Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anna tidak bisa kupas kulit udang,sejak kapan???
Saat kami pulang dari masjid, pemandangan pertama yang kutangkap membuat langkahku melambat.
Anna berdiri di dekat pintu dapur, dagunya bersandar di bahu mace, persis anak kecil yang lagi manja. Tangan mace mengusap punggungnya pelan, sementara Anna diam saja, matanya menatap entah ke mana. Tapi wajahnya… segar. Tidak sembab seperti semalam. Tidak ada bekas tangis yang runtuh. Justru terlihat tenang—rapuh yang sudah ditata ulang.
Entah kenapa dadaku menghangat melihat itu.
Setelah berganti pakaian salat, kami semua berkumpul di meja makan. Suasananya hening tapi tidak canggung. Ada nasi hangat, sayur, sambal, dan sepiring besar udang yang aromanya bikin perut langsung protes.
Kami mulai makan dengan tenang.
Sampai akhirnya aku hampir tersedak.
Anna menatap udang di piringnya lama sekali, lalu menghela napas kecil. Dengan ekspresi super polos—yang jelas-jelas palsu—dia melirik ke arah mace.
“Ma…” katanya lirih, “Anna nggak bisa kupas kulit udang.”
Aku langsung menutup mulut, bahuku bergetar menahan tawa.
Nggak bisa kupas kulit udang?
Perempuan yang dulu manjat pohon mangga tanpa takut jatuh, yang bisa ngebongkar mesin motor bareng aku, sekarang mendadak kehilangan kemampuan dasar manusia?
Mace menoleh, jelas kaget. “Loh? Sejak kapan?” tanyanya heran.
Anna mengangkat bahu, wajahnya datar tapi matanya berkilat nakal. “Sejak pagi ini.”
Aku menyerah. Tawa akhirnya lolos juga.
“An,” kataku sambil terkekeh, “dulu lo yang ngajarin gue cara ngupas udang biar nggak nyangkut di kuku. Sekarang drama amat.”
Anna melirik tajam. “Berisik. Lagi capek,” jawabnya santai.
Paman hanya menghela napas, sudut bibirnya naik tipis—senyum yang jarang sekali muncul. Bian dan Ayyan saling pandang, lalu ikut tertawa kecil, entah paham atau tidak.
Mace akhirnya mengambil alih, mengupaskan udang satu per satu dan meletakkannya di piring Anna. “Sudah, makan yang banyak. Hari ini panjang,” katanya lembut.
Anna mengangguk patuh, seperti anak kecil sungguhan.
Aku menatap pemandangan itu sambil tersenyum sendiri.
Di balik luka yang belum sepenuhnya sembuh,
di balik keputusan berat yang menunggu,
ternyata masih ada ruang untuk hal-hal kecil—
manja, tawa, dan kepura-puraan konyol demi merasa aman.
Dan pagi itu, di meja makan sederhana itu,
aku sadar satu hal:
Anna mungkin sedang hancur,
tapi dia tidak sendirian.
Jam delapan pagi kami akhirnya berangkat ke Kantor Pengadilan Agama Kota Palu.
Dua mobil keluar hampir bersamaan dari halaman rumah. Mobil pertama dikendarai paman—di dalamnya ada mace, Bian, dan Ayyan. Paman sengaja membawa anak-anak agar Anna tahu satu hal: apa pun yang terjadi hari ini, dia tidak berjalan sendirian.
Mobil kedua aku yang menyetir. Anna duduk di kursi penumpang depan.
Sepanjang jalan, suasana di dalam mobil kami sunyi. Bukan sunyi yang canggung, tapi sunyi yang penuh pikiran. Aku sesekali melirik ke arahnya. Anna menatap lurus ke depan, tangannya terlipat rapi di pangkuan. Wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang sebentar lagi akan mengakhiri pernikahan dua belas tahun.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku akhirnya, memecah keheningan.
Anna menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. “Apa kelihatannya gue kenapa-kenapa?”
“Kelihatan kayak orang mau ujian hidup,” jawabku jujur.
Dia terkekeh kecil, hampir tak terdengar. “Mungkin memang gitu. Bedanya, ini ujian tanpa remedial.”
Aku mengangguk. Tidak mencoba menghibur dengan kata-kata klise. Anna bukan tipe yang butuh dikasihani.
Lampu merah memaksa kami berhenti. Dari kaca depan, kulihat mobil paman beberapa meter di depan. Ayyan menoleh ke belakang, melambaikan tangan kecilnya ke arah kami. Anna spontan mengangkat tangan, membalas lambaian itu. Senyumnya kali ini lebih nyata.
“Itu alasan gue kuat,” katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Bukan karena gue nggak sakit. Tapi karena mereka.”
Aku menggenggam setir lebih erat. “Dan lo nggak harus jadi kuat sendirian, An. Ingat itu.”
Anna mengangguk, napasnya ditarik dalam-dalam.
Mobil kembali melaju. Gedung Pengadilan Agama sudah terlihat dari kejauhan—bangunan sederhana, tapi hari ini rasanya seperti garis batas antara masa lalu dan masa depan.
Saat kami memasuki area parkir, paman sudah turun lebih dulu. Posturnya tegap, wajahnya dingin. Aura pelindung yang selama ini cuma kudengar dari cerita, hari ini benar-benar terasa.
Anna membuka pintu mobil. Sebelum turun, dia menoleh ke arahku. “Lif.”
“Hm?”
“Makasih sudah di sini. Dari awal sampai sekarang.”
Aku mendengus. “Gue kan baby sitter, sopir, tukang masak, sama pengawal pribadi. Paket lengkap.”
Dia tersenyum—senyum kecil, tapi tulus.
Kami melangkah bersama menuju pintu masuk.
Hari ini bukan tentang kalah atau menang.
Ini tentang keberanian melepaskan—
dan memilih hidup yang lebih jujur.
semangat thor