Pak Hasan masih berdiri di tempat yang sama. Matanya menatap kosong menembus dinding putih rumah sakit.
Kata-kata Kian terus bergema dalam benaknya:
“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”
Sekilas terdengar seperti jawaban dari seorang pria terhormat.
Tapi Pak Hasan tahu, ketulusan bukan sesuatu yang bisa diukur dari kata-kata.
Terlebih, ia tahu siapa Kian Ardhana.
Pria muda ambisius.
Beberapa kali datang menawar tanah warisan keluarga—tanah yang ia jaga seperti darah sendiri.
Dan sekarang, pria itu ingin menikahi anaknya?
Ia mengepalkan tangan.
"Apakah ini kebetulan… atau jebakan?"
Ia menoleh perlahan, menatap Kian lama. Tatapannya tak lagi semarah sebelumnya, tapi keraguan membayang dalam diamnya.
“Anakku…” gumamnya lirih, “…masih sekolah. Masih mondok. Satu semester lagi baru lulus. Usianya baru genap tujuh belas. Belum cukup untuk menikah.”
Pak Hasan menatapnya lebih lama.
Diam.
Sunyi menggantung di antara mereka.
Dan entah kenapa...
...meski hatinya penuh keraguan, meski insting ayahnya menjerit waspada…
Ia tahu, ia tak punya banyak pilihan.
Kian terdiam.
Matanya menatap pria itu dalam-dalam—berusaha menyampaikan kesungguhan, meski dalam hatinya, ada tekanan yang tak bisa ia abaikan.
"Baru tujuh belas… berarti hanya bisa menikah siri. Itu cukup untuk sekarang. Yang penting, aku bisa membuktikan tanggung jawabku—dan mungkin… mendapatkan persetujuan atas tanah itu."
"Jika resort itu berdiri sesuai rencana, Papa pasti menepati janjinya. Aku akan naik sebagai CEO."
Ia mengangguk pelan. “Tak masalah, Pak. Jika itu yang harus saya lakukan, saya akan tetap menikahinya. Sebagai bentuk tanggung jawab saya.”
Pak Hasan memandangi wajah Kian, mencari-cari ketulusan di balik ambisi. Ada sesuatu dalam mata pemuda itu yang meyakinkan—meski sebagian hatinya masih belum bisa percaya sepenuhnya.
Namun detik berikutnya, pikirannya kembali disergap oleh kenyataan yang lebih pahit…
Kanker.
Pankreasnya. Stadium akhir.
Sudah sebulan sejak ia diam-diam menerima vonis itu.
Semula ia hanya merasa cepat lelah, berat badan turun drastis, dan perutnya sering nyeri tanpa sebab. Ia pikir hanya masuk angin atau maag. Tapi dokter mengatakan lain—dengan tatapan sendu dan kalimat pelan yang menghantam jantung:
“Peluang hidup Bapak... sangat kecil.”
Penyakit itu datang diam-diam. Tanpa gejala berarti. Dan saat muncul... sudah terlambat.
Secara fisik, ia masih tampak kuat. Tapi ia tahu pasti—waktu untuknya… tak banyak.
Dan Kanya...
Gadis kecilnya itu tak tahu apa-apa.
Tak tahu bahwa ayahnya tengah diam-diam mempersiapkan kematian. Bahwa setiap langkah Pak Hasan kini dipenuhi perhitungan: berapa lama lagi ia bisa melihat mentari? Berapa malam lagi ia bisa menatap bulan bersama putrinya?
Dan sekarang… kaki Kanya akan cacat.
Ia tak punya siapa-siapa lagi.
Tak ada istri. Tak ada saudara. Tak ada keluarga dekat.
Siapa yang akan menjaga Kanya jika ia tiada?
Siapa yang akan melindungi gadis suci yang bahkan menolak disentuh meski tubuhnya sekarat?
Air mata menggantung di ujung matanya. Tak jatuh, tapi cukup untuk membuat pandangannya bergetar.
Ia menatap Kian. Tajam, dalam.
Berusaha membaca isi hati pemuda itu.
Kian tak menghindar. Ia tatap balik, tenang.
Namun di dalam pikirannya, badai kecil menggelora:
"Menikahinya… bisa membuat Pak Hasan luluh. Mungkin… tanah itu akan berpindah tangan tanpa konflik. Resort bisa dibangun sesuai rencana. Posisi CEO pun ada di depan mata."
"Tapi... Kanya. Dia terlalu muda. Masih sekolah. Aku bahkan belum tahu seperti apa wajah dan sifatnya."
"Dan Friska… tetap wanita yang aku cinta."
"Namun, jika ini satu-satunya jalan untuk menebus kesalahan… dan membuktikan tanggung jawabku…"
Ia menunduk sedikit, memasang ekspresi paling tulus yang bisa ia buat.
“Saya akan menjaga Kanya seumur hidup saya, Pak. Percayalah.”
Suara itu tenang. Dalam. Meyakinkan.
Pak Hasan menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesak yang menggunung di dadanya.
Ia menatap anak muda di hadapannya.
Lelaki yang—suka atau tidak—mungkin akan menjadi suami satu-satunya orang yang akan ia tinggalkan di dunia ini.
"Kalau aku mati, setidaknya… ada yang menjaganya."
Kalimat itu hanya menggema dalam batin. Tak sempat menjadi suara.
“Baiklah,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, namun cukup tegas untuk mengguncang ruang yang sunyi itu.
Kian mengangkat kepala. Sedikit terkejut.
“Aku terima lamaranmu,” lanjut Hasan. “Jaga putriku dengan baik.”
Kian mengangguk pelan, menyesap ucapan itu seperti angin kemenangan—padahal dalam benaknya, ia hanya ingin satu hal: menyelesaikan semuanya secepat mungkin.
Tapi Pak Hasan belum selesai.
“Dan dengar baik-baik. Jangan pernah kau sakiti dia—secara fisik, atau batin.”
Wajahnya tetap tenang. Suaranya datar. Tapi yang meluncur dari bibirnya terasa seperti belati dingin yang pernah mencicipi darah.
“Kalau kau menyakitinya… hidupmu tak akan tenang. Bahkan kalau aku sudah tak ada.”
Kian menelan ludah.
Entah kenapa, meski ia merasa sudah ‘menang’, ada sesuatu dari tatapan pria itu yang menyusup ke dadanya… membuat ia menggigil.
Dan mungkin—untuk pertama kalinya—ia sadar:
Ia baru saja menjual nuraninya demi sebidang tanah.
Dan di balik tirai ruang UGD, Kanya masih tak tahu apa pun.
Tak tahu bahwa masa depannya telah dipertaruhkan dalam satu kalimat...
…oleh ayah yang sangat mencintainya,
…dan lelaki yang hanya menjadikannya jalan menuju tanah.
***
Lorong Rumah Sakit – Pagi Hari
Lorong rumah sakit masih sunyi. Lampu putih pucat menyinari lantai mengilap. Bau disinfektan tajam menguar, menyusup pelan ke dalam jaket Kian.
Ia berdiri di depan ruang perawatan Kanya. Tak masuk. Hanya menatap dari kejauhan.
"Apa keputusanku benar? Menikahi gadis asing yang bahkan tak kulihat wajahnya… hanya demi sebidang tanah?"
Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya.
Dari kaca kecil di pintu, ia melihat Kanya tertidur. Tenang. Sebelah kakinya dibebat perban, selang infus menggantung diam di samping ranjang. Wajahnya tetap tertutup cadar—menyisakan mata yang terpejam, seolah menyembunyikan segalanya, bahkan luka.
Sementara di bangku lorong, tak jauh dari pintu…
Pak Hasan tertidur dalam posisi duduk. Tubuhnya condong ke depan. Napasnya terdengar pendek dan berat. Wajahnya lebih pucat dari semalam. Keringat dingin merembes di pelipis.
Kian baru hendak berbalik untuk membeli kopi—sekadar meredakan sesak di dada—saat suara berat menghentikan langkahnya.
Brugh!
Tubuh Pak Hasan limbung. Jatuh ke lantai dengan suara mengejutkan.
Kian refleks menoleh cepat.
"Astagaa!" serunya panik. Ia berlari mendekat, lututnya nyaris tergelincir saat menjangkau tubuh Pak Hasan yang tergeletak tak sadarkan diri.
"Suster! Dokter! Tolong!"
Suaranya menggema di lorong yang semula sunyi.
Detik berikutnya, pintu-pintu terbuka. Langkah-langkah cepat berdatangan.
UGD – Beberapa Menit Kemudian
Kian mondar-mandir di depan ruang UGD. Rahangnya mengeras. Tangan gemetar saat ia mencoba menelepon seseorang, lalu membatalkannya. Matanya berulang kali melirik pintu.
Seorang dokter keluar. Usianya empat puluhan, mengenakan jas putih dan wajah penuh empati.
"Keluarga Pak Hasan?"
Kian mengangguk reflek. “Saya... yang mengantarkannya.”
Dokter menghela napas. “Beliau terkena syok hipoglikemik dan kelelahan berat. Tapi bukan itu intinya.”
Ia menatap Kian. Lama. Dalam.
“Pak Hasan mengidap kanker pankreas stadium empat. Sudah menyebar. Kami menduga... beliau sudah tahu, tapi tidak melakukan pengobatan lanjut.”
Kian tercekat.
“Kanker?”
“Maaf, tapi... waktunya tak banyak.”
Suara dokter menggantung di udara, lalu hilang ditelan denting alat medis.
Kian berdiri mematung.
Kata ‘kanker’ itu seperti batu es jatuh ke dadanya.
Tiba-tiba semua menjadi lambat:
Senyuman tipis Pak Hasan tadi malam.
Tatapan kosongnya ke dinding.
Kalimat lirih: "Anakku... baru tujuh belas."
Kian berjalan pelan, kembali ke lorong tempat Pak Hasan tadi tumbang. Ia duduk di bangku dingin. Telinganya masih berdenyut.
Tangannya terkepal. Wajah menunduk. Mata menatap sepatu kulitnya yang mengilap—kontras dengan lantai rumah sakit yang suram.
“Jadi… dia tahu dia akan mati, tapi masih sempat menerimaku sebagai menantu?”
Kian menunduk.
“Bukan karena percaya padaku… tapi karena waktu tak memihaknya.
Ia mengusap wajah. Gertakan dari dalam hati datang bertubi:
“Apa yang kau lakukan, Kian?”
“Kau melamar anak orang demi sebidang tanah.”
“Dan dia... mungkin hanya ingin memastikan putrinya tak sendirian ketika ajal datang."
Satu tarikan napas panjang.
Kian menengadah. Mata menyipit menahan cahaya lampu di atas.
Bukan rasa bersalah sepenuhnya. Tapi ada sesuatu yang retak.
Ambisi itu kini berbenturan dengan sesuatu yang lebih dalam:
...rasa kemanusiaan.
...rasa tanggung jawab.
...atau mungkin, sekadar sisa-sisa nurani yang belum mati.
Di ruangan seberang, Kanya masih tertidur. Tak tahu bahwa ayahnya sedang berjuang di UGD. Tak tahu bahwa pria yang melamarnya tengah dihantui rasa yang belum ia kenal:
Penyesalan. Dan rasa takut... akan pilihan yang telah ia buat.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
anonim
Kian melamar anak orang demi sebidang tanah - pilihan yang tidak tepat. Kian tidak fokus dalam mengemudikan mobil - tidak sengaja mencelakai Kanya putri pak Hasan - bukan jebakan - tapi Kian juga punya maksud terselubung - kepemilikan tanah - maka mau bertanggung jawab menikahi Kanya. Untuk meyakinkan pak Hasan - Kian akan menjaga Kanya seumur hidupnya. Ada kata- kata pak Hasan - kalau kau menyakitinya - hidupmu tak akan tenang, itu ketika menerima lamaran Kian.
Kini Kian terenggut kebahagiaannya gagal menikahi Friska. Ucapan yang adalah doa pak Hasan apakah akan menemani kehidupan Kian selanjutnya.
2025-07-15
2
Anitha Ramto
Kian kamu benar² harus bertanggung jawab dan harus menjaga Zahira dengan baik,jangan sampai kamu menyakitinya karena kamu Zahira jadi Cacat...
pasti Zahira cantik banget jika Kian sudah melihat wajahnya akan terpaku dan terpesona dengan kecantikan Zahira..si Kian nanti akan jatuh cinta dan bucin sama Zahira
2025-07-15
2
Ais
Satu kata buat kamu kian "BASTARD"
2025-07-15
3