Laura yang ingin mendapatkan kebebasan dalam hidupnya mengambil keputusan besar untuk kabur dari suami dan ibu kandungnya..
Namun keputusan itu membawa dirinya bertemu dengan seorang mafia yang penuh dengan obsesi.
Bagaimana kah kelanjutan kehidupan Laura setelah bertemu dengan sang mafia? Akankah hidupnya lebih atau malah semakin terpuruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SabdaAhessa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LAURA SAW
Laura malam itu bediri tepat di depan pintu sebuah rumah. Badannya lemas dan lusuh. Dia menggendong seorang bayi laki-laki yang masih berusia satu tahunan. Bayi itu sedang tertidur pulas di pelukannya.
Laura memencet bel beberapa kali, sepertinya dia ingin pemilik rumah segera keluar.
Ding Dong!!
Suara bel berbunyi untuk kesekian kalinya. Akhirnya pemilik rumah membukakan pintu. Matanya membulat saat melihat Laura disana.
"Laura? Ada apa?" Tanyanya dengan panik karena melihat wajah Laura yang kusut.
"Ayo masuk!" Sambungnya menggandeng lengan Laura.
Dia membawa Laura ke ruang tamu. Menyuruh Laura untuk menidurkan anaknya di sofa agar lebih nyaman. Lalu dia segera pergi ke dapur untuk membuat teh hangat.
Sedangkan Laura menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan meselonjorkan kedua kakinya. Meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Matanya menerawang langit-langit ruang tamu itu. Hampa.
Tak lama kemudian, pemilik rumah itu datang dengan membawakan teh hangat di dalam tea pot dan dua gelas kecil untuk menikmati teh.
"Minum dulu!" Suruhnya.
Laura beralih menatap wanita itu. "Sansa.. Ben menolak pengajuan cerainya!" Ucapnya lemah tanpa menarik tubuh dari sandaran sofa.
Wanita yang dia panggil Sansa itu pun mengerutkan dahinya. Alisnya bertaut keheranan. "Bukankah dia awalnya mau menyetujui itu?"
"Iya, tapi dia berubah pikiran. Dia tau niat ibuku."
"Tau dari mana?" Sansa nampak keheranan.
Laura mengangkat kedua bahunya, karena dia sendiri juga tidak tau. "Jadi rencana kita gagal. Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Sansa diam sejenak. Dia nampak memikirkan jalan keluarnya. "Kau harus kabur sekarang! Cerai atau tidak, itu tidak ada bedanya, Laura! Intinya kau ingin kabur kan?"
Mata mereka bertemu. Jika di pikir pikir benar juga kata Sansa. Karena sebenarnya kedua wanita ini mempunyai rencana. Yaitu Sansa akan membantu Laura untuk kabur dari ibunya setelah perceraiannya. Namun sekarang suami Laura berubah pikiran.
Laura Saw, adalah putri tunggal dari keluarga Dawinson. Keluarga kaya yang di pandang tinggi oleh semua pembisnis di New York. Namun sejak kematian ayahnya, bisnis keluarga mereka mulai merosot jauh. Bahkan di ambang kebangkrutan. Di unjung tanduk.
Melihat kondisi itu, Maggie, ibu kandung Laura harus segera mengambil keputusan. Dia memutar otak agar bisnis keluarga mereka dapat terus berjalan dan tak jatuh miskin. Maggie tak mau hal itu terjadi. Kelaparan dan hidup sederhana. Apa itu sederhana? Maggie yang terbiasa hidup bergelimang harta dan foya-foya siang malam tak pernah mengenal kata sederhana, apalagi miskin.
Sampai dia memiliki ide busuk. Dia ingin menjodohkan putri satu-satunya dengan anak rekan bisnisnya. Ben Pattinson, putra dari Rayyan Pattinson. Seorang pembisnis yang sedang naik daun saat itu.
Dia mencoba segala cara agar Rayyan setuju untuk menjodohkan anak mereka. Hingga suatu hari, saat Rayyan melihat Laura di sebuah yayasan panti asuhan sedang membagikan makanan dan minuman untuk anak-anak disana. Dia merasa gadis itu cantik dan berhati mulia. Sehingga dia menyetujui perjodohan itu.
Ben Pattinson juga tak dapat menolak perjodohan itu. Karena keputusan ayahnya selalu mutlak, bulat dan tak dapat di rubah.
Sedangkan Laura berusaha menolak perjodohan itu berulang kali. Dia sampai menangis dan berlutut di depan ibunya agar membatalkan perjodohannya. Karena dia berpikir, dia tak bisa menikah dengan seseorang yang tidak dia cintai.
Namun sekeras apapun Laura menolak, maka sekeras itu juga ibunya menyiksanya, Maggie tak pernah berubah pikiran sedikit pun. Dia tau, ini adalah satu-satunya cara agar dia bisa tetap hidup berkecukupan. Maggie juga tak segan-segan memukuli Laura saat putrinya itu berusaha menolak.
Hingga hari pernikahan itu pun tiba. Laura yang terbiasa patuh dan menurut pada setiap perintah ibunya harus menerima itu walaupun dengan berat hati.
Ada satu hal yang paling melekat di ingatan Laura. Yaitu saat malam pertama. Malam pertama di keluarga Pattinson harus di saksikan oleh seluruh keluarga. Agar mereka dapat memastikan kedua mempelai benar-benar berhubungan badan dan ini juga pertama kalinya bagi mereka. Darah perawan di atas sprei putih adalah sebuah simbol kesucian seorang wanita. Dan itu yang sangat di tunggu-tunggu oleh keluarga Pattinson.
Mau tak mau, Laura dan Ben harus melucuti pakaian mereka satu persatu di bawah selimut. Sampai keduanya telanj*ng bulat. Hanya di tutupi oleh selimut putih yang tebal.
Dan mereka juga harus melakukan hubungan intim itu sekarang. Laura sangat gugup. Dia yang merupakan gadis penurut dan masih perawan itu harus di tuntut berhubungan badan di depan banyak orang.
Namun, saat melihat ibunya mendelikan kedua mata dan menatapnya tajam. Dia pun mengikuti gerakan Ben yang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Ben, tanpa sepatah kata pun menindih tubuhnya. Hingga keduanya dapat merasakan kehangatan satu sama lain.
"Aku harus melakukan ini!" Ucap Ben berbisik di telinga Laura.
Laura hanya bisa memejamkan kedua matanya. Menggigit bibir bawahnya saat Ben mulai memasukkan miliknya dengan perlahan. Merobek selaput keperawatan milik Laura dan mulai memompa dirinya perlahan.
Saat melihat keduanya mulai menikmati permainan. Anggota keluarga meninggalkan kamar. Memberikan mereka berdua waktu bersama menikmati malam pertama.
Ben yang mulai terbawa suasana semakin memanas dan mempercepat gerakan. Hingga dia mencapai pelepasannya. Menarik miliknya dari dalam milik Laura dan melihat sprei putih di bawah Laura. Memastikan darah keperawanan Laura membasahi sprei itu.
Saat menyadari darah itu hanya sedikit, Ben memasukkan jarinya ke dalam milik Laura hingga darah disana membasahi jari-jarinya. Dan mengelap jari-jarinya ke sprei putih itu. Agar noda darahnya semakin terlihat jelas.
Sedangkan Laura hanya bisa diam dan menangis mendapatkan semua perlakuan itu. Dia harus kehilangan keperawanannya dengan cara seperti ini. Seperti di permalukan dan di permainan di depan banyak orang. Dia segera menghapus air matanya sebelum Ben melihat.
Namun nyatanya, meskipun Ben melihat air mata Laura. Dia sama sekali tak memperdulikan Laura. Ben malah pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Membiarkan Laura hanyut di dalam kesedihannya sendiri.
Seakan Ben ingin memperjelaskan bahwa pernikahan ini hanya sebatas bisnis. Tak lebih dari itu. Tak ada cinta dan kasih sayang. Namun mengapa Ben bisa menyetubuhi Laura dengan mudah? Atau hal itu juga sebatas bisnis? Ataukah.. Ben sudah terbiasa melakukannya?
Laura tak dapat mencerna keadaannya. Dia hanya menenggelamkan tubuhnya di balik selimut putih yang tebal. Menunggu Ben keluar dari kamar mandi, namun dia malah tertidur pulas karena kelelahan.
LAURA SAW
Bersambung...
.