NovelToon NovelToon
Pernikahan Paksa Sang Bangsawan

Pernikahan Paksa Sang Bangsawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Tamat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nur Sabrina Rasmah

Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ratu sesungguhnya

Gideon tidak membuang waktu lagi. Aura di sekitarnya berubah menjadi begitu mencekam hingga para prajurit Night Hawks yang paling berani sekalipun menundukkan kepala, tidak sanggup menatap mata sang Duke yang kini menyala merah karena amarah murni.

"Bawa dia!" bentak Gideon sambil mengibaskan tangannya ke arah wanita yang terikat itu. "Seret dia di belakang kereta. Jangan biarkan dia mati, tapi pastikan dia merasakan setiap kerikil di jalan menuju ibu kota."

Gideon kemudian melangkah mendekati prajurit pengkhianat yang tadi ditembak Emelia. Pria itu merintih kesakitan, namun Gideon tanpa ampun mencengkeram lehernya dan mengangkatnya hingga kaki pria itu tergantung di udara.

"Kau berani menyentuh apa yang menjadi milikku di depan mataku sendiri?" suara Gideon rendah, namun bergetar hebat karena emosi yang meluap. "Katakan pada tuanmu di neraka, bahwa Jasper Gideon sedang datang untuk menjemput kepalanya."

Dengan satu sentakan tangan yang mengerikan, Gideon melempar pria itu ke tanah dan memerintahkan pasukannya untuk segera membereskannya. Ia lalu berbalik dan menarik Emelia ke dalam pelukannya. Dekapannya begitu posesif dan kuat, seolah-olah ia ingin menyatukan tubuh Emelia dengan zirah besinya agar tidak ada satu pun peluru atau fitnah yang bisa menembusnya lagi.

"Kita berangkat sekarang," perintah Gideon pada komandannya. "Siapkan unit tercepat. Kita tidak akan lewat jalan utama. Kita akan membelah hutan dan tiba di gerbang istana sebelum mereka sempat menyusun rencana cadangan."

Sepanjang perjalanan, Gideon tidak melepaskan tangan Emelia. Ia duduk di dalam kereta yang dipacu kencang, menggenggam jemari istrinya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya terus mengasah pedang hitamnya yang haus darah. Kegelapan di wajah Gideon malam itu memberitahu Emelia satu hal: Jasper Gideon yang lembut, yang memeluknya di dapur kastil, telah hilang sementara. Yang tersisa sekarang adalah sosok panglima perang yang siap membakar seluruh kerajaan demi istrinya.

"Gideon," bisik Emelia pelan di tengah deru roda kereta.

Gideon menoleh, matanya yang tajam perlahan sedikit melunak hanya untuk Emelia. "Jangan takut, sayang. Kali ini, tidak akan ada lagi yang berani berbisik di telingamu. Aku akan membuat seluruh ibu kota terdiam saat mereka melihatmu berjalan di sampingku sebagai Duchess Jasper... atau sebagai Ratu mereka yang sah."

Emelia menggenggam kunci perak itu erat-erat. Ia tahu, fajar yang akan terbit beberapa jam lagi bukan hanya menandai hari baru, tapi juga awal dari banjir darah yang akan menyapu bersih musuh-musuh keluarganya. Di samping suaminya yang sedang murka, Emelia merasa siap untuk menghadapi apa pun—termasuk tahta yang berlumuran darah.

Fajar belum benar-benar menyingsing ketika gerbang utama Ibu Kota dirubuhkan paksa oleh unit kavaleri Night Hawks. Suara gemuruh sepatu kuda di atas jalanan batu memecah kesunyian pagi, membangunkan para bangsawan dari tidur nyenyak mereka. Gideon tidak berhenti di gerbang kota; ia memacu pasukannya terus hingga ke depan tangga marmer istana pusat.

Para penjaga istana gemetar. Mereka melihat Duke Jasper turun dari kudanya dengan jubah yang ternoda darah dan debu, namun tetap terlihat semegah dewa kematian. Di sampingnya, Emelia melangkah dengan dagu terangkat, meski gaunnya kusut, martabatnya jauh melampaui siapapun yang ada di sana.

"Buka pintunya," suara Gideon menggema di aula depan, dingin dan tidak terbantahkan.

"Tuan Duke, Yang Mulia Raja sedang tidak ingin menerima tamu di jam sepe—"

SRAK!

Gideon menghunus pedang hitamnya, ujungnya berhenti tepat di bawah dagu sang kapten penjaga. "Aku tidak sedang meminta izin. Aku sedang memberikan perintah terakhir sebelum kepalamu menggelinding di lantai ini."

Pintu kayu ek raksasa itu akhirnya dibuka. Di dalam aula singgasana, Raja Alaric duduk dengan wajah pucat, dikelilingi oleh para penasihatnya yang berbisik panik. Di sudut ruangan, Emelia menangkap sosok wanita yang selama ini menjadi dalang fitnah terhadapnya—Ibu Suri, yang kini memegang cangkir teh dengan tangan gemetar.

"Jasper Gideon! Apa arti pemberontakan ini?" teriak Raja Alaric, berusaha menjaga wibawanya yang mulai runtuh.

Gideon tidak menjawab. Ia justru menarik Emelia maju ke tengah ruangan, lalu dengan gerakan teatrikal, ia melempar kunci perak yang dibawa Emelia ke atas meja perundingan di depan Raja. Bunyi denting logam itu terdengar seperti lonceng kematian.

"Aku datang bukan untuk memberontak, Baginda," ujar Gideon dengan senyum miring yang mengerikan. "Aku datang untuk mengembalikan kebenaran yang kalian kubur di bawah tumpukan kebohongan. Kunci ini adalah pembuka kotak rahasia milik mendiang Raja terdahulu—kotak yang berisi surat wasiat asli mengenai siapa yang seharusnya duduk di kursi yang kau tempati sekarang."

Emelia melangkah maju, suaranya tenang namun tajam bak sembilu. "Dan di dalam kotak itu juga tersimpan bukti siapa yang meracuni ayahku dan memfitnah keluargaku selama sepuluh tahun terakhir. Apakah Anda ingin aku membacakannya di depan seluruh rakyat, atau Anda ingin menyerah dengan sisa kehormatan yang Anda miliki?"

Ibu Suri berdiri, wajahnya merah padam. "Berani sekali kau, wanita jalang! Pengawal, tangkap mereka!"

Namun, tidak ada satu pun pengawal yang bergerak. Mereka semua menatap Gideon, yang aura membunuhnya kini memenuhi seluruh ruangan hingga oksigen terasa menipis.

"Siapa pun yang bergerak satu inci saja," ancam Gideon sambil mengelilingi pedangnya, "akan mendapati jantungnya berada di ujung pedangku sebelum mereka sempat berkedip."

Gideon kemudian menoleh pada Emelia, tatapannya berubah menjadi pemujaan yang intens. "Katakan padaku, Emelia. Apakah kau ingin aku membiarkan mereka hidup untuk diadili, atau kau ingin aku mengubah lantai marmer yang indah ini menjadi lautan darah sekarang juga?"

Seluruh aula hening. Napas semua orang tertahan, menunggu keputusan sang Duchess yang selama ini mereka remehkan. Emelia menatap Raja, lalu beralih ke suaminya. Ia perlahan meletakkan tangannya di atas tangan Gideon yang memegang pedang, menurunkan senjata itu perlahan.

"Darah tidak perlu tumpah di sini, Gideon," bisik Emelia, namun suaranya terdengar ke seluruh penjuru ruangan. "Karena aku ingin mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekuasaan mereka runtuh, bukan karena pedang, tapi karena dosa-dosa mereka yang akhirnya terungkap."

Emelia memutar kunci perak di tangannya. Saat itu juga, cahaya matahari pertama menembus jendela kaca patri istana, menyinari wajahnya. Hari itu, Ibu Kota tidak hanya menyaksikan kemarahan seorang Duke, tetapi juga kebangkitan seorang Ratu yang sesungguhnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!