"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara dari Abu Kerajaan
Jalan mayat hidup yang kupilih.
Langit berwarna darah menyelimuti tanah tandus yang dahulu dikenal sebagai Kerajaan Evenard.
Reruntuhan kastil menjulang sunyi dalam kabut pekat, membisikkan cerita-cerita tua tentang tahta, peperangan, dan pengkhianatan. Dinding-dinding hangus itu tidak lagi mengingat nama-nama yang pernah memerintahnya. Tapi di antara puing-puing itulah, berdiri satu-satunya yang tersisa dari masa lalu.
Bell Grezros.
Wajahnya pucat seperti kapur. Matanya kosong, kelam, tak memantulkan cahaya bulan. Ia tampak hidup, namun tak ada denyut nadi di lehernya. Tak ada embusan napas di udara dingin malam. Wujud manusia… tapi tidak lagi manusia.
Tubuhnya tegap dalam balutan jubah hitam, berdiri diam seperti patung batu. Di tangannya, sebilah pedang tua yang dulu digunakan untuk membela rakyatnya—kini hanya simbol kehancuran masa silam.
Bell tak lagi mengenali dirinya sendiri.
Ia telah hidup terlalu lama untuk merasa.
Kutukan keabadian menjadikannya sesuatu yang lain. Tak bisa membusuk. Tak bisa mati. Tak bisa lupa. Ia hanya bisa… berjalan, setiap malam, mengikuti suara-suara dari masa lalu yang memanggilnya lewat mimpi.
“Evenard… adalah awal dari akhir dunia ini.” Suaranya pelan, datar, nyaris seperti suara arwah.
Angin malam membelai rambut hitamnya yang panjang, dan sesekali menggoyangkan jubahnya seperti kelam kabut. Di belakangnya, reruntuhan singgasana tempat ayahnya dulu duduk, kini ditelan akar-akar iblis yang tumbuh dari tanah neraka.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat wajah-wajah yang telah hilang—ibunya, saudara-saudaranya, para pengawal setia… semua telah terbakar, dikhianati, dan dibinasakan oleh pasukan neraka yang dipimpin Archfiend pertama: Rahlzephon.
“Jika fragmen Archelion benar-benar ada,” bisiknya pelan, “aku akan menemukannya. Dan akhirnya, tidur untuk selamanya.”
Ia membuka matanya.
Sinar keunguan menyala lembut dari irisnya—tanda bahwa kutukan itu masih aktif, masih menggenggam jiwanya dalam kematian yang tak kunjung tiba.
Langkah pertamanya telah ditentukan: Perpustakaan Helmsgrave, reruntuhan suci di negeri utara. Di sanalah fragmen pertama diyakini tersembunyi. Dan di sanalah, suara-suara dari masa silam akan kembali menguji niatnya:
Apakah seorang "pahlawan mati" masih pantas disebut manusia?
Atau hanya boneka kutukan… yang berjalan karena belum diizinkan jatuh?
Langkah Bell menghantam jalanan berbatu yang retak. Di antara reruntuhan desa tua, bayang-bayang iblis merayap di balik bangunan hancur. Suara api berkedip di kejauhan, namun tidak ada angin. Tidak ada suara burung. Hanya diam yang menggantung di dunia yang telah lama mati.
Saat itulah, udara berubah.
Langit berdenyut merah tua.
Tanah mengerang seperti makhluk terluka.
Dan dari retakan bumi yang menghitam, muncul sosok tinggi bersayap hitam, bertanduk melengkung, dan kulit serupa obsidian yang menyala dari dalam—seperti bara yang hidup. Matanya dua obor api, memandang Bell seolah memandangi ciptaannya sendiri.
“Akhirnya kau datang juga, anak kecil.” Suara itu dalam, seperti ribuan lidah bercampur menjadi satu. Nada itu membawa nostalgia dan kehancuran sekaligus.
Bell tak bergerak. Wajahnya tetap datar. Tapi mata keunguan itu berkedip sekali—dingin, namun tajam.
“Rahlzephon,” katanya, menyebut nama iblis itu seperti menyayat luka yang belum sembuh.
Iblis itu tersenyum, menyeringai dengan taringnya yang mengerikan. “Sudah berabad-abad sejak kita terakhir bertemu. Dan lihatlah dirimu sekarang. Masih memakai kulit manusia, meski jiwamu sudah terkunci di antara hidup dan mati.”
Bell mengangkat pedangnya perlahan. “Kau yang menjadikanku seperti ini.”
“Benar.” Suara iblis itu tidak menyesal. “Kutawarkan kekekalan. Kekuatan. Takdir. Tapi kau… menolaknya.”
Kilatan amarah melintas di mata Bell. “Kau tidak menawarkan. Kau memaksa. Kau menghancurkan kerajaanku. Kau bunuh keluargaku. Dan kau pikir aku akan menjadi pelayanmu hanya karena kau memberiku tubuh yang tidak bisa mati?”
Rahlzephon melangkah mendekat, setiap jejaknya membakar tanah. “Aku tidak butuh pelayan. Aku butuh penerus. Seorang manusia istimewa yang akan menjadi jembatan antara dunia fana dan neraka. Kau adalah eksperimen pertamaku, Bell. Kau adalah pangeran kegelapan yang gagal menjadi iblis.”
“Dan itu adalah satu-satunya kegagalanmu yang membuatku bangga.” Bell menatap lurus padanya.
Seketika langit memekik. Bayangan sayap besar membentang di belakang Rahlzephon.
“Jadi kau tetap memilih berjalan seperti mayat, daripada duduk di takhta neraka sebagai penguasa?”
Bell menancapkan pedangnya ke tanah. “Aku tidak ingin takhta. Aku hanya ingin akhir. Dan jika harus kubunuh kau dulu, maka itu akan jadi permulaan yang bagus.”
Tawa iblis itu menggema di antara reruntuhan. Namun di matanya, terbersit kehati-hatian. Bell bukan lagi pangeran muda yang gemetar ketakutan. Ia adalah sosok dingin tanpa rasa, tanpa kematian, tanpa batas waktu. Dan satu hal yang paling ditakuti para iblis adalah… musuh yang tidak bisa mati namun tidak tunduk pada mereka.
Pertemuan itu tidak diakhiri dengan pertempuran.
Tidak malam ini.
Karena Rahlzephon tahu—pertarungan mereka belum mencapai klimaks. Bell belum memiliki kekuatan penuh. Tapi semangatnya… adalah ancaman nyata bagi neraka.
Saat iblis itu menghilang dalam pusaran kabut hitam, Bell berdiri sendirian. Lagi.
Namun malam itu, tekadnya mengeras:
Sebelum ia bisa mati, ia harus membunuh iblis yang mencuri kematiannya.
Dan itu hanya akan dimulai… dengan mencari fragmen pertama.