NovelToon NovelToon

BATAL SEBELUM SAH

1. Pilih Aku atau Masa Lalu

Gaun putih panjang menjuntai. Lampu kristal menggantung anggun di langit-langit. Harum bunga segar memenuhi aula yang didekorasi laksana istana.

Semua mata tertuju pada Kian Ardhana—pria yang dikenal sebagai bujangan paling sempurna: tampan, mapan, dan nyaris tak bercela.

Di sebelahnya, Friska Putriana duduk anggun dalam balutan gaun pengantin putih. Mata wanita itu berbinar, seolah tak sabar menanti takdir baru mereka.

Kian menjabat tangan penghulu, bibirnya mantap melafalkan ijab kabul:

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Friska Putriana binti Broto Kusumo dengan mas kawin berupa satu set perhiasan berlian, dibayar tunai..."

Ruangan mendadak senyap.

Satu detik...

Dua detik...

Tinggal menunggu satu kata dari penghulu—"Sah."

Namun sebelum suara sakral itu terucap—

"TIDAK SAH! DIA SUDAH JADI SUAMIKU!"

Teriakan itu membelah keheningan seperti belati.

Semua kepala sontak menoleh.

Seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri di ambang pintu. Cadar menutupi wajahnya. Langkahnya pincang, tapi sorot matanya menyala tajam dari balik kerudung—membawa luka, kecewa, dan kebenaran yang siap mengguncang.

Detik itu juga, mimpi indah berubah menjadi mimpi buruk.

Kian membeku.

Meski wajah wanita itu tersembunyi di balik cadar, Kian tak butuh melihat lebih jauh. Langkah pincangnya... cukup untuk membuat darahnya berhenti mengalir. Hatinya mencelos. Ia tahu persis siapa wanita itu.

Friska menatap wanita bercadar itu, lalu menoleh ke arah Kian. Matanya penuh tanya, hatinya mulai berdebar tak karuan.

Penghulu terdiam.

Para tamu mulai berbisik... ketegangan memenuhi ruangan.

Broto, ayah Friska, langsung berdiri dari kursinya. Wajahnya tegang, matanya menajam ke arah Kian. Suaranya parau ketika bertanya, "Apa maksud semua ini?"

Ibu Friska memekik pelan, menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Ia menatap putrinya dengan air mata menggantung, seolah tak percaya pernikahan putrinya berubah menjadi skandal di depan semua orang.

Ibu Kian menoleh cepat ke arah suaminya. Wajahnya memang tertutup, tapi sorot matanya gelisah di balik cadar. Tangan kirinya mencengkeram tas kecil di pangkuan, sementara tangan kanannya menggenggam lengan kursi erat-erat.

"Itu… wanita itu—apa benar dia… istri Kian?" Suaranya lirih, nyaris patah, memadukan marah, malu, dan terpukul dalam satu helaan napas.

Ayah Kian hanya menunduk sesaat, matanya perlahan naik ke arah Kian. Wajahnya keras, namun sorot kecewa tak bisa disembunyikan.

"Kian..." Friska berbisik, suaranya nyaris tercekat.

"Siapa dia? Istrimu? Mantanmu? Atau cuma orang yang ingin merusak pernikahan kita?"

Wanita bercadar itu melangkah maju, perlahan tapi pasti, mendekati meja akad.

Suara dinginnya terdengar jelas—menusuk jantung semua yang hadir:

"Sebelum kau sah menjadi milik orang lain, Kian Ardhana... jawab dulu satu hal.

Apa kau sudah menceraikanku?"

Kian diam. Wajahnya pucat. Tenggorokannya tercekat.

Semua mata kini tertuju padanya—orang tuanya, Friska, orang tua Friska, para tamu, semua menunggu satu hal: jawaban.

Ayah Kian akhirnya bersuara, suaranya berat, dalam, penuh tekanan.

"Kian Ardhana… jawab ayahmu. Siapa wanita itu? Benarkah... dia istrimu?"

Beberapa detik sunyi mencekam... lalu Kian akhirnya membuka suara, lirih—nyaris tak terdengar:

“Dia... istri siriku.”

Kedua orang tua Kian saling menatap—diam, namun jelas terpancar kekecewaan yang dalam dari sorot mata mereka. Seolah mereka menyaksikan impian yang dibangun bertahun-tahun hancur dalam satu kalimat.

Ayah Friska, Broto, mengatupkan rahangnya. Napasnya berat. Tangan kanannya mengepal erat di sisi tubuh, seolah menahan amarah yang nyaris meledak.

Di sampingnya, ibu Friska tak mampu berkata-kata. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi, menggambarkan luka seorang ibu yang tak sanggup melihat putrinya dilukai.

Friska menatap Kian tanpa berkedip, dadanya sesak, wajahnya kaku menahan gemuruh rasa yang tak bisa ia jelaskan. Kata-kata Kian menggema dalam benaknya, menampar lebih keras dari tamparan apa pun. Harapan di matanya perlahan retak, satu demi satu.

"Kau mencintainya?" tanyanya, nyaris berbisik, namun suaranya menggema di seisi ruangan yang mendadak hening.

Kian menoleh perlahan ke arahnya. Mata mereka bertemu.

Lalu, ia menggeleng.

Friska menarik napas panjang. Matanya berair. Tapi ia menegakkan tubuhnya, seperti ingin menunjukkan bahwa ia masih punya harga diri, meski hatinya sudah hancur berkeping.

"Kalau begitu..." suaranya mulai bergetar, "ceraikan dia. Sekarang. Di sini. Di depan semua orang."

Desakan itu menggema di dalam aula.

Semua tamu menatap Kian.

Penghulu menunduk, tak sanggup ikut campur.

Orang tua mereka diam membatu.

Wanita bercadar berdiri tegak, wajahnya tak terlihat, namun sorot matanya jelas menyiratkan luka yang belum sembuh.

Friska mengatupkan rahangnya, air mata jatuh satu-satu di pipi, namun ia tak menyekanya. Ia menunggu, berharap pria yang hampir jadi suaminya memilihnya.

Tapi Kian…

Diam.

Dunia seolah membeku.

Keringat dingin membasahi pelipisnya. Suara napas para tamu pun terdengar nyaring dalam diam yang menyiksa.

Kian menunduk. Bibirnya bergetar. Matanya perlahan berkaca-kaca, tapi suaranya tetap hilang entah ke mana.

Friska menatapnya, sadar… pria itu tak akan memilihnya.

Ia tersenyum getir, berdiri perlahan di depan semua tamu yang masih terpaku diam.

Matanya basah, tapi suaranya tegas.

"Ambil dia... kalau memang dia milikmu sejak dulu."

Suara Friska lirih, nyaris tenggelam dalam isak yang ia tahan mati-matian.

Ia menatap wanita bercadar itu, tanpa kebencian, hanya luka yang tak bisa dijelaskan.

"Tapi satu hal, Nyonya..." Friska menarik napas, suaranya mulai gemetar, "Jangan bangga karena dia tetap tinggal di sisimu. Banggalah kalau dia mencintaimu. Karena ternyata... dia tak mencintai siapa pun."

Ia pun berbalik.

Langkahnya terasa berat. Gaun pengantinnya yang putih menjuntai di lantai marmer, menyeret serpihan mimpi yang runtuh. Air matanya membasahi lantai, jejak diam-diam dari hati yang ditinggalkan.

Dari deretan kursi tamu, ibu Friska berdiri terburu-buru. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia segera menyusul putrinya, menggenggam ujung gaun Friska seperti mencoba menahan luka yang tak bisa dihentikan.

Kian tiba-tiba berdiri. "Friska...aku bisa jelaskan--"

“Cukup!” suara berat Broto akhirnya meledak, menggelegar memecah suasana beku.

Semua orang tersentak. Friska menghentikan langkahnya, namun tak menoleh.

Broto berdiri dari kursinya, matanya menatap Kian tajam seperti panah yang siap menancap.

“Kau mempermainkan putriku, Kian Ardhana. Di depan semua orang. Di hari suci pernikahan kalian.”

Ia menoleh pada penghulu, orang tua Kian, lalu pada para tamu. Suaranya lantang, tanpa gentar.

“Pernikahan ini batal. Aku tidak akan menyerahkan anakku pada pria yang bahkan tak bisa memilih dengan keberanian.”

Ia kemudian menatap Friska, lembut. “Ayo, Nak. Tak ada yang perlu kau sesali. Kau bukan kehilangan suami... kau diselamatkan dari orang yang tak pantas.”

Friska menahan isak, dan kali ini ia benar-benar menangis. Tapi ia mengangguk—pelan, rapuh, namun pasti.

Kian terdiam. Tak ada kata yang pantas. Tak ada penjelasan yang bisa menyembuhkan luka yang ia ciptakan sendiri.

Dan wanita bercadar itu hanya berdiri di tempatnya.

Tak mengejar siapa pun.

Tak menatap siapa-siapa.

Karena hari itu, bukan soal siapa yang dipilih…

Tapi siapa yang terluka paling dalam.

***

Dua Tahun Lalu

Langit Kalimantan sore itu menguning keemasan, membakar cakrawala dengan cahaya hangat yang menggantung di pucuk-pucuk pohon. Jalan tanah memanjang di antara sawah yang mulai mengering, membelah pedesaan dalam diam yang damai.

Sebuah mobil hitam melaju mulus, menebas kesunyian dengan deru mesinnya.

Di dalamnya, Kian Ardhana duduk gelisah. Tangan kirinya mencengkeram setir, sedangkan tangan kanannya memegang ponsel di telinga. Wajahnya kusut, penuh kekesalan.

"Dia tetap menolak? Bahkan setelah kita naikkan harga dua kali lipat?"

Suara anak buahnya terdengar dari seberang.

"Iya, Tuan. Pak Hasan bilang, tanah itu peninggalan leluhurnya. Tak bisa diukur dengan uang, katanya."

Kian mengumpat pelan. “Orang-orang seperti itu... lebih memilih nostalgia ketimbang masa depan.”

Tut. Ia mengakhiri panggilan dengan kasar.

Matanya menatap keluar jendela, menelusuri barisan pohon yang meliuk di tepian jalan. Tapi pikirannya tertinggal di tanah yang gagal ia beli—tanah paling strategis untuk proyek resort mewah terbesar yang akan jadi wajah ibu kota baru.

Ia menatap ponsel lagi, menelepon anak buah lainnya.

"Cari informasi soal Pak Hasan. Semua yang berhubungan dengannya."

Suara di seberang menjawab cepat, "Sudah, Tuan. Dia menduda sejak tiga tahun lalu. Istrinya meninggal dalam kebakaran. Api dari ledakan tabung gas tetangga menyebar cepat. Rumahnya habis. Saat kejadian, dia sedang kerja. Di rumah cuma istri dan anak perempuannya."

"Lalu... anaknya?" tanya Kian.

"Selamat. Tapi katanya sejak kebakaran itu, anak perempuannya trauma. Dia selalu pakai cadar. Ada desas-desus... wajahnya terbakar."

Kian mendengus, sinis.

"Desas-desus kampung," gumamnya. Ia menggeleng pelan.

"Gali lebih dalam soal Pak Hasan. Siapa saja keluarganya. Kalau perlu, dekati anaknya. Cari celah. Kita butuh tanah itu. Kalau tidak, proyek ini mati. Kita bakal rugi besar dan—"

"MAMPUS!"

Kian terkejut. Spontan ia membanting setir ke kanan.

Ponsel terlempar dari tangannya. Jantungnya nyaris copot dari dada.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

2. Pertanggungjawaban

Kian terkejut, spontan membanting setir ke kanan. Ponsel terlempar dari tangan. Jantung Kian nyaris copot dari dada.

Seekor kambing meloncat dari semak-semak.

Menyeberang jalan seenaknya, seperti raja kecil tak tahu takut.

Mobil oleng.

Kian berhasil menghindari kambing… tapi terlambat menyadari ada seseorang di jalan.

Brak!

Sosok tubuh itu terpental ke pinggir jalan, jatuh menghantam tanah kering.

Kian mengerem mendadak. Suara gesekan ban menggema di antara gemuruh jantungnya.

Ia membeku sesaat.

Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu dan turun. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Tak jauh di depan, seorang gadis tergeletak di tanah berumput. Pakaian serba hitam. Wajahnya tak terlihat jelas karena tertutup cadar. Dan darah mengalir di kakinya.

"ASTAGA!" Kian langsung berlari.

"Nona! Dengar aku? Kamu dengar aku?!"

Gadis itu menggeliat pelan, menahan sakit. Napasnya terdengar berat.

Kian bersimpuh di sampingnya, panik.

"Aku... aku nggak sengaja. Aku sumpah nggak lihat kamu! Aku... kambing itu..."

Gadis itu mencoba bicara, tapi hanya mengerang lirih.

Tubuhnya tergeletak lemah. Napasnya tersengal, namun matanya masih terbuka samar.

Kian berjongkok di sisinya, panik.

“Aku akan membawamu ke rumah sakit, sekarang juga—”

Namun ketika tangannya hendak menyentuh tubuh gadis itu, suara lirih menahannya.

“Jangan…” ucapnya lemah, tapi tegas.

“Kita bukan muhrim…”

Kian terhenti. Matanya menatap penuh kebingungan.

“Kamu terluka! Kaki kamu mungkin patah! Aku—aku cuma ingin menolong!”

Gadis itu mencoba menggeser tubuhnya menjauh, menahan nyeri, menegakkan prinsip meski tubuhnya nyaris tak sanggup bergerak.

“Tolong… jangan sentuh aku…” bisiknya lagi.

Dan sesaat setelah itu—

Gadis itu jatuh pingsan.

Kian membeku. Lalu, tanpa pikir panjang, ia memeluk tubuh itu, mengangkatnya dalam gendongan.

“Maaf…” bisiknya pelan, “tapi kamu harus diselamatkan.”

Mobilnya melesat menuju rumah sakit terdekat. Di dalam hatinya, ia tak tahu apa yang tengah ia rasakan. Panik, bersalah, tapi juga... entah kenapa, ia ingin memastikan gadis itu selamat.

Dan hari itulah—

Hari ketika hidup Kian Ardhana berubah arah.

Hari ketika ambisinya bertabrakan dengan takdir.

Ketika cintanya pada Friska mulai goyah...

...karena seorang gadis asing yang seharusnya tak pernah masuk dalam rencananya.

Seorang gadis bercadar...

Yang wajahnya tak pernah ia lihat.

Sejak hari itu, di jalan sunyi pedesaan Kalimantan,

bayangan gadis bercadar itu... tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.

***

Di Rumah Sakit

Kian mondar-mandir di lorong rumah sakit. Tangannya masih bergetar, pikirannya kalut. Nama gadis itu baru saja ia dengar dari suster: Kanya Zahira.

Belum sempat ia menenangkan diri, suara langkah tergesa terdengar dari ujung lorong.

Seorang pria paruh baya berjalan cepat mendekat. Tubuhnya tinggi namun mulai tampak menyusut—pundaknya agak membungkuk, wajahnya tirus dan pucat. Sorot matanya tajam, tapi kelelahan jelas tergambar di sana.

Meski langkahnya tergesa, napasnya sedikit memburu, seolah tubuhnya memikul beban yang lebih berat dari sekadar kekhawatiran. Ia langsung menghampiri suster di meja jaga, suaranya parau tapi mendesak.

“Putri saya. Di mana Kanya Zahira?” tanyanya dengan nada terburu dan berat.

Kian menoleh—dan terbelalak.

Ia mengenal pria itu.

Pak Hasan.

Pemilik tanah terakhir yang menolak menjual lahannya untuk pembangunan resort milik perusahaan Kian. Tanah yang terletak tepat di jantung proyek—tanah yang membuat desain besar mereka terancam gagal total.

Suster menunjuk ke arahnya, sambil menjelaskan singkat siapa yang membawa Kanya ke rumah sakit.

Pak Hasan pun menoleh mengikuti arah tunjuk itu.

Saat matanya menangkap wajah pria di ujung lorong, sorot syok dan curiga langsung mengeras dalam tatapannya.

“Kian Ardhana?” Suaranya menggema pelan, namun tajam.

“Kau yang membuat anakku seperti ini?”

Kian mengumpat dalam hati. Rasanya seperti ditampar kenyataan.

Suasana lorong rumah sakit mendadak membeku.

Kian menunduk sedikit, mencoba menjaga ketenangannya, lalu menjawab pelan, “Saya tidak sengaja… saya bahkan tak tahu kalau dia—putri Anda.”

Pak Hasan melangkah maju. Tatapannya menusuk, penuh kecurigaan dan amarah yang ditahan.

“Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Setelah semua tekananmu agar kami menjual tanah? Lalu sekarang, putriku hampir mati... ditabrak olehmu?”

Kian menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.

“Saya... tidak punya maksud jahat, Pak. Saya hanya ingin menolong.”

Namun dari sorot mata Pak Hasan, Kian tahu—kepercayaan bukan sesuatu yang mudah diminta, apalagi dari pria seperti dia. Keras kepala, penuh prinsip, dan jelas tidak akan membiarkan ini berlalu tanpa perhitungan.

"Shiit! Kali ini aku benar-benar mampus!" Firasat buruk merambat di dada Kian, seperti kabut tebal yang enggan hilang.

*

Beberapa jam berlalu sejak Kanya masuk UGD. Lorong rumah sakit mulai lengang. Tak ada suara selain detak jarum jam di dinding—terdengar seperti dentuman palu yang menggedor ketegangan.

Kian duduk di bangku tunggu, punggung membungkuk, wajah ditutupi kedua tangan. Entah sudah berapa kali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang terus menggerogoti pikirannya.

Sementara itu, Pak Hasan berdiri di sudut ruangan, diam dan kaku. Punggungnya bersandar pada dinding, bukan hanya karena lelah menunggu—tapi karena tubuhnya memang mulai sulit menopang beban hidup yang terlalu berat. Wajahnya masih tampak tegas, tapi lebih tirus dari seharusnya. Sorot matanya menyimpan badai yang belum meledak—perpaduan antara cemas, marah, dan rasa tak berdaya yang terpendam dalam diam.

Hingga akhirnya—

Pintu ruang UGD terbuka.

Seorang dokter keluar. Wajahnya lelah, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat waktu seakan berhenti.

“Dok… bagaimana kondisi anak saya?” tanya Pak Hasan cepat, nadanya genting.

Dokter menghela napas panjang, seperti berusaha meredam berita buruk yang akan disampaikan.

“Kanya mengalami patah tulang cukup parah. Beberapa jaringan di kakinya rusak permanen. Kami telah memasang pen untuk penahan dan stabilisasi. Tapi…”

Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, pelan tapi tegas:

“…meskipun ia selamat, kami tidak bisa menjanjikan dia akan berjalan normal lagi. Bahkan dengan fisioterapi intensif sekalipun… kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan sebagian. Permanen.”

“Cacat…?” suara Pak Hasan tercekat, nyaris tak terdengar.

Dokter mengangguk perlahan.

“Ya. Putri Anda kemungkinan akan pincang seumur hidup.”

Dunia runtuh.

Pak Hasan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Matanya memerah, tapi tak setetes pun air mata jatuh. Yang ada hanya luka—diam, dalam, terlalu perih untuk ditangisi.

Lalu, ia menoleh.

Menatap Kian dengan sorot mata membara.

“Kamu,” ucapnya pelan—tapi tajam, seperti sembilu yang menusuk tanpa darah.

“Ini semua… karenamu.”

Dokter memilih angkat kaki, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara. Ia tahu kapan harus mundur dari urusan yang tak berkaitan dengan medis.

Kian menatap balik, tubuhnya menegang. “Saya… saya benar-benar minta maaf. Ini tidak sengaja. Saya bahkan yang membawanya ke rumah sakit. Saya akan menanggung seluruh biaya perawatannya, Pak.”

Namun kata-katanya hanya menambah bara di mata Pak Hasan.

“Kau pikir cukup dengan itu?” suaranya naik, dingin tapi bergetar. “Minta maaf, bayar rumah sakit, lalu pergi? Lalu hidupmu kembali nyaman seperti biasa?”

Kian membuka mulut, mencoba menjelaskan.

“Pak, saya tak sengaja. Saya bahkan menolongnya…”

“Tanggung jawabmu…” Pak Hasan memotong, nadanya semakin dingin, “…tak cukup hanya dengan kata maaf dan uang. Putriku… mungkin akan kesulitan menikah. Dia akan dicemooh. Lalu siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan melindunginya?!”

Seketika, ruangan itu tenggelam dalam keheningan.

Kian tak bisa menjawab. Ia tak punya jawaban—karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya…

…ia kehilangan arah.

Dan di tengah badai emosi itu—

Sebuah ide gila melintas di kepala Kian.

"Kalau begitu..." ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.

“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”

Pak Hasan menatapnya tajam.

“Apa maksudmu?”

“Saya akan menikahinya, Pak.”

Nada suara Kian terdengar bulat, meski dadanya bergetar hebat.

“Kalau itu bisa menebus semua kesalahan saya, saya bersedia menjadi suaminya.”

Dan begitu kalimat itu keluar, sebuah desir aneh bergetar di dada Kian.

Bukan karena cinta.

Bukan karena belas kasihan.

Tapi karena satu hal tersembunyi: tanah.

Tanah milik Pak Hasan—yang selama ini tak tersentuh, kini tiba-tiba terasa mungkin digenggam. Melalui jalan yang tak pernah ia bayangkan: pernikahan.

Namun Kian tahu satu hal—

Sekali kalimat itu terucap, ia tak bisa menariknya kembali.

Dan dari balik tirai UGD, Kanya tak sadar…

…bahwa hidupnya akan berubah.

Dalam sebuah pernikahan yang lahir dari luka.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti

Pak Hasan masih berdiri di tempat yang sama. Matanya menatap kosong menembus dinding putih rumah sakit.

Kata-kata Kian terus bergema dalam benaknya:

“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”

Sekilas terdengar seperti jawaban dari seorang pria terhormat.

Tapi Pak Hasan tahu, ketulusan bukan sesuatu yang bisa diukur dari kata-kata.

Terlebih, ia tahu siapa Kian Ardhana.

Pria muda ambisius.

Beberapa kali datang menawar tanah warisan keluarga—tanah yang ia jaga seperti darah sendiri.

Dan sekarang, pria itu ingin menikahi anaknya?

Ia mengepalkan tangan.

"Apakah ini kebetulan… atau jebakan?"

Ia menoleh perlahan, menatap Kian lama. Tatapannya tak lagi semarah sebelumnya, tapi keraguan membayang dalam diamnya.

“Anakku…” gumamnya lirih, “…masih sekolah. Masih mondok. Satu semester lagi baru lulus. Usianya baru genap tujuh belas. Belum cukup untuk menikah.”

Pak Hasan menatapnya lebih lama.

Diam.

Sunyi menggantung di antara mereka.

Dan entah kenapa...

...meski hatinya penuh keraguan, meski insting ayahnya menjerit waspada…

Ia tahu, ia tak punya banyak pilihan.

Kian terdiam.

Matanya menatap pria itu dalam-dalam—berusaha menyampaikan kesungguhan, meski dalam hatinya, ada tekanan yang tak bisa ia abaikan.

"Baru tujuh belas… berarti hanya bisa menikah siri. Itu cukup untuk sekarang. Yang penting, aku bisa membuktikan tanggung jawabku—dan mungkin… mendapatkan persetujuan atas tanah itu."

"Jika resort itu berdiri sesuai rencana, Papa pasti menepati janjinya. Aku akan naik sebagai CEO."

Ia mengangguk pelan. “Tak masalah, Pak. Jika itu yang harus saya lakukan, saya akan tetap menikahinya. Sebagai bentuk tanggung jawab saya.”

Pak Hasan memandangi wajah Kian, mencari-cari ketulusan di balik ambisi. Ada sesuatu dalam mata pemuda itu yang meyakinkan—meski sebagian hatinya masih belum bisa percaya sepenuhnya.

Namun detik berikutnya, pikirannya kembali disergap oleh kenyataan yang lebih pahit…

Kanker.

Pankreasnya. Stadium akhir.

Sudah sebulan sejak ia diam-diam menerima vonis itu.

Semula ia hanya merasa cepat lelah, berat badan turun drastis, dan perutnya sering nyeri tanpa sebab. Ia pikir hanya masuk angin atau maag. Tapi dokter mengatakan lain—dengan tatapan sendu dan kalimat pelan yang menghantam jantung:

“Peluang hidup Bapak... sangat kecil.”

Penyakit itu datang diam-diam. Tanpa gejala berarti. Dan saat muncul... sudah terlambat.

Secara fisik, ia masih tampak kuat. Tapi ia tahu pasti—waktu untuknya… tak banyak.

Dan Kanya...

Gadis kecilnya itu tak tahu apa-apa.

Tak tahu bahwa ayahnya tengah diam-diam mempersiapkan kematian. Bahwa setiap langkah Pak Hasan kini dipenuhi perhitungan: berapa lama lagi ia bisa melihat mentari? Berapa malam lagi ia bisa menatap bulan bersama putrinya?

Dan sekarang… kaki Kanya akan cacat.

Ia tak punya siapa-siapa lagi.

Tak ada istri. Tak ada saudara. Tak ada keluarga dekat.

Siapa yang akan menjaga Kanya jika ia tiada?

Siapa yang akan melindungi gadis suci yang bahkan menolak disentuh meski tubuhnya sekarat?

Air mata menggantung di ujung matanya. Tak jatuh, tapi cukup untuk membuat pandangannya bergetar.

Ia menatap Kian. Tajam, dalam.

Berusaha membaca isi hati pemuda itu.

Kian tak menghindar. Ia tatap balik, tenang.

Namun di dalam pikirannya, badai kecil menggelora:

"Menikahinya… bisa membuat Pak Hasan luluh. Mungkin… tanah itu akan berpindah tangan tanpa konflik. Resort bisa dibangun sesuai rencana. Posisi CEO pun ada di depan mata."

"Tapi... Kanya. Dia terlalu muda. Masih sekolah. Aku bahkan belum tahu seperti apa wajah dan sifatnya."

"Dan Friska… tetap wanita yang aku cinta."

"Namun, jika ini satu-satunya jalan untuk menebus kesalahan… dan membuktikan tanggung jawabku…"

Ia menunduk sedikit, memasang ekspresi paling tulus yang bisa ia buat.

“Saya akan menjaga Kanya seumur hidup saya, Pak. Percayalah.”

Suara itu tenang. Dalam. Meyakinkan.

Pak Hasan menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesak yang menggunung di dadanya.

Ia menatap anak muda di hadapannya.

Lelaki yang—suka atau tidak—mungkin akan menjadi suami satu-satunya orang yang akan ia tinggalkan di dunia ini.

"Kalau aku mati, setidaknya… ada yang menjaganya."

Kalimat itu hanya menggema dalam batin. Tak sempat menjadi suara.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, namun cukup tegas untuk mengguncang ruang yang sunyi itu.

Kian mengangkat kepala. Sedikit terkejut.

“Aku terima lamaranmu,” lanjut Hasan. “Jaga putriku dengan baik.”

Kian mengangguk pelan, menyesap ucapan itu seperti angin kemenangan—padahal dalam benaknya, ia hanya ingin satu hal: menyelesaikan semuanya secepat mungkin.

Tapi Pak Hasan belum selesai.

“Dan dengar baik-baik. Jangan pernah kau sakiti dia—secara fisik, atau batin.”

Wajahnya tetap tenang. Suaranya datar. Tapi yang meluncur dari bibirnya terasa seperti belati dingin yang pernah mencicipi darah.

“Kalau kau menyakitinya… hidupmu tak akan tenang. Bahkan kalau aku sudah tak ada.”

Kian menelan ludah.

Entah kenapa, meski ia merasa sudah ‘menang’, ada sesuatu dari tatapan pria itu yang menyusup ke dadanya… membuat ia menggigil.

Dan mungkin—untuk pertama kalinya—ia sadar:

Ia baru saja menjual nuraninya demi sebidang tanah.

Dan di balik tirai ruang UGD, Kanya masih tak tahu apa pun.

Tak tahu bahwa masa depannya telah dipertaruhkan dalam satu kalimat...

…oleh ayah yang sangat mencintainya,

…dan lelaki yang hanya menjadikannya jalan menuju tanah.

***

Lorong Rumah Sakit – Pagi Hari

Lorong rumah sakit masih sunyi. Lampu putih pucat menyinari lantai mengilap. Bau disinfektan tajam menguar, menyusup pelan ke dalam jaket Kian.

Ia berdiri di depan ruang perawatan Kanya. Tak masuk. Hanya menatap dari kejauhan.

"Apa keputusanku benar? Menikahi gadis asing yang bahkan tak kulihat wajahnya… hanya demi sebidang tanah?"

Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya.

Dari kaca kecil di pintu, ia melihat Kanya tertidur. Tenang. Sebelah kakinya dibebat perban, selang infus menggantung diam di samping ranjang. Wajahnya tetap tertutup cadar—menyisakan mata yang terpejam, seolah menyembunyikan segalanya, bahkan luka.

Sementara di bangku lorong, tak jauh dari pintu…

Pak Hasan tertidur dalam posisi duduk. Tubuhnya condong ke depan. Napasnya terdengar pendek dan berat. Wajahnya lebih pucat dari semalam. Keringat dingin merembes di pelipis.

Kian baru hendak berbalik untuk membeli kopi—sekadar meredakan sesak di dada—saat suara berat menghentikan langkahnya.

Brugh!

Tubuh Pak Hasan limbung. Jatuh ke lantai dengan suara mengejutkan.

Kian refleks menoleh cepat.

"Astagaa!" serunya panik. Ia berlari mendekat, lututnya nyaris tergelincir saat menjangkau tubuh Pak Hasan yang tergeletak tak sadarkan diri.

"Suster! Dokter! Tolong!"

Suaranya menggema di lorong yang semula sunyi.

Detik berikutnya, pintu-pintu terbuka. Langkah-langkah cepat berdatangan.

UGD – Beberapa Menit Kemudian

Kian mondar-mandir di depan ruang UGD. Rahangnya mengeras. Tangan gemetar saat ia mencoba menelepon seseorang, lalu membatalkannya. Matanya berulang kali melirik pintu.

Seorang dokter keluar. Usianya empat puluhan, mengenakan jas putih dan wajah penuh empati.

"Keluarga Pak Hasan?"

Kian mengangguk reflek. “Saya... yang mengantarkannya.”

Dokter menghela napas. “Beliau terkena syok hipoglikemik dan kelelahan berat. Tapi bukan itu intinya.”

Ia menatap Kian. Lama. Dalam.

“Pak Hasan mengidap kanker pankreas stadium empat. Sudah menyebar. Kami menduga... beliau sudah tahu, tapi tidak melakukan pengobatan lanjut.”

Kian tercekat.

“Kanker?”

“Maaf, tapi... waktunya tak banyak.”

Suara dokter menggantung di udara, lalu hilang ditelan denting alat medis.

Kian berdiri mematung.

Kata ‘kanker’ itu seperti batu es jatuh ke dadanya.

Tiba-tiba semua menjadi lambat:

Senyuman tipis Pak Hasan tadi malam.

Tatapan kosongnya ke dinding.

Kalimat lirih: "Anakku... baru tujuh belas."

Kian berjalan pelan, kembali ke lorong tempat Pak Hasan tadi tumbang. Ia duduk di bangku dingin. Telinganya masih berdenyut.

Tangannya terkepal. Wajah menunduk. Mata menatap sepatu kulitnya yang mengilap—kontras dengan lantai rumah sakit yang suram.

“Jadi… dia tahu dia akan mati, tapi masih sempat menerimaku sebagai menantu?”

Kian menunduk.

“Bukan karena percaya padaku… tapi karena waktu tak memihaknya.

Ia mengusap wajah. Gertakan dari dalam hati datang bertubi:

“Apa yang kau lakukan, Kian?”

“Kau melamar anak orang demi sebidang tanah.”

“Dan dia... mungkin hanya ingin memastikan putrinya tak sendirian ketika ajal datang."

Satu tarikan napas panjang.

Kian menengadah. Mata menyipit menahan cahaya lampu di atas.

Bukan rasa bersalah sepenuhnya. Tapi ada sesuatu yang retak.

Ambisi itu kini berbenturan dengan sesuatu yang lebih dalam:

...rasa kemanusiaan.

...rasa tanggung jawab.

...atau mungkin, sekadar sisa-sisa nurani yang belum mati.

Di ruangan seberang, Kanya masih tertidur. Tak tahu bahwa ayahnya sedang berjuang di UGD. Tak tahu bahwa pria yang melamarnya tengah dihantui rasa yang belum ia kenal:

Penyesalan. Dan rasa takut... akan pilihan yang telah ia buat.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!