NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 Senja di Ujung Harapan

Desclaimer! Kisah ini diangkat dari kisah nyata yaa... Novel ini juga di tulis dari perspektif\sudut pandang narasumber, Authir harap, para pembaca menanggapi dengan bijak, karena ceritanya masih sangat panjang... Berkarya tidaklah mudah, authir harap dukungan dari kalian semua,,, terimakasih.

Angin sore dari Teluk Cemara berhembus pelan, membawa aroma garam dan membelai jilbab putih yang membingkai wajah Maya. Di hadapan mereka, matahari sedang berpamitan, mewarnai cakrawala dengan gradasi jingga, merah muda, dan ungu, menciptakan lukisan alam yang indah sekaligus mengharukan. Pasir pantai perlahan berubah warna menjadi keemasan, kontras dengan bayangan mereka yang memanjang.

Suasananya tenang, hanya diisi oleh suara debur ombak kecil yang sesekali menyapu bibir pantai, seolah ikut mendengarkan keluh kesah yang tak terucap. Di kejauhan, perahu nelayan tampak seperti siluet hitam, bergerak pelan kembali ke daratan, kontras dengan kerumitan hidup yang sedang mereka bicarakan.

Maya duduk di atas tikar pandan, pandangannya lurus ke arah garis pertemuan laut dan langit. Di sampingnya, Hana, dengan tatapan penuh simpati, memulai percakapan dengan nada lembut yang kalah oleh suara angin.

Hana: "MasyaaAllah ya, ujian pertama kamu setelah mualaf, harapan bisa bersatu dengan Ramadhan(Madhan) harus pupus. Saya gak tau kalo ternyata selama ini dia sudah dijodohkan, tega sekali dia, karena dia gak ceritain ke kamu yang sebenarnya, Maya."

Maya menghela napas panjang. Udara pantai yang seharusnya menyegarkan terasa sedikit sesak di dadanya. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan Madhan dari pikirannya, lalu menoleh ke Hana dengan senyum tipis yang dipaksakan.

Maya: "Sudahlah kak Hana, semua sudah berlalu, mungkin itu bagian dari takdir aku. Aku akui niat awal aku menjadi mualaf itu karena dia, aku berpikir kalo Tuhan kita beda, gimana doa kita berdua akan dikabulkan. Setelah aku mualaf ternyata kita tetap gak bisa bersatu, mungkin kita memang gak ditakdirkan bersatu, mungkin ini juga ujian pertama dari Tuhan buat aku kak, apakah aku tetap berpegang teguh pada keyakinan ku yang baru, atau aku justru kembali ke jalan yang dulu."

Maya terdiam sejenak setelah menyelesaikan kalimatnya, pandangannya kembali menerawang ke laut lepas yang kini mulai menghitam, diterangi pantulan cahaya bulan sabit. Suara ombak terasa lebih tenang sekarang, seiring dengan meredanya gejolak di hatinya.

Hana menatap Maya dengan prihatin, merasakan beban berat yang dipikul oleh wanita mualaf di sampingnya itu. Kehilangan harapan cinta pertamanya setelah memilih jalan baru dalam hidup, kini Maya harus memikirkan kelanjutan hidupnya secara mandiri.

Hana: "Terus apa rencana kamu sekarang, Maya?"

Pertanyaan Hana memutus lamunan Maya. Maya menarik napas dalam, memantapkan tekad yang mulai tumbuh di hatinya.

Maya: "Sepertinya aku harus balik kerja lagi, Kak."

Dia menoleh, ada keteguhan baru di matanya yang sebelumnya penuh keraguan.

Maya: "Aku nggak mungkin terus-terusan tinggal di rumah Kakak dan suami Kakak. Kembali ke rumah Mamah pun rasanya nggak mungkin, apalagi keyakinan kami sudah berbeda," jelasnya, suaranya melembut saat menyebut keluarganya.

"Aku mau kembali kerja sama mantan bos aku yang dulu, Kak. Aku masih punya hutang yang harus dilunasi," lanjut Maya, nada suaranya berubah serius, praktis, dan penuh tekad.

"Kakak kan tahu beberapa waktu lalu aku baru aja selesai operasi, dan uang untuk operasi itu aku pinjam dari dia. Setelah hutangnya lunas baru aku pikirin lagi untuk ke depannya."

Hana mengangguk pelan, menghargai keputusan Maya untuk mandiri. Dia bisa melihat bahwa di balik kerapuhan itu, ada kekuatan luar biasa dalam diri Maya. Langit di atas mereka kini sepenuhnya gelap, hanya dihiasi kerlap-kerlip bintang yang menjadi saksi bisu atas awal perjalanan baru Maya yang penuh tantangan.

...****************...

Pagi itu, udara di rumah Hana terasa sedikit dingin. Tas pakaian Maya yang tidak seberapa sudah siap di ruang tamu. Hedy dan Kak Amel teman Maya, datang menjenguk, ingin mengantar kepergian Maya. Suasananya canggung, namun penuh kehangatan.

Kak Amel memeluk Maya erat, matanya berkaca-kaca. "Jaga diri baik-baik ya, Maya. Kalau ada apa-apa langsung kabari kami," pesannya lembut.

"Pasti, Kak Amel." Maya mengangguk, balas memeluk Kak Amel.

Hedy berdiri sedikit menjauh, tangannya dimasukkan ke saku celana jeans-nya. Ada ekspresi khawatir yang sulit disembunyikan di wajahnya. Dia adalah teman dari Madhan, dan diam-diam, Hedy menyimpan perasaan lebih untuk Maya, perasaan yang tidak disadari sedikit pun oleh Maya.

"Hati-hati di jalan, May," kata Hedy, suaranya pelan.

Saat Maya membungkuk untuk mengenakan sepatu kanvasnya, dia kesulitan memasukkan tumitnya ke dalam sepatu. Tanpa banyak bicara, Hedy melangkah mendekat. Dia berlutut sebelah kaki, dengan lembut memegang pergelangan kaki Maya, dan menggunakan jari telunjuknya untuk membenarkan posisi bagian belakang sepatu agar tumit Maya bisa masuk dengan sempurna.

Sentuhan singkat dan perhatian kecil itu membuat jantung Maya berdesir kencang. Pipi Maya sedikit merona karena terkejut oleh kedekatan itu. Hedy bangkit berdiri dengan cepat, ekspresinya datar seolah tidak terjadi apa-apa, tapi telinganya sedikit memerah.

"Makasih, Hed," bisik Maya, mencoba menyembunyikan debaran jantungnya yang aneh.

Meskipun hatinya sempat berdebar karena perhatian Hedy, bayangan Madhan masih melekat kuat di hatinya. Ingatan akan pria yang meninggalkannya itu masih menyakitkan, dan Maya buru-buru menepis perasaan aneh terhadap Hedy.

"Aku berangkat dulu, Kak Amel, Hed, Kak Hana" pamit Maya, menarik napas dalam, siap melangkah keluar rumah Hana, menuju babak baru dalam hidupnya.

Setelah perpisahan yang sedikit canggung namun hangat dengan Kak Amel dan Hedy, Maya naik taksi menuju bandara. Jalanan pagi itu cukup lancar. Pikirannya melayang, memikirkan kembali perhatian kecil Hedy yang membuatnya berdebar sesaat, lalu kembali teringat tekadnya untuk melunasi utang operasi dan memulai hidup yang lebih mandiri.

Bandara terasa ramai dan bising, kontras dengan keheningan di hatinya. Dengan tas kecil di tangannya, Maya berjalan menuju area keberangkatan domestik. Prosedur check-in dan pemeriksaan keamanan berlalu begitu saja. Dia duduk menunggu di gerbang, dikelilingi oleh orang-orang yang sibuk dengan tujuan masing-masing.

Penerbangan singkat membawa Maya melintasi pulau, menuju kota tempat tinggal bosnya. Saat pesawat lepas landas, Maya menatap jendela, melihat daratan mengecil di bawahnya. Dia berharap kepergiannya kali ini adalah untuk selamanya—sebuah pelarian menuju kedamaian dan ketenangan yang selalu dia rindukan.

Di bawah langit yang sama Hedy berdiri dan mendongak, menatap langit biru yang cerah. Di kejauhan, sebuah titik putih kecil melaju cepat, meninggalkan jejak asap tipis.

Hedy yakin, itu adalah pesawat yang Maya tumpangi, membawanya pergi ke tempat yang asing. Hatinya terasa sakit, perih karena kepergian Maya, apalagi dirinya belum sempat mengatakan tentang perasaannya.

Meskipun hatinya sakit, Hedy memejamkan mata sejenak dan berdoa di dalam hati, mengharapkan Maya baik-baik saja di tempat yang asing itu, berharap suatu hari nanti Maya akan kembali.

Ketika roda pesawat menyentuh landasan di kota tujuan, Maya menghela napas panjang. "Bismillah," bisiknya pelan. Dia siap memulai perannya sebagai juru masak di rumah besar itu, sebuah awal baru yang penuh dengan ketidakpastian.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!