Fikri menatap Hasan sejenak. Ada kesunyian dalam mata itu, seolah ingin bertanya lebih, tapi akhirnya hanya mengangguk dan mulai menulis sesuai arahan Hasan.
Sekitar dua puluh menit kemudian, semuanya rampung. Hasan menandatangani dokumen itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Kalau aku tak sempat hadir nanti, pastikan ini berlaku,” ucapnya lirih.
Pak Fikri mengangguk. “Insya Allah, saya pastikan.”
Setelah Fikri pamit dan meninggalkan ruangan, keheningan kembali menyelimuti.
Pak Hasan bersandar pelan, napasnya pendek-pendek. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis. Sakitnya datang tiba-tiba—seperti gelombang pasang yang tak bisa ditahan. Perutnya mencengkeram, dadanya seperti ditusuk dari dalam.
Ia memejamkan mata, kedua tangan mencengkeram selimut.
“Ya Allah… beri hamba waktu...
Hanya sampai tugas ini selesai.
Sampai hamba menikahkan putri hamba...
Hanya itu. Hanya itu yang hamba minta.”
Air mata mengalir diam-diam dari sudut matanya yang terpejam.
Pintu kembali terbuka.
Seorang dokter masuk, memeriksa kondisi Hasan. Ia tak banyak bicara. Hanya menatap grafik monitor, mengangguk kecil, lalu menatap pasiennya dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan:
Iba.
“Pak Hasan, Bapak harus banyak istirahat. Kami akan pantau terus,” katanya pelan, seperti tak ingin mengganggu sisa kekuatan pria itu.
Tapi dokter itu tahu.
Syok karena kecelakaan putrinya, tekanan batin, dan penyakit yang sudah menggrogoti dalam diam—semua mempercepat keruntuhan tubuh Pak Hasan.
Setelah dokter pergi, hanya suara mesin dan tetesan infus yang jatuh satu per satu, memecah kesunyian—seperti hitungan mundur menuju keheningan yang lebih panjang.
Pak Hasan menatap langit-langit.
Malam mulai turun perlahan, seperti tirai yang ditutup perlahan dari langit.
Tapi dalam gelap itu, ia masih bertahan.
Demi satu harapan:
Mengantar putrinya sampai ke pelaminan.
***
Keesokan Harinya --- Lima Menit Sebelum Ijab Kabul
Pagi itu Kian datang dengan langkah cepat namun terkesan enggan. Setelah semalaman bergulat dengan pikirannya sendiri, ia memutuskan untuk mampir sebelum berangkat kerja. Sekadar menengok. Sekadar menunjukkan tanggung jawab.
Dia masuk ke ruang perawatan Pak Hasan lebih dulu.
Pria itu tampak lebih pucat dari terakhir kali Kian melihatnya. Tapi tatapan matanya tetap tajam. Tegas. Tak terlihat seperti seseorang yang tinggal menunggu waktu.
Kian menarik kursi, duduk di sisi kanan ranjang.
Baru saja ia membuka mulut untuk menanyakan kabar, tiba-tiba pintu diketuk dan suara salam terdengar. Seorang pria berpakaian rapi berdiri di ambang pintu.
Pak Hasan memberi isyarat lemah dengan tangan. “Masuk, Fikri.”
Fikri melangkah masuk, membawa sebuah map coklat di tangannya. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Hasan lebih dulu membuka suara—pelan tapi tegas.
“Berikan padanya.”
Fikri menunduk hormat, lalu menyerahkan map itu kepada Kian.
Kian menerimanya dengan raut curiga. Pandangannya bergantian antara map di tangannya dan wajah pucat Hasan.
“Apa ini, Pak?” tanyanya, pelan namun waspada.
"Perjanjian," jawab Pak Hasan datar. "Sebelum kamu menikahi anak saya, kamu harus membaca dan menandatanganinya."
Kian terdiam sejenak. Alisnya terangkat. Hatinya mengeras.
“Maksudnya, Bapak tidak percaya saya?”
“Saya hanya menjaga satu-satunya yang saya punya. Bacalah.”
Dengan rahang mengatup dan gerakan setengah hati, Kian membuka map tersebut. Kertas putih dengan kop notaris, tinta legal, dan tanda tangan saksi. Ia membaca.
Pasal 1:
Kian Ardhana bersedia menikahi Kanya Zahira secara sah dan diakui hukum negara, setelah Kanya cukup umur sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 2:
Kian Ardhana tidak boleh menceraikan Kanya, kecuali Kanya yang menghendakinya sendiri.
Pasal 3:
Jika Kian Ardhana melanggar salah satu dari dua poin di atas, ia wajib membayar ganti rugi senilai 100 kilogram emas batangan murni kepada ahli waris Kanya.
Kertas di tangannya terasa seperti bara.
Kertas di tangannya terasa seperti bara panas.
Matanya terpaku pada angka yang tertulis di sana.
“Seratus kilo emas…?!”
“Seratus...?! Gila!”
Kian nyaris berdiri dari kursi. Dadanya sesak, seperti baru saja dihantam palu godam.
Seratus kilogram emas batangan murni.
Nilainya... lebih dari seratus tujuh puluh lima miliar rupiah. Dan itu belum termasuk inflasi harga emas yang terus naik.
Tangannya—yang biasa menandatangani proposal-proposal bernilai ratusan miliar tanpa gentar—kini tak sanggup menahan getar saat diminta menggenggam janji seumur hidup..
“Ini bukan hanya jebakan. Ini… perangkap hidup.”
“Kalau aku tanda tangan, aku terikat selamanya. Terikat pada pernikahan kilat, tanpa cinta, tanpa persiapan—dengan seorang perempuan yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya.”
"Dan itu artinya... aku harus hidup dengan wanita yang belum tentu aku cintai.”
“Tapi kalau aku menolak… Pak Hasan akan tahu. Akan yakin. Bahwa aku hanya datang untuk tanah itu.”
Kian menunduk. Mata terpejam. Mencoba bernapas… tapi paru-parunya seolah menolak bekerja.
Detik-detik di ruangan itu terasa seperti hitungan mundur menuju ledakan.
Ia terjebak.
Dan lebih buruknya… ia tahu dia tak bisa lari.
“Sial… sialan. Ini bukan sekadar pasal perjanjian. Ini ultimatum. Ini pisau yang menempel di tenggorokanku—digenggam oleh tangan renta seorang ayah yang hampir mati, sambil menitipkan anak gadisnya padaku.”
“Dan aku? Aku terlalu jauh masuk untuk mundur. Menyerah sekarang... sama saja menginjak harga diriku sebagai seorang pria.”
Kian menunduk, menutup mata sejenak.
Napasnya dalam. Tangannya dingin.
Pak Hasan masih terbaring tenang, menatapnya—tanpa tekanan, tapi juga tanpa belas kasihan.
“Bagaimana?” Suaranya datar. Pelan.
Tapi di telinga Kian, terdengar seperti suara takdir.
Kian membuka mata. Pandangannya kabur sesaat. Lalu kembali menajam pada pena di samping map.
“Tandatangani saja dulu. Soal emas dan cerai bisa kupikir nanti. Kami dua orang asing yang menikah karena keadaan. Mungkin nanti Kanya sendiri yang minta cerai."
“Dan kalau tidak… ya, mungkin aku bisa membiasakan diri.”
Tangannya meraih pena. Sedikit gemetar. Tapi mantap.
Satu tarikan pena. Satu tanda tangan.
Pak Hasan mengangguk pelan.
“Kalau begitu…” katanya.
“…mari kita mulai akadnya.”
Kian mendongak. “Apa?!”
Pak Hasan menoleh ke jam di dinding. “Hari ini Jumat. Waktu yang baik untuk memulai sesuatu yang baik.”
Detak jam terdengar makin keras di telinga Kian.
“Sekarang? Akad? Beneran?!”
“Aku belum siap. Aku bahkan belum memikirkan baju. Belum bicara dengan Kanya. Belum—”
“Sial… ini bukan cuma terlalu cepat. Ini seperti diseret ke meja akad sambil ditodong pisau tak kasat mata.”
“Gila. Seumur hidupku, belum pernah aku merasa sebegitu tak berdaya di hadapan keputusan orang lain—yang harus kutanggung seumur hidup.”
Kian menelan ludah. Berat. Sangat berat.
Hasan lalu berkata tenang, tak memberi ruang untuk penolakan, “Ayo, kita ke kamar Kanya. Akad akan dilangsungkan di sana.”
Kian berdiri perlahan. Langkahnya terasa seperti menuju tiang gantungan.
“Oke. Tarik napas. Tatap ke depan. Ini bukan akhir dunia. Ini... hanya awal dari kekacauan.”
Tapi di balik kekacauan itu… ada satu hal yang tak ia sadari.
Bahwa cinta bisa datang bukan dari pilihan... tapi dari keterpaksaan yang dihadapi bersama.
Tak lama kemudian mereka tiba di depan ruang rawat Kanya. Ruangan itu sudah disulap menjadi tempat akad sederhana. Taplak putih gading menutupi meja kecil di tengah ruangan, tempat penghulu duduk dengan kitab suci di pangkuannya. Di sekeliling mereka, beberapa perawat dan seorang dokter berdiri menjadi saksi.
Tak ada bunga. Tak ada pelaminan. Hanya detak jam di dinding dan bunyi alat medis yang mengisi kekosongan.
Pintu terbuka.
Seorang suster mendorong kursi roda masuk perlahan. Pak Hasan duduk bersandar di sana. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat. Tapi ada sorot terang di matanya—cahaya terakhir dari seorang ayah yang akan menyerahkan putrinya.
Kanya duduk di atas brankar. Tubuhnya tegak tapi kaku. Jemarinya mengepal erat di atas pangkuan, seolah mencoba mencengkeram keteguhan yang tersisa. Mata terpejam, dan napasnya… pelan, tapi berat.
Kian berdiri membeku di dekat pintu, terdiam.
“Sial.”
“Pria ini… benar-benar sudah mempersiapkan semuanya.”
Ia berjalan perlahan, lalu duduk berhadapan dengan penghulu. Meja kecil menjadi jarak antara keraguan dan keputusan.
Dokter dan perawat berdiri di sisi kiri dan kanan, menunduk dengan hormat.
Pak Hasan duduk di samping penghulu, tubuhnya tampak lemah tapi sorot matanya tetap tajam—seolah memastikan bahwa akad ini berjalan tanpa cela, sebagai warisan terakhirnya untuk sang putri.
Kian duduk tenang.
Setidaknya di permukaan.
“Setelah ini selesai… tidak ada jalan mundur.”
“Awalnya aku kira ini hanya formalitas. Aku tetap bisa kendalikan semuanya. Tapi kenapa sekarang… seperti aku yang dikendalikan?”
“Aku memang ingin jadi CEO… tapi ini bukan bagian dari rencanaku.”
Namun sepertinya Tuhan belum puas menampar kesombongannya—seolah membalas niat yang sejak awal dibangun bukan di atas ketulusan, melainkan perhitungan.
“Maaf,” suara penghulu memecah sunyi. “Mas kawinnya apa, Saudara Kian?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
anonim
nah benar sepertinya Tuhan belum puas menampar kesombongan Kian - semesta merestui - terjebak sendiri kau Kian dengan kalkulasimu - menikah dengan suatu perjanjian yang di buat oleh calon mertuanya - untuk melindungi putrinya yang mungkin tak berdaya menghadapi pikiran licik Kian
2025-07-16
3
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
apa aku yg terlalu cepat baca Atau kurang panjang epesod kali ini
2025-07-16
2
Anitha Ramto
Nah itu balasan untuk orang sombong dan terlalu ambisi..kamu tidak akan bisa lari dari kenyataan ini...itu takdirmu Kian harus nikah dengan Kanya yang belum tau wajahnya
2025-07-16
2