura-pura sibuk. Semua mata seolah mengikuti setiap langkahnya.

Ia baru saja duduk di bangkunya ketika seorang guru piket masuk ke kelas, wajahnya tegang.

“Alya,” panggilnya. “Ikut saya ke ruang BK. Sekarang.”

Ruang kelas langsung riuh.

Bisikan meledak tanpa usaha untuk disembunyikan.

“Fix.”

“Dipanggil.”

“Pasti soal itu.”

Alya berdiri dengan kaki terasa ringan, hampir tidak menapak. Tangannya dingin saat ia meraih tas. salah satu teman Alya yang kebetulan lewat di koridor hanya sempat menangkap lengannya.

“Alya—”

“Gapapa,” kata Alya cepat, meski suaranya nyaris tidak keluar. “Aku bisa.”

Kebohongan kecil itu tidak meyakinkan siapa pun. Bahkan dirinya sendiri. Ia sendiri juga takut dan sedikit khawatir.

---

Ruang BK tidak hanya diisi satu orang.

Ada wali kelasnya. Wakil kepala sekolah. Seorang guru yang tidak ia kenal. Di atas meja, tergeletak beberapa lembar kertas—hasil cetakan tangkapan layar.

Alya langsung tahu.

“Alya,” kata wakil kepala sekolah dengan nada formal, “kami menerima laporan dari beberapa siswa dan orang tua.”

Ia mendorong kertas itu ke depan.

Foto Alya turun dari mobil hitam. Alya duduk di restoran bersama Zavian. Alya masuk ke rumah besar itu—diambil dari kejauhan, dari sudut yang sengaja dibuat mencurigakan.

“Beredar isu,” lanjutnya, “bahwa kamu memiliki hubungan tidak pantas dengan seorang pria dewasa. Seorang… pengusaha.”

Kata itu diucapkan ragu, seolah mereka sendiri tahu ada yang tidak beres.

Dada Alya sesak.

“Itu tidak benar,” katanya cepat. “Saya tidak—”

“Tenang,” potong wali kelasnya. “Kami belum mengambil keputusan. Tapi reputasi sekolah juga harus dijaga.”

Alya menunduk.

“Kamu tahu,” lanjut guru itu, “kalau isu seperti ini terbukti atau terus beredar, sekolah bisa mengambil tindakan. Termasuk… mengeluarkan siswa.”

Kata itu jatuh seperti palu.

Dikeluarkan.

Semua yang ia pertahankan. Semua yang ia kejar dengan sisa tenaga.

“Aku tidak melakukan apa pun,” suara Alya bergetar. “Aku cuma tinggal di rumah orang yang menolongku.”

“Menolong?” ulang seseorang skeptis. “Dengan mobil mewah? Rumah besar?”

Alya terdiam.

Bagaimana ia menjelaskan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak sepenuhnya pahami?

“Ada rapat siswa siang ini,” kata wakil kepala sekolah akhirnya. “Di aula. Isu ini sudah terlanjur menyebar. Kami ingin semuanya jelas.”

Jelas.

Di depan semua orang.

---

Aula sekolah penuh.

Siswa duduk berkelompok, suara berdesis memenuhi ruangan. Alya berdiri di sisi panggung, ditemani guru BK. Kakinya terasa mati rasa. Tangannya dingin, keringatnya dingin.

Ia bisa mendengar namanya disebut-sebut.

“Alya itu, kan?”

“Yang katanya simpanan.”

“Pantes sekarang sok rapih.”

Kepalanya menunduk. Ia menatap lantai kayu aula, berharap bisa menghilang ke dalamnya.

Wakil kepala sekolah naik ke podium.

“Kita berkumpul hari ini,” katanya, “karena ada isu serius yang menyangkut salah satu siswa kita. Isu yang mencoreng nama baik sekolah.”

Alya mendengar namanya disebut.

Jantungnya seperti berhenti.

“Kami memanggil Alya ke depan,” lanjutnya.

Langkah Alya ke tengah aula terasa seperti berjalan menuju hukuman. Ratusan pasang mata menatapnya. Ada yang penasaran. Ada yang puas. Ada yang jelas-jelas menunggu kejatuhannya.

“Berdasarkan laporan,” kata sang wakil kepala, “kamu diduga memiliki hubungan tidak pantas dengan pria dewasa yang bukan keluarga. Apakah kamu mengakuinya?”

Alya membuka mulut.

Tidak ada suara.

Tenggorokannya terkunci.

“Jawab,” desak seseorang dari barisan guru.

Air mata mulai menggenang.

“Aku… tidak…” katanya akhirnya, nyaris tak terdengar. “Aku tidak seperti itu.”

Tawa kecil terdengar dari barisan siswa.

“Terus ngapain tinggal di rumah dia?”

“Drama banget.”

“Alya,” suara itu kembali dingin, “kalau kamu tidak bisa menjelaskan, sekolah—”

Pintu aula terbuka.

Suara itu keras.

Semua kepala menoleh.

Seorang pria masuk dengan langkah tenang, diikuti dua orang bersetelan gelap. Aura ruangan langsung berubah. Suara-suara lenyap seketika, seperti dipadamkan.

Zavian.

Jas hitamnya rapi. Wajahnya dingin. Matanya menyapu aula—satu per satu—dan berhenti pada Alya.

Wajah gadis itu pucat. Matanya merah. Bahunya bergetar menahan tangis.

Sesuatu di dalam diri Zavian mengeras.

“Maaf saya terlambat,” katanya datar, suaranya menggema tanpa perlu mikrofon. “Saya baru mendapat kabar bahwa adik saya dipermalukan di depan umum.”

Aula membeku.

“A-adik?” wakil kepala sekolah tergagap. “Maaf, Anda siapa?”

Zavian melangkah ke depan podium.

“Nama saya Zavian,” katanya singkat. “Dan Alya adalah adik saya. Secara hukum. Dan secara keluarga.”

Desahan terkejut memenuhi aula.

“Itu tidak mungkin,” sahut seseorang cepat. “Kami tidak pernah menerima data—”

“Karena saya baru saja mengurusnya,” potong Zavian dingin. Ia menyerahkan map cokelat tebal. “Dokumen perwalian sementara. Surat kuasa. Semua sah.”

Wakil kepala sekolah membuka map itu dengan tangan sedikit gemetar.

“Alya tinggal di rumah saya,” lanjut Zavian, suaranya tidak naik, tapi tekanannya jelas. “Karena rumah sebelumnya tidak aman. Dan jika ada yang berani menyebut itu ‘hubungan tidak pantas’—”

Ia berhenti.

Menatap ke arah siswa-siswa yang tadi tertawa.

“Saya sarankan kalian mengukur ulang keberanian kalian.”

Ruangan sunyi.

Zavian menoleh ke Alya.

“Ke sini,” katanya pelan.

Alya bergerak seperti dalam mimpi. Zavian berdiri di sampingnya—posisi yang jelas, melindungi.

“Gadis ini,” ujar Zavian kepada seluruh aula, “adalah korban. Bukan pelaku. Dan kegagalan kalian melindunginya—”

Matanya beralih ke para guru.

“—bukan alasan untuk mengorbankannya dua kali.”

Wakil kepala sekolah menelan ludah. “Kami… kami minta maaf. Kami akan menindaklanjuti—”

“Saya berharap begitu,” kata Zavian dingin. “Karena jika Alya dikeluarkan, dipaksa pindah, atau sekali lagi dipermalukan—”

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Ia tidak perlu.

Semua orang mengerti.

Zavian meletakkan tangannya di pundak Alya—ringan, singkat, tapi tegas.

“Ayo pulang,” katanya.

Alya tidak menoleh ke siapa pun lagi.

Ia berjalan keluar aula dengan langkah gemetar, tapi untuk pertama kalinya—tidak sendirian.

Di belakang mereka, aula tetap sunyi.

Gosip-gosip itu mati di tempat.

Dan hari itu, seluruh sekolah belajar satu hal yang tidak pernah mereka bayangkan:

Nama Alya bukan untuk dijatuhkan.

Karena kini, di belakangnya berdiri seseorang yang tidak akan membiarkan dunia menghancurkannya lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!