Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Terdengar suara erangan dan juga napas yang saling bertemu, dengan pandangan yang kabur.
Terdengar suara pria dan wanita yang sedang membalas kecupan tersebut.
Sampai akhirnya, mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan karena perbedaan usia itu.
Setelah malam yang panjang, wanita itu bangun dan kaget saat melihat dirinya tidak mengenakan balutan baju sedikit pun.
Wanita itu berteriak dan langsung pergi dari sana. Sang pria yang sedang mandi bingung, ada apa dengan wanita itu?
Apakah wanita itu sedang dalam keadaan baik-baik saja? Lantas kenapa wanita itu berteriak?
Dengan kaki lemas, wanita itu mencoba bertahan untuk kabur sekuat tenaga agar tidak bertemu lagi dengan pria itu.
Sesampainya di rumah...
“Helen!”
Suara teriakan pamannya yang berjalan ke arahnya membuat Helen sudah tahu bahwa dirinya akan dimarahi habis-habisan oleh pamannya.
Namun, Helen tidak peduli, karena pamannya juga tidak pernah benar-benar menyayanginya. Semua ini terjadi karena pamannya.
Pamannya hanya menganggap Helen seperti pabrik mesin uangnya. Jadi, pamannya tidak perlu menyayangi Helen.
“Kamu dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?”
Helen tahu bahwa pamannya hanya pura-pura menyayanginya, agar terlihat seolah Helen yang selalu kurang ajar dan tidak bersyukur kepada pamannya.
“Kerja.”
Helen mencoba tegar di depan pamannya, tetapi pamannya selalu memukul dirinya hingga Helen berhenti datang bulan.
Ia sempat stres karena harus tinggal bersama pamannya. Helen bingung harus ke mana, sedangkan dirinya tidak memiliki teman yang seumuran.
Teman-teman Helen tidak mau berteman dengannya karena pamannya. Menurut mereka, pamannya itu sangat mengganggu.
Mungkin pamannya tidak sadar betapa mengganggunya dirinya itu, tapi kenyataannya memang seperti itu.
Helen selalu mencoba sabar dengan pamannya. Sepulang sekolah, Helen bekerja paruh waktu di siang hari. Setelah itu, di malam hari, ia menjadi ojek online, dan terkadang bekerja di tempat yang tidak seharusnya ia bekerja.
Walau hanya menjadi pelayan, Helen merasakan betapa lelahnya pekerjaan itu. Namun, ia tetap bertahan karena berharap suatu saat bisa kabur tanpa pamannya tahu.
Helen berharap bisa segera bebas dari pamannya, karena ia tidak mau terus bersama pamannya yang tidak berguna itu.
Ia merasa, setelah lulus SMA nanti, ia bisa menjadi orang dewasa tanpa harus terikat lagi dengan pamannya.
Helen sudah tidak mau tahu apa pun tentang pamannya. Pikirannya hanya fokus pada sekolah dan kerja.
Sesampainya di sekolah, wajah Helen selalu babak belur. Hal itu menjadi pertanyaan bagi banyak orang: ada apa dengan wajahnya?
Teman-temannya mulai mengira Helen adalah gadis nakal yang suka bergaul dengan para preman.
Helen yang merasa dikucilkan seperti itu hanya bisa tak berdaya dan memilih makan sendirian di toilet tanpa ada yang menemani.
Sebenarnya, Helen ingin makan layak bersama teman-temannya, tapi karena perbedaan status dan materi, mereka tidak bisa duduk di bangku yang sama.
Walau tidak memiliki orang tua, Helen tidak pernah menunggak biaya sekolah.
Bantuan yang seharusnya ia terima pun selalu diambil oleh pamannya.
Helen merasa geram kepada pamannya, namun ia bingung harus berbuat apa.
Ia tahu diri dan tidak banyak menuntut.
Helen bahkan berpikir mungkin meninggalnya orang tuanya adalah karena dirinya. Ia merasa dirinya pembawa sial.
Maka dari itu, kedua orang tuanya meninggal dan tidak pernah benar-benar menganggap Helen sebagai anak kandung.
Jika Helen menjadi orang tua, mungkin ia juga akan membuang dirinya sendiri, pikirnya dengan getir.
Setelah jam pelajaran selesai, Helen dipanggil gurunya. Ia sudah tahu apa yang akan ditanyakan.
“Helen, muka kamu kenapa? Kamu dipukul paman kamu lagi?”
Helen hanya diam sambil mengangguk pelan. Ia bingung harus berkata apa tentang pamannya yang kejam itu.
Ia juga tidak berniat meminta tolong kepada guru, karena tidak mau gurunya ikut campur dalam masalah keluarga yang rumit itu.
Gurunya hanya menghela napas, bingung harus bagaimana agar Helen merasa aman.
Guru itu ingin membantu dan bahkan sempat berpikir menempuh jalur hukum agar Helen bisa tinggal bersamanya.
Namun, Helen tidak mau menyusahkan orang lain. Ia anak yang mandiri dan tidak ingin merepotkan siapa pun.
Helen tumbuh menjadi anak baik, walaupun lingkungannya tidak baik. Begitulah kehidupannya.
Sepulang sekolah, Helen selalu bersiap bekerja paruh waktu. Ia ingin menghindari pamannya yang suka mabuk dan sering melecehkannya.
Sejak bibinya meninggal, Helen kehilangan sosok ibu, dan hidupnya terasa semakin berat.
Ia sering bertanya dalam hati, “Apakah orang seperti aku pantas mendapatkan cobaan seberat ini? Apa salahku hingga diberi hidup sekeras ini?”
Helen ingin hidup normal seperti anak lain. Ia ingin punya orang tua yang lengkap, tapi kenyataannya berbeda.
Teman-teman yang merundungnya membuat Helen makin merasa tak berdaya.
Suatu hari, saat pulang sekolah, ada tiga pria yang mengikuti Helen. Mereka menganggap Helen sebagai wanita murahan yang tidak punya harga diri.
Helen tidak mampu membela diri, karena rumor tentang dirinya sudah terlalu buruk.
Ia merasa hidupnya penuh kekurangan dan tak bisa memperbaiki pandangan orang lain terhadapnya.
Bahkan, ia bertanya-tanya dalam hati: “Apa gunanya aku hidup kalau setiap hari harus seperti ini?”
Saat ketiga pria itu hendak mendekatinya, tiba-tiba muncul seorang pria berbadan besar yang menahan mereka.
Helen sempat berpikir, jangan-jangan itu rentenir suruhan pamannya.
Ia menggeleng. Seolah semua hal buruk selalu berkaitan dengan pamannya.
Helen sudah lelah bekerja hanya untuk pamannya, bukan untuk dirinya sendiri.
Ia hanya ingin hidup tenang.
Kenapa selalu saja ada cobaan yang datang karena pamannya?
Setelah pria berbadan besar itu tidak mengejarnya, Helen bingung siapa dia.
Kenapa pria itu tidak menyerangnya? Apa mungkin doanya selama ini terkabul?
Namun, Helen tidak mau berpikir terlalu jauh. Ia hanya ingin tenang.
Malam itu, di tempat kerja, Helen melihat seorang pria tampan menghampirinya.
Ia tidak tahu siapa pria itu. Pekerjaan Helen hanya mengantar minuman dan sesekali membuatnya.
Ia menghabiskan masa mudanya untuk pekerjaan yang tidak ia sukai.
Namun, ia tetap bersyukur karena masih bisa makan, walau tidak sering menikmati makanan enak.
“Dek, mau minum dong.”
Pria itu meminta minuman kepada Helen. Namun, Helen mengira pria itu berbicara kepada teman kerjanya.
Teman kerjanya pun menghampiri Helen dan berbisik pelan,
“Helen.”
“Ya, kenapa?”
“Itu kayaknya yang dimaksud kakaknya kamu deh, bukan aku. Soalnya aku tanya mau minum apa dicuekin aja. Coba kamu aja, siapa tahu berhasil.”
Helen menghela napas pelan. Di saat dirinya lelah pun, ia tetap harus peduli dengan pelanggan.
Ia pun menghampiri pria itu. Pria itu tersenyum padanya. Helen bingung, apa pria itu mengenalnya?
Pikirnya, ia tidak pernah bertemu pria ini sebelumnya. Lagipula, gaya pria ini terlihat terlalu dewasa untuk gadis seumuran dirinya yang masih ABG.