NovelToon NovelToon
KAIL AMARASANA

KAIL AMARASANA

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:727
Nilai: 5
Nama Author: Yusup Nurhamid

Di negeri Amarasana, tempat keajaiban kuno disembunyikan di balik kehidupan sederhana, Ghoki (17), seorang anak pemancing yatim piatu dari Lembah Seruni, hanya memiliki satu tujuan: mencari ikan untuk menghidupi neneknya.
Kehidupan Ghoki yang tenang dan miskin tiba-tiba berubah total ketika Langit Tinggi merobek dirinya. Sebuah benda asing jatuh tepat di hadapannya: Aether-Kail, sebuah kail pancing yang terbuat dari cahaya bintang, memancarkan energi petir biru, dan ditenun dengan senar perak yang disebut Benang Takdir.
Ghoki segera mengetahui bahwa Aether-Kail bukanlah alat memancing biasa. Ia adalah salah satu dari Tujuh Alat Surgawi milik para Deva, dan kekuatannya mampu menarik Esensi murni dari segala sesuatu—mulai dari ikan yang bersembunyi di sungai, kayu bakar ya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusup Nurhamid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Titik Jatuh Cahaya

​Negeri Amarasana adalah negeri yang terbuat dari bisikan angin dan nyanyian sungai. Ia terbentang dari hutan-hutan Kasta yang hijau gelap hingga tebing-tebing Gahara yang pucat membentang ke lautan. Di tengahnya, terdapat Lembah Seruni, tempat Ghoki tumbuh besar. Ghoki hanyalah seorang anak laki-laki berusia tujuh belas tahun, kurus, dengan mata yang selalu terlihat seperti sedang memandang cakrawala yang jauh, seolah mencari sesuatu yang tidak pernah ia lihat.

​Setiap pagi, sebelum embun sempat mengering dari rumput, Ghoki sudah berada di tepi Sungai Limana, yang membelah lembah. Ia bukan memancing untuk kesenangan, tetapi untuk bekal hidupnya dan neneknya, yang tangannya sudah terlalu lemah untuk memegang jaring. Bagi Ghoki, memancing adalah ritme; ritme lemparan senar pancing sederhana, ritme tarikan halus, dan ritme kesabaran yang tak pernah habis.

​Namun, hari itu, suasana terasa berbeda.

​Pagi itu, langit Amarasana tertutup selimut awan kelabu yang tebal, menjanjikan badai yang tak terhindarkan. Bahkan Lembah Seruni, yang biasanya diliputi ketenangan, terasa gelisah. Ikan-ikan Limana bersembunyi jauh di dasar sungai. Ghoki sudah mencoba di tiga titik pancing berbeda; semuanya sia-sia. Hanya ada air keruh dan keheningan yang mencekam.

​"Nek akan lapar jika aku pulang tangan kosong," gumamnya, menarik senarnya untuk kesekian kali. Senar pancingnya hanyalah senar biasa, dengan kail besi yang sedikit berkarat—warisan dari mendiang ayahnya.

​Tiba-tiba, dari atas, terdengar gemuruh yang jauh lebih keras daripada badai yang akan datang. Itu bukan suara guntur. Itu seperti suara logam raksasa yang bergesekan, atau gunung-gunung yang saling bertumbukan di udara. Langit kelabu di atasnya mulai retak, bukan oleh kilat, melainkan oleh sebuah cahaya putih yang menyilaukan, seperti ribuan bintang yang tumpah sekaligus.

​Ghoki harus menundukkan kepala, melindungi mata. Panas dari cahaya itu terasa menjalar ke kulitnya, meskipun jaraknya masih sangat tinggi. Ini bukan fenomena alam biasa. Bahkan para tetua di Lembah Seruni tidak pernah menceritakan langit yang robek seperti ini.

​Dari celah cahaya itu, sesuatu mulai jatuh.

​Benda itu mulanya hanya terlihat seperti titik hitam yang sangat kecil, meluncur turun dengan kecepatan yang mengerikan, meninggalkan jejak asap tipis yang berpendar keemasan. Ghoki berdiri mematung, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin lari, namun kakinya seolah terpaku ke tanah oleh rasa penasaran dan takut yang membeku.

​Benda itu jatuh semakin dekat, semakin besar. Ghoki baru menyadari bahwa bentuknya aneh. Itu bukan batu, bukan potongan kayu dari angkasa. Semakin dekat, ia melihatnya dengan jelas—sebuah kail pancing.

​Mustahil.

​Bagaimana mungkin kail pancing bisa jatuh dari langit, dari celah cahaya yang membelah dimensi?

​Kail itu mendarat hanya beberapa meter di depannya, tepat di bibir Sungai Limana. Bukan dengan suara keras yang menghancurkan tanah, tetapi dengan suara desisan lembut, seolah air yang disiramkan ke batu panas. Saat Ghoki memberanikan diri mendekat, ia melihat bahwa kail itu bukanlah kail biasa.

​Gagang pancingnya terbuat dari materi yang tampak seperti kayu petir yang membatu—permukaannya gelap pekat, namun di dalamnya berdenyut cahaya biru seperti bintang yang terperangkap. Senarnya, alih-alih benang biasa, adalah untaian tipis cahaya perak, memancarkan aroma seperti hujan di padang bunga. Dan kailnya—kailnya sendiri berukuran tidak lebih dari ibu jari Ghoki, terbuat dari logam murni yang tidak dikenal di Amarasana, berkilauan seperti salju abadi, dengan ukiran yang menyerupai simbol-simbol kuno yang Ghoki yakini bukan bahasa manusia.

​Saat Ghoki mengulurkan tangan ragu-ragu untuk menyentuhnya, ia merasakan sebuah panggilan. Bukan suara, melainkan getaran dalam tulang rusuknya, sebuah janji akan kekuatan yang tak terlukiskan, dan bahaya yang menyertainya.

​Ia mengabaikan akal sehatnya. Ia memegang gagang pancing itu.

​Saat jari-jarinya yang kasar menyentuh permukaan gagang yang dingin dan lembut, cahaya biru di dalamnya meledak, namun hanya dalam batas pancing itu saja. Gelombang kehangatan menjalar dari tangannya, menyebar ke seluruh tubuhnya, membersihkan rasa letih dan dingin yang selalu ia rasakan. Ghoki merasakan visinya menjadi lebih tajam, seolah ia bisa melihat menembus kabut waktu.

​Dalam sekejap mata, ia mendengar bisikan, suara yang lembut seperti air, namun bergema di inti jiwanya: “Engkau telah menerima takdir. Takdir yang ditenun oleh benang-benang langit.”

​Ghoki menarik napas. Ia tidak tahu apa itu, dari mana asalnya, atau mengapa ia yang terpilih. Yang ia tahu, pancing biasa yang ia pegang setiap hari terasa dingin dan tak bernyawa, sementara pancing ini—pancing dari langit ini—terasa seperti bagian dari dirinya yang hilang.

​Ia menggenggamnya erat-erat. Badai di langit tiba-tiba mereda, awan kelabu tersingkap, dan matahari menembus, menyinari kail ajaib itu dengan cahaya keemasan. Ghoki tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Di negeri Amarasana yang tenang, Ghoki si anak pemancing, baru saja menarik jaring yang menangkap takdir. Pertanyaannya sekarang, takdir macam apa yang baru saja ia panggil dari langit?

​Ghoki berbalik, meninggalkan tempat jatuhnya kail. Ia harus pulang, ia harus makan, dan ia harus mulai memahami apa yang ada di tangannya, sebelum kekuatan dari langit ini menariknya ke dalam arus yang tak bisa ia kendalikan. Babak baru di Amarasana baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!