BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

1. Pilih Aku atau Masa Lalu

Gaun putih panjang menjuntai. Lampu kristal menggantung anggun di langit-langit. Harum bunga segar memenuhi aula yang didekorasi laksana istana.

Semua mata tertuju pada Kian Ardhana—pria yang dikenal sebagai bujangan paling sempurna: tampan, mapan, dan nyaris tak bercela.

Di sebelahnya, Friska Putriana duduk anggun dalam balutan gaun pengantin putih. Mata wanita itu berbinar, seolah tak sabar menanti takdir baru mereka.

Kian menjabat tangan penghulu, bibirnya mantap melafalkan ijab kabul:

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Friska Putriana binti Broto Kusumo dengan mas kawin berupa satu set perhiasan berlian, dibayar tunai..."

Ruangan mendadak senyap.

Satu detik...

Dua detik...

Tinggal menunggu satu kata dari penghulu—"Sah."

Namun sebelum suara sakral itu terucap—

"TIDAK SAH! DIA SUDAH JADI SUAMIKU!"

Teriakan itu membelah keheningan seperti belati.

Semua kepala sontak menoleh.

Seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri di ambang pintu. Cadar menutupi wajahnya. Langkahnya pincang, tapi sorot matanya menyala tajam dari balik kerudung—membawa luka, kecewa, dan kebenaran yang siap mengguncang.

Detik itu juga, mimpi indah berubah menjadi mimpi buruk.

Kian membeku.

Meski wajah wanita itu tersembunyi di balik cadar, Kian tak butuh melihat lebih jauh. Langkah pincangnya... cukup untuk membuat darahnya berhenti mengalir. Hatinya mencelos. Ia tahu persis siapa wanita itu.

Friska menatap wanita bercadar itu, lalu menoleh ke arah Kian. Matanya penuh tanya, hatinya mulai berdebar tak karuan.

Penghulu terdiam.

Para tamu mulai berbisik... ketegangan memenuhi ruangan.

Broto, ayah Friska, langsung berdiri dari kursinya. Wajahnya tegang, matanya menajam ke arah Kian. Suaranya parau ketika bertanya, "Apa maksud semua ini?"

Ibu Friska memekik pelan, menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Ia menatap putrinya dengan air mata menggantung, seolah tak percaya pernikahan putrinya berubah menjadi skandal di depan semua orang.

Ibu Kian menoleh cepat ke arah suaminya. Wajahnya memang tertutup, tapi sorot matanya gelisah di balik cadar. Tangan kirinya mencengkeram tas kecil di pangkuan, sementara tangan kanannya menggenggam lengan kursi erat-erat.

"Itu… wanita itu—apa benar dia… istri Kian?" Suaranya lirih, nyaris patah, memadukan marah, malu, dan terpukul dalam satu helaan napas.

Ayah Kian hanya menunduk sesaat, matanya perlahan naik ke arah Kian. Wajahnya keras, namun sorot kecewa tak bisa disembunyikan.

"Kian..." Friska berbisik, suaranya nyaris tercekat.

"Siapa dia? Istrimu? Mantanmu? Atau cuma orang yang ingin merusak pernikahan kita?"

Wanita bercadar itu melangkah maju, perlahan tapi pasti, mendekati meja akad.

Suara dinginnya terdengar jelas—menusuk jantung semua yang hadir:

"Sebelum kau sah menjadi milik orang lain, Kian Ardhana... jawab dulu satu hal.

Apa kau sudah menceraikanku?"

Kian diam. Wajahnya pucat. Tenggorokannya tercekat.

Semua mata kini tertuju padanya—orang tuanya, Friska, orang tua Friska, para tamu, semua menunggu satu hal: jawaban.

Ayah Kian akhirnya bersuara, suaranya berat, dalam, penuh tekanan.

"Kian Ardhana… jawab ayahmu. Siapa wanita itu? Benarkah... dia istrimu?"

Beberapa detik sunyi mencekam... lalu Kian akhirnya membuka suara, lirih—nyaris tak terdengar:

“Dia... istri siriku.”

Kedua orang tua Kian saling menatap—diam, namun jelas terpancar kekecewaan yang dalam dari sorot mata mereka. Seolah mereka menyaksikan impian yang dibangun bertahun-tahun hancur dalam satu kalimat.

Ayah Friska, Broto, mengatupkan rahangnya. Napasnya berat. Tangan kanannya mengepal erat di sisi tubuh, seolah menahan amarah yang nyaris meledak.

Di sampingnya, ibu Friska tak mampu berkata-kata. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi, menggambarkan luka seorang ibu yang tak sanggup melihat putrinya dilukai.

Friska menatap Kian tanpa berkedip, dadanya sesak, wajahnya kaku menahan gemuruh rasa yang tak bisa ia jelaskan. Kata-kata Kian menggema dalam benaknya, menampar lebih keras dari tamparan apa pun. Harapan di matanya perlahan retak, satu demi satu.

"Kau mencintainya?" tanyanya, nyaris berbisik, namun suaranya menggema di seisi ruangan yang mendadak hening.

Kian menoleh perlahan ke arahnya. Mata mereka bertemu.

Lalu, ia menggeleng.

Friska menarik napas panjang. Matanya berair. Tapi ia menegakkan tubuhnya, seperti ingin menunjukkan bahwa ia masih punya harga diri, meski hatinya sudah hancur berkeping.

"Kalau begitu..." suaranya mulai bergetar, "ceraikan dia. Sekarang. Di sini. Di depan semua orang."

Desakan itu menggema di dalam aula.

Semua tamu menatap Kian.

Penghulu menunduk, tak sanggup ikut campur.

Orang tua mereka diam membatu.

Wanita bercadar berdiri tegak, wajahnya tak terlihat, namun sorot matanya jelas menyiratkan luka yang belum sembuh.

Friska mengatupkan rahangnya, air mata jatuh satu-satu di pipi, namun ia tak menyekanya. Ia menunggu, berharap pria yang hampir jadi suaminya memilihnya.

Tapi Kian…

Diam.

Dunia seolah membeku.

Keringat dingin membasahi pelipisnya. Suara napas para tamu pun terdengar nyaring dalam diam yang menyiksa.

Kian menunduk. Bibirnya bergetar. Matanya perlahan berkaca-kaca, tapi suaranya tetap hilang entah ke mana.

Friska menatapnya, sadar… pria itu tak akan memilihnya.

Ia tersenyum getir, berdiri perlahan di depan semua tamu yang masih terpaku diam.

Matanya basah, tapi suaranya tegas.

"Ambil dia... kalau memang dia milikmu sejak dulu."

Suara Friska lirih, nyaris tenggelam dalam isak yang ia tahan mati-matian.

Ia menatap wanita bercadar itu, tanpa kebencian, hanya luka yang tak bisa dijelaskan.

"Tapi satu hal, Nyonya..." Friska menarik napas, suaranya mulai gemetar, "Jangan bangga karena dia tetap tinggal di sisimu. Banggalah kalau dia mencintaimu. Karena ternyata... dia tak mencintai siapa pun."

Ia pun berbalik.

Langkahnya terasa berat. Gaun pengantinnya yang putih menjuntai di lantai marmer, menyeret serpihan mimpi yang runtuh. Air matanya membasahi lantai, jejak diam-diam dari hati yang ditinggalkan.

Dari deretan kursi tamu, ibu Friska berdiri terburu-buru. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia segera menyusul putrinya, menggenggam ujung gaun Friska seperti mencoba menahan luka yang tak bisa dihentikan.

Kian tiba-tiba berdiri. "Friska...aku bisa jelaskan--"

“Cukup!” suara berat Broto akhirnya meledak, menggelegar memecah suasana beku.

Semua orang tersentak. Friska menghentikan langkahnya, namun tak menoleh.

Broto berdiri dari kursinya, matanya menatap Kian tajam seperti panah yang siap menancap.

“Kau mempermainkan putriku, Kian Ardhana. Di depan semua orang. Di hari suci pernikahan kalian.”

Ia menoleh pada penghulu, orang tua Kian, lalu pada para tamu. Suaranya lantang, tanpa gentar.

“Pernikahan ini batal. Aku tidak akan menyerahkan anakku pada pria yang bahkan tak bisa memilih dengan keberanian.”

Ia kemudian menatap Friska, lembut. “Ayo, Nak. Tak ada yang perlu kau sesali. Kau bukan kehilangan suami... kau diselamatkan dari orang yang tak pantas.”

Friska menahan isak, dan kali ini ia benar-benar menangis. Tapi ia mengangguk—pelan, rapuh, namun pasti.

Kian terdiam. Tak ada kata yang pantas. Tak ada penjelasan yang bisa menyembuhkan luka yang ia ciptakan sendiri.

Dan wanita bercadar itu hanya berdiri di tempatnya.

Tak mengejar siapa pun.

Tak menatap siapa-siapa.

Karena hari itu, bukan soal siapa yang dipilih…

Tapi siapa yang terluka paling dalam.

***

Dua Tahun Lalu

Langit Kalimantan sore itu menguning keemasan, membakar cakrawala dengan cahaya hangat yang menggantung di pucuk-pucuk pohon. Jalan tanah memanjang di antara sawah yang mulai mengering, membelah pedesaan dalam diam yang damai.

Sebuah mobil hitam melaju mulus, menebas kesunyian dengan deru mesinnya.

Di dalamnya, Kian Ardhana duduk gelisah. Tangan kirinya mencengkeram setir, sedangkan tangan kanannya memegang ponsel di telinga. Wajahnya kusut, penuh kekesalan.

"Dia tetap menolak? Bahkan setelah kita naikkan harga dua kali lipat?"

Suara anak buahnya terdengar dari seberang.

"Iya, Tuan. Pak Hasan bilang, tanah itu peninggalan leluhurnya. Tak bisa diukur dengan uang, katanya."

Kian mengumpat pelan. “Orang-orang seperti itu... lebih memilih nostalgia ketimbang masa depan.”

Tut. Ia mengakhiri panggilan dengan kasar.

Matanya menatap keluar jendela, menelusuri barisan pohon yang meliuk di tepian jalan. Tapi pikirannya tertinggal di tanah yang gagal ia beli—tanah paling strategis untuk proyek resort mewah terbesar yang akan jadi wajah ibu kota baru.

Ia menatap ponsel lagi, menelepon anak buah lainnya.

"Cari informasi soal Pak Hasan. Semua yang berhubungan dengannya."

Suara di seberang menjawab cepat, "Sudah, Tuan. Dia menduda sejak tiga tahun lalu. Istrinya meninggal dalam kebakaran. Api dari ledakan tabung gas tetangga menyebar cepat. Rumahnya habis. Saat kejadian, dia sedang kerja. Di rumah cuma istri dan anak perempuannya."

"Lalu... anaknya?" tanya Kian.

"Selamat. Tapi katanya sejak kebakaran itu, anak perempuannya trauma. Dia selalu pakai cadar. Ada desas-desus... wajahnya terbakar."

Kian mendengus, sinis.

"Desas-desus kampung," gumamnya. Ia menggeleng pelan.

"Gali lebih dalam soal Pak Hasan. Siapa saja keluarganya. Kalau perlu, dekati anaknya. Cari celah. Kita butuh tanah itu. Kalau tidak, proyek ini mati. Kita bakal rugi besar dan—"

"MAMPUS!"

Kian terkejut. Spontan ia membanting setir ke kanan.

Ponsel terlempar dari tangannya. Jantungnya nyaris copot dari dada.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

anonim

anonim

W a d u h Friska Putriana sudah di bayar tunai oleh Kian Ardhana tapi belum - sah. Ada wanita yang teriak -tidak sah - pengantin pria suami wanita tersebut. Pernikahan yang sakral berakhir berantakan karena masa lalu Kian hadir tak diundang.
Kian mengenali wanita itu - istri sirinya - ternyata masa lalu Kian belum selesai. Semua pihak sangat kecewa - Kian kamu pusatnya.

Author terima kasih dengan karya barunya, sehat selalu dan semangat berkarya🙏🏻🌹

2025-07-14

4

Dek Sri

Dek Sri

selamat kak Nara atas launching karya terbarunya sukses dan sehat selalu

2025-07-14

2

Anitha Ramto

Anitha Ramto

Yang jadi istri sirimu itu Kian anak Perempuannya Pak Hasan...yang kamu cari sudah ada di dekatmu

belum tahu alasannya Kian untuk nikahin gadis bercadar itu yang ternyata Putrinya Pak Hasan

2025-07-14

2

lihat semua
Episodes
1 1. Pilih Aku atau Masa Lalu
2 2. Pertanggungjawaban
3 3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti
4 4. Permohonan
5 5. Perjanjian Sebelum Akad
6 6. Mahar Harga Diri
7 7. Cinta yang Belum Selesai
8 8. Merasa Sendiri.
9 9. Pinangan
10 10. Kejujuran yang Terucap
11 11. Jalan yang Tertutup
12 12. Hanya Ingin Tahu
13 13. Aroma Ironi
14 14. Penjelasan
15 15. Di Pandang Rendah
16 16. Mainan di Rumah
17 17. Konflik Hati
18 18. Ruang Tak Kasat Mata
19 19. Biasa atau Sengaja?
20 20. Merasa Bersalah
21 21. Haru
22 22. Tameng Kemaksiatan
23 23. Membekas
24 24. Keresahan
25 25. Mungkinkah Itu Kanya?
26 26. Aroma dan Noda
27 27. Dua Syarat
28 28. Dua Pasang Mata
29 29. Diharamkan
30 30. Diam yang Menusuk
31 31. Uang Bulanan
32 32. Menohok
33 33. Mulai Peduli
34 34. Surat Nikah
35 35. Mengorek Luka Lama
36 36. Menawarkan
37 37. Di Ambang Pintu
38 38. Kalimat Halus Menohok
39 39. Galau
40 40. Beban Harapan
41 41. Tak Seasing Dulu
42 42. Suara Pembawa Kenangan
43 43. Harga Diri atau Cemburu?
44 44. Dalam Keheningan Malam
45 45. Memberi Peringatan
46 46. Gestur Kepemilikan
47 47. Hal Remeh tapi Penting
48 48. Berakhir Menggantung
49 49. Makin Posesif
50 50. Asing tapi Akrab
51 51. Sebelum Tergoda
52 52. Berhenti atau Berjuang?
53 53. Dimulai dengan Doa
54 54. Tanda Kesungguhan
55 55. Empat Nama
56 56. Mengawasi
57 57. Tantangan
58 58. Tetap Lanjut
59 59. Malu vs Bangga
60 60. Bukti
61 61. Kokohnya Ego
62 62. Merobek Ego
63 63. Harus Memilih
64 64. Situasi Memanas
65 65. Brutal
66 66. Bangga Sekaligus Bersalah
67 67. Hanya Menatap Satu Orang
68 68. Pengakuan
69 69. Maaf dan Terima Kasih
70 70. Hidayah
71 71. Bukan Suami Dayus
72 72. Merasa Tak Pantas
73 73. Meski Terlambat
74 74. Antara Awal dan Akhir
Episodes

Updated 74 Episodes

1
1. Pilih Aku atau Masa Lalu
2
2. Pertanggungjawaban
3
3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti
4
4. Permohonan
5
5. Perjanjian Sebelum Akad
6
6. Mahar Harga Diri
7
7. Cinta yang Belum Selesai
8
8. Merasa Sendiri.
9
9. Pinangan
10
10. Kejujuran yang Terucap
11
11. Jalan yang Tertutup
12
12. Hanya Ingin Tahu
13
13. Aroma Ironi
14
14. Penjelasan
15
15. Di Pandang Rendah
16
16. Mainan di Rumah
17
17. Konflik Hati
18
18. Ruang Tak Kasat Mata
19
19. Biasa atau Sengaja?
20
20. Merasa Bersalah
21
21. Haru
22
22. Tameng Kemaksiatan
23
23. Membekas
24
24. Keresahan
25
25. Mungkinkah Itu Kanya?
26
26. Aroma dan Noda
27
27. Dua Syarat
28
28. Dua Pasang Mata
29
29. Diharamkan
30
30. Diam yang Menusuk
31
31. Uang Bulanan
32
32. Menohok
33
33. Mulai Peduli
34
34. Surat Nikah
35
35. Mengorek Luka Lama
36
36. Menawarkan
37
37. Di Ambang Pintu
38
38. Kalimat Halus Menohok
39
39. Galau
40
40. Beban Harapan
41
41. Tak Seasing Dulu
42
42. Suara Pembawa Kenangan
43
43. Harga Diri atau Cemburu?
44
44. Dalam Keheningan Malam
45
45. Memberi Peringatan
46
46. Gestur Kepemilikan
47
47. Hal Remeh tapi Penting
48
48. Berakhir Menggantung
49
49. Makin Posesif
50
50. Asing tapi Akrab
51
51. Sebelum Tergoda
52
52. Berhenti atau Berjuang?
53
53. Dimulai dengan Doa
54
54. Tanda Kesungguhan
55
55. Empat Nama
56
56. Mengawasi
57
57. Tantangan
58
58. Tetap Lanjut
59
59. Malu vs Bangga
60
60. Bukti
61
61. Kokohnya Ego
62
62. Merobek Ego
63
63. Harus Memilih
64
64. Situasi Memanas
65
65. Brutal
66
66. Bangga Sekaligus Bersalah
67
67. Hanya Menatap Satu Orang
68
68. Pengakuan
69
69. Maaf dan Terima Kasih
70
70. Hidayah
71
71. Bukan Suami Dayus
72
72. Merasa Tak Pantas
73
73. Meski Terlambat
74
74. Antara Awal dan Akhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!