Kian terkejut, spontan membanting setir ke kanan. Ponsel terlempar dari tangan. Jantung Kian nyaris copot dari dada.
Seekor kambing meloncat dari semak-semak.
Menyeberang jalan seenaknya, seperti raja kecil tak tahu takut.
Mobil oleng.
Kian berhasil menghindari kambing… tapi terlambat menyadari ada seseorang di jalan.
Brak!
Sosok tubuh itu terpental ke pinggir jalan, jatuh menghantam tanah kering.
Kian mengerem mendadak. Suara gesekan ban menggema di antara gemuruh jantungnya.
Ia membeku sesaat.
Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu dan turun. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
Tak jauh di depan, seorang gadis tergeletak di tanah berumput. Pakaian serba hitam. Wajahnya tak terlihat jelas karena tertutup cadar. Dan darah mengalir di kakinya.
"ASTAGA!" Kian langsung berlari.
"Nona! Dengar aku? Kamu dengar aku?!"
Gadis itu menggeliat pelan, menahan sakit. Napasnya terdengar berat.
Kian bersimpuh di sampingnya, panik.
"Aku... aku nggak sengaja. Aku sumpah nggak lihat kamu! Aku... kambing itu..."
Gadis itu mencoba bicara, tapi hanya mengerang lirih.
Tubuhnya tergeletak lemah. Napasnya tersengal, namun matanya masih terbuka samar.
Kian berjongkok di sisinya, panik.
“Aku akan membawamu ke rumah sakit, sekarang juga—”
Namun ketika tangannya hendak menyentuh tubuh gadis itu, suara lirih menahannya.
“Jangan…” ucapnya lemah, tapi tegas.
“Kita bukan muhrim…”
Kian terhenti. Matanya menatap penuh kebingungan.
“Kamu terluka! Kaki kamu mungkin patah! Aku—aku cuma ingin menolong!”
Gadis itu mencoba menggeser tubuhnya menjauh, menahan nyeri, menegakkan prinsip meski tubuhnya nyaris tak sanggup bergerak.
“Tolong… jangan sentuh aku…” bisiknya lagi.
Dan sesaat setelah itu—
Gadis itu jatuh pingsan.
Kian membeku. Lalu, tanpa pikir panjang, ia memeluk tubuh itu, mengangkatnya dalam gendongan.
“Maaf…” bisiknya pelan, “tapi kamu harus diselamatkan.”
Mobilnya melesat menuju rumah sakit terdekat. Di dalam hatinya, ia tak tahu apa yang tengah ia rasakan. Panik, bersalah, tapi juga... entah kenapa, ia ingin memastikan gadis itu selamat.
Dan hari itulah—
Hari ketika hidup Kian Ardhana berubah arah.
Hari ketika ambisinya bertabrakan dengan takdir.
Ketika cintanya pada Friska mulai goyah...
...karena seorang gadis asing yang seharusnya tak pernah masuk dalam rencananya.
Seorang gadis bercadar...
Yang wajahnya tak pernah ia lihat.
Sejak hari itu, di jalan sunyi pedesaan Kalimantan,
bayangan gadis bercadar itu... tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
***
Di Rumah Sakit
Kian mondar-mandir di lorong rumah sakit. Tangannya masih bergetar, pikirannya kalut. Nama gadis itu baru saja ia dengar dari suster: Kanya Zahira.
Belum sempat ia menenangkan diri, suara langkah tergesa terdengar dari ujung lorong.
Seorang pria paruh baya berjalan cepat mendekat. Tubuhnya tinggi namun mulai tampak menyusut—pundaknya agak membungkuk, wajahnya tirus dan pucat. Sorot matanya tajam, tapi kelelahan jelas tergambar di sana.
Meski langkahnya tergesa, napasnya sedikit memburu, seolah tubuhnya memikul beban yang lebih berat dari sekadar kekhawatiran. Ia langsung menghampiri suster di meja jaga, suaranya parau tapi mendesak.
“Putri saya. Di mana Kanya Zahira?” tanyanya dengan nada terburu dan berat.
Kian menoleh—dan terbelalak.
Ia mengenal pria itu.
Pak Hasan.
Pemilik tanah terakhir yang menolak menjual lahannya untuk pembangunan resort milik perusahaan Kian. Tanah yang terletak tepat di jantung proyek—tanah yang membuat desain besar mereka terancam gagal total.
Suster menunjuk ke arahnya, sambil menjelaskan singkat siapa yang membawa Kanya ke rumah sakit.
Pak Hasan pun menoleh mengikuti arah tunjuk itu.
Saat matanya menangkap wajah pria di ujung lorong, sorot syok dan curiga langsung mengeras dalam tatapannya.
“Kian Ardhana?” Suaranya menggema pelan, namun tajam.
“Kau yang membuat anakku seperti ini?”
Kian mengumpat dalam hati. Rasanya seperti ditampar kenyataan.
Suasana lorong rumah sakit mendadak membeku.
Kian menunduk sedikit, mencoba menjaga ketenangannya, lalu menjawab pelan, “Saya tidak sengaja… saya bahkan tak tahu kalau dia—putri Anda.”
Pak Hasan melangkah maju. Tatapannya menusuk, penuh kecurigaan dan amarah yang ditahan.
“Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Setelah semua tekananmu agar kami menjual tanah? Lalu sekarang, putriku hampir mati... ditabrak olehmu?”
Kian menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.
“Saya... tidak punya maksud jahat, Pak. Saya hanya ingin menolong.”
Namun dari sorot mata Pak Hasan, Kian tahu—kepercayaan bukan sesuatu yang mudah diminta, apalagi dari pria seperti dia. Keras kepala, penuh prinsip, dan jelas tidak akan membiarkan ini berlalu tanpa perhitungan.
"Shiit! Kali ini aku benar-benar mampus!" Firasat buruk merambat di dada Kian, seperti kabut tebal yang enggan hilang.
*
Beberapa jam berlalu sejak Kanya masuk UGD. Lorong rumah sakit mulai lengang. Tak ada suara selain detak jarum jam di dinding—terdengar seperti dentuman palu yang menggedor ketegangan.
Kian duduk di bangku tunggu, punggung membungkuk, wajah ditutupi kedua tangan. Entah sudah berapa kali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang terus menggerogoti pikirannya.
Sementara itu, Pak Hasan berdiri di sudut ruangan, diam dan kaku. Punggungnya bersandar pada dinding, bukan hanya karena lelah menunggu—tapi karena tubuhnya memang mulai sulit menopang beban hidup yang terlalu berat. Wajahnya masih tampak tegas, tapi lebih tirus dari seharusnya. Sorot matanya menyimpan badai yang belum meledak—perpaduan antara cemas, marah, dan rasa tak berdaya yang terpendam dalam diam.
Hingga akhirnya—
Pintu ruang UGD terbuka.
Seorang dokter keluar. Wajahnya lelah, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat waktu seakan berhenti.
“Dok… bagaimana kondisi anak saya?” tanya Pak Hasan cepat, nadanya genting.
Dokter menghela napas panjang, seperti berusaha meredam berita buruk yang akan disampaikan.
“Kanya mengalami patah tulang cukup parah. Beberapa jaringan di kakinya rusak permanen. Kami telah memasang pen untuk penahan dan stabilisasi. Tapi…”
Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, pelan tapi tegas:
“…meskipun ia selamat, kami tidak bisa menjanjikan dia akan berjalan normal lagi. Bahkan dengan fisioterapi intensif sekalipun… kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan sebagian. Permanen.”
“Cacat…?” suara Pak Hasan tercekat, nyaris tak terdengar.
Dokter mengangguk perlahan.
“Ya. Putri Anda kemungkinan akan pincang seumur hidup.”
Dunia runtuh.
Pak Hasan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Matanya memerah, tapi tak setetes pun air mata jatuh. Yang ada hanya luka—diam, dalam, terlalu perih untuk ditangisi.
Lalu, ia menoleh.
Menatap Kian dengan sorot mata membara.
“Kamu,” ucapnya pelan—tapi tajam, seperti sembilu yang menusuk tanpa darah.
“Ini semua… karenamu.”
Dokter memilih angkat kaki, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara. Ia tahu kapan harus mundur dari urusan yang tak berkaitan dengan medis.
Kian menatap balik, tubuhnya menegang. “Saya… saya benar-benar minta maaf. Ini tidak sengaja. Saya bahkan yang membawanya ke rumah sakit. Saya akan menanggung seluruh biaya perawatannya, Pak.”
Namun kata-katanya hanya menambah bara di mata Pak Hasan.
“Kau pikir cukup dengan itu?” suaranya naik, dingin tapi bergetar. “Minta maaf, bayar rumah sakit, lalu pergi? Lalu hidupmu kembali nyaman seperti biasa?”
Kian membuka mulut, mencoba menjelaskan.
“Pak, saya tak sengaja. Saya bahkan menolongnya…”
“Tanggung jawabmu…” Pak Hasan memotong, nadanya semakin dingin, “…tak cukup hanya dengan kata maaf dan uang. Putriku… mungkin akan kesulitan menikah. Dia akan dicemooh. Lalu siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan melindunginya?!”
Seketika, ruangan itu tenggelam dalam keheningan.
Kian tak bisa menjawab. Ia tak punya jawaban—karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya…
…ia kehilangan arah.
Dan di tengah badai emosi itu—
Sebuah ide gila melintas di kepala Kian.
"Kalau begitu..." ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”
Pak Hasan menatapnya tajam.
“Apa maksudmu?”
“Saya akan menikahinya, Pak.”
Nada suara Kian terdengar bulat, meski dadanya bergetar hebat.
“Kalau itu bisa menebus semua kesalahan saya, saya bersedia menjadi suaminya.”
Dan begitu kalimat itu keluar, sebuah desir aneh bergetar di dada Kian.
Bukan karena cinta.
Bukan karena belas kasihan.
Tapi karena satu hal tersembunyi: tanah.
Tanah milik Pak Hasan—yang selama ini tak tersentuh, kini tiba-tiba terasa mungkin digenggam. Melalui jalan yang tak pernah ia bayangkan: pernikahan.
Namun Kian tahu satu hal—
Sekali kalimat itu terucap, ia tak bisa menariknya kembali.
Dan dari balik tirai UGD, Kanya tak sadar…
…bahwa hidupnya akan berubah.
Dalam sebuah pernikahan yang lahir dari luka.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
anonim
Masa lalu Kian hadir tanpa di undang. Takdir yang menimpa Kian berawal dari ambisinya sendiri - membeli tanah peninggalan leluhur milik orang bernama Hasan - dengan harga dua kali lipat dari harga sebelumnya - tapi si empunya tanah tetap menolak untuk menjual.
Dengan segala ledakan emosi - ambisi - tak fokus dalam menjalankan mobilnya - berakhir takdir merengkuhnya untuk menikahi wanita yang saat ini telah menggagalkan pernikahannya dengan wanita bernama Friska Putriana.
2025-07-14
2
Fadillah Ahmad
"Angkat Kaki?" Apa Maksudnya itu Kak Nana? Apa Kakinya di angkat sebelah untuk berjalan? Padahal dia punya dua kaki?
2025-07-27
1
Anitha Ramto
ternyata seperti itukan kisahnya Kian menikahi Zahira...miris sekali,,yang ada di fikirannya Kian hanya Tanah..bukan karena cinta dan bukan pula belas kasihan,,duh miris banget nasibnya Zahira🥲
2025-07-15
2