Lalu lalang para murid menghantam diriku ketika berjalan menuju ke kantin sekolah. Beberapa murid laki-laki yang nakal sudah lebih dulu memanjat pagar untuk berbelanja ke kedai di sebelah sekolah. Selain dari jajanannya yang juga beragam, mereka juga dapat melepas candu di sana. Sebagian mereka juga ada yang melepas candu merokok di WC sekolah.
Bukan hal aneh lagi ketika melihat fenomena itu. Aku juga sering cabut memanjat sekolah untuk menikmati waktu istirahat di warung yang dijadikan tempat tongkrongan kami, walaupun aku tidak turut menikmati rokok di sana. Kadang, aku rindu melakukan hal tersebut lagi. Sensasi berdebar akan ditangkap guru menjadi hal yang menyenangkan. Akal sehat dibuang demi sebuah kesesatan yang seru.
Suara musik klasik terdengar samar ketika aku melintasi gedung olahraga. Jarang sekali para murid masuk ke sana ketika istirahat, kecuali anak laki-laki yang ingin bertanding di sana. Yang kutahu hari ini tidak ada jadwal betanding hari ini. Biasanya ketika ada kelas yang bertanding akan diinformasikan pada group angkatan di media sosial yang kami gunakan.
Rasa penasaran membuatku untuk mencoba melihat siapa gerangan yang tengah bermain di gedung olahraga. Suara musik itu berasal dari bagian atas tribun. Menari seorang peremuan berambut tergerai melentikkan lekuk tubuhnya. Tangannya ikut melebar ketika tubuhnya berputar mengikuti alunan musik klasik yang syahdu. Matanya terpejam, terlalu menghayati setiap gerakan menjinjitkan kaki. Sebuah tarian balet yang dimainkan oleh seseorang yang tidak asing lagi bagiku.
Cleo berputar-putar dengan lincah sembari mengangkat kaki hampir sembilan puluh derajat. Melompat semester ke kanan, lalu membungkung sembari memanjangkan tangan. Peluh yang ia hasilkan sebanding dengan gerak tubuh indah yang ia ciptakan. Tidak sembarang orang yang bisa melakukan gerakan-gerakan tersebut, apalagi mengangkat kaki sembilan puluh derajat hingga hampir menyentuh kening, persis seperti penari profesional. Ia menyimpan bakat terpendamnya dan tidak pernah menunjukkan kepada orang lain. Cleo hanya bisa bersembunyi dari ekspresi wajah yang datar ketika direndahkan oleh orang lain.
Matanya tenggelam dibalik tatapan sayu kepadaku. Terdapat eksrpresi tidak suka yang tidak bisa ia sesembunyikan. Aku masih mengingat kalimatnya waktu itu.
Kita berada di dunia yang berbeda. Kalian orang berada, sementara aku tidak.
Aku tidak sudi jika terus dipaksa untuk menjauh, padahal ia benar-benar butuh seseorang yang mengerti akan kepedulikan.
"Jangan pergi, Cleo." Aku menutup jalannya. "Lo punya bakat, seharusnya lo bisa masuk club tari atau cheers."
"Peduli apa sih lo sama gue? Jangan dekati gue, gue enggak butuh orang lain, terutama lo!" Ia mendahuluiku dengan cepat.
Kutahan tangannya untuk tidak pergi. "Kita sama, Cleo. Kita punya masalah masing-masing. Dulu hidup gue enak di tengah-tengah keluarga. Semuanya ada disediakan oleh mereka, gue enggak pernah merasa kurang. Sekarang, mereka cuma bisa gue simpan dalam kenangan. Yang gue butuhin adalah teman. "
"Lo enggak ingat? Lo sama seperti yang lain. Jangan sok peduli sama gue!" Ia melepaskan genggaman tanganku.
"Gue enggak peduli sama masa lalu gue yang buruk sama lo. Tapi, sekarang gue benar-benar berbeda!"
"Pertama, lo dulu juga nge-bully gue. Kedua, lo teman dekat Vena. Ketiga, Vena adalah bagian dari mereka," balasnya.
"Sewaktu lo mau bunuh diri waktu itu, Vena yang udah ngebela lo agar para pem-bully itu keluar dari sekolah, asal lo tahu!" Nadaku sedikit naik.
Bibirnya setengah melebar. Kepalanya menggeleng pertanda tidak setuju. "Akhirnya gue tambah direndahin sama mereka. Gue enggak minta dibela, gue ingin mati!"
"Lo pengecut!!!" teriakku.
"Lebih baik mati di dunia dengan segala kepalsuannya dan ketidakadilannya."
Cleo tidak mendengarkan kata-kataku. Ia terus berlari keluar dari gedung olahraga. Kata-kataku hanya ia anggap angin lalu, tanpa mencerna jika setiap kalimat yang kuucapkan merupakan perwakilan dari ketulusan hatiku. Aku ingin ia berhenti dari kepura-puiraannya untuk tetap berdiri di atas lututnya yang tengah getir.
Ketika aku berusaha mengejarnya, datang seorang pria yang menahan langkahku. Ia adalah Ken. Ia hanya butuh satu tangan untuk menghentikan langkahku.
"Udah gue bilang, jangan dekati Cleo!" Ia mendorongku hingga tersungkur.
Aku segera berdiri. Kubalas serangannya dengan menghantam Ken ke tembok gedung olahraga.
"Jangan halangi gue!" balasku.
"Ternyata lo punya cukup nyali buat nyentuh gue," ucanya santai sambil menatap tanganku yang melekat pada kerahnya.
Aku sudah lama tidak berkelahi. Terakhir, kali ialah ketika membalas sekelompok orang yang sudah menghajar temanku. Aku tidak peduli dengan jumlah lawan, nyaliku lebih besar dari itu. Sementar itu, Ken bukanlah orang yang kelihatan tangguh untuk berkelahi.
"Andai aja lo tahu masa lalu gue," ucapku sedikit menyombong.
"Masa lalu lo itu berandalan yang udah nge-bully Cleo. Sekarang lo malah sok peduli sama dia!" Ia melepaskan tangannya dari kerahku dan mendorongku belakang.
"Sebenarnya kita sama, kan?" tanyaku.
Ia tertawa kecil. "Jangan mencari sesuatu yang harusnya lo enggak tahu."
"Gue tahu. Lo ngelihat gue waktu kesakitan kemarin," balasku.
"Maksud lo?" Ia memerengkan kepala.
Pertanyaan balik yang ia lanjutkan membuatku terbungkam.Aku tidak bisa secara frontal untuk memberitahukan tujuanku mendekati Cleo. Tidak ada kepastian bahwa jawabannya sama dengan perkiraanku.
Ia bergerak meninggalkanku tanpa beban. Senyum sinisnya itu masih dipertahankan dalam langkahnya. "Sebaiknya lo jangan mencari tahu siapa Cleo. Cukup urusi saja diri lo sendiri."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Asri Handaya
masih bingung ...belum ketemu benang merahnya....tapi menarik..penasaran
2020-05-07
0
Inah Ilham
sampai part ini masih bingung aja , tp aku terusin bacanya biar paham dan ketemu benang merahnya
2020-03-20
4
Inah Ilham
masih bingung, tp aku terusin bacanya biar paham dan ketemu benang merahnya
2020-03-20
2