Sepi dan sunyi menyelimuti rumah yang kutinggali. Hati teriris perlahan seiring berlalunya rindu pada keluargaku. Tidak ada hiruk pikuk Ibu yang memarahiku karena pulang terlalu sore. Tidak kudapati Ayah yang berkeluh kesah karena bisnis tokok buku yang ia jalani. Tidak kulihat adikku yang bermanja ria untuk diperbolehkan bermain bola di lapangan. Pahit memang ketika mengingat masa di mana tekanan atas ketidakbolehanku untuk mengembangkan potensi. Aku dipaksa untuk mengikuti keinginan orang tua yang tidak sepaham denganku. Namun, aku rindu semua itu.
Rina, kakakku, duduk sembari menikmati makan malam yang dibuatnya. Masih segar dalam ingatan bahwa kacamata yang ia pakai merupakan pemberian terakhir Ayah sebelum ia meninggal. Rambutnya tetap pendek setelinga, sesuai dengan cita-citanya dahulu yang ingin menjadi seorang polisi wanita. Aku tidak akan pernah lupa detail wajahnya yang sudah setahun tidak kutatap. Merdu suaranya yang lembut ketika menghiburku tidak akan pernah hilang dalam ingatan. Hanya ia satu-satunya orang yang mengerti keadaanku yang tidak sepaham dengan Ibu dan Ayah.
"Ada apa?" tanya Rina.
Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah foto keluarga yang tergantung di dinding.
"Enggak ada." Aku menggeleng kecil.
Ia ikut menatap foto keluarga di dinding. Matanya seketika lemah melihat senyum-senyum yang terukir di masing-masing wajah kami.
"Semenjak Ayah, Ibu, dan Reno meninggal, rumah selalu sepi. Paling cuma kita ngumpul waktu makan malam. Itu pun kalau gue bisa cepat pulang gara-gara ngurus toko buku Ayah."
Ingin sekali aku menguak semua rahasia yang tidak aku ketahui. Namun aku masih menahan diri agar tidak terlihat aneh dengan dunia yang ganjil ini.
"Kuliah lo bagaimana?" tanyaku.
"Seperti yang lo tahu, gue harus berhenti buat kelangsungan hidup kita. Setidaknya gue bisa ngelanjutin bisnis toko buku Ayah. Bahkan, hasilnya cukup berlebih buat kita berdua. Gue tabung buat kuliah lo besok." Ia berdiri setelah selesai menikmati makan malamnya. "Lo rindu sama mereka?"
Rindu memaksakanku untuk jujur. Padahal, ini bukan sama sekali gayaku.
"Benar, gue rindu sama mereka," balasku.
"Besok mau ke makam mereka?" tanya Rina.
Aku mengangguk. Sekali lagi, aku ingin memeluk mereka walaupun hanya bisa melalui gundukan tanah dengan nama yang terukir pada nisan.
Hari itu merupakan satu hari yang tidak pernah kupercayai keberadaannya. Aku tidak percaya pada matahari yang terbit di timur dan semilir angin yang membawa kejujuran bahwa bahwa dunia ini nyata. Aku tidak ingin dipaksa untuk mengikuti alur hati yang mengangguk untuk pasrah. Melawan ketidaknyataan ini begitu berat. Aku yakin ini tidak nyata, namun aku belum menemui celah untuk membuktikannya.
Aku melihat sendiri bagaimana makam Ibu, Ayah, dan Adik disusun bersampingan. Nama mereka terukir pada nisan yang berulang kali aku sentuh. Air mataku tidak sanggup membentuk bendungan, ia jatuh melalui garis-garis wajahku hingga menetes di ujung dagu. Melalui jemariku yang menaburkan bunga, kuselipkan sebuah rindu pada mereka. Aku harap mereka bisa merasakan betapa tulus yang kurasakan saat ini.
Padahal, aku sempat bercengkerama dengan mereka, walaupun pembicaraan yang hanya menyudutkanku. Sekarang, Tuhan memperlihatku bagaimana Ia membalas perlakuanku padanya. Ia memberikanku pelajaran bahwa yang selama ini merupakan hal yang salah. Aku benar melawan untuk mempertahankan prinsip yang kugenggam, namun dengan hal yang salah. Aku tidak mampu menggapai sebuah rahasia yang disembunyikan-Nya, bahwa semua itu hanya untuk membuatku lebih baik.
Tuhan, dunia ini Kau ciptakan untuk membalas kesalahan besarku.
Oleh karena itu, aku yakin bahwa ini tidak nyata dan aku bisa kembali lagi.
Mataku basah mengenang makam keluargaku yang kulihat kemarin bersama Rina. Kubangkitkan kepala setelah setengah jam berusaha untuk tertidur di atas meja. Bel tanda istirahat sudah sedari tadi berbunyi dan aku tidak menyadarinya. Beni dan teman-teman tidak tampak lagi sudut belakang kelas. Kelas cenderung sunyi, hanya beberapa anak perempuan yang tengah membentuk kelompok belajar.
Tidak sengaja aku menyentuh tas Cleo yang berada tepat di depanku. Mejanya penuh dengan coretan dan kata-kata kasar yang diperuntukkan padanya. Kursi yang selalu ia duduki berbeda dengan yang lain. Jika teman-teman yang lain menggunakan kursi berbusa, sementara itu ia menggunakan kursi kayu yang acap kali berdecit ketika ia bergerak. Tidak sekali pun ia kulihat berbicara dengan teman-teman sekelas. Ia cenderung diam dan tidak ingin mendekat dengan semua cibiran buruk padanya.
Miskin! Bau! Jelek!
Bahkan, banyak lagi kata-kata menyakitkan yang ia dapat dari teman sekelas. Seakan ia tidak punya tempat sebagai anggota kelas.
Langkahku bergerak menuju kantin. Selama seminggu ini aku hanya beberapa kali makan di kantin. Kebanyakan, aku membawa bekal yang dipersiapkan oleh Rina di rumah untuk menghemat jajan, mengingat bahwa uang jajanku kini terbatas ketika tinggal bersama Rina. Kantin sekolah ramai oleh murid-murid yang lapar. Tidak seperti sekolah lamaku, kantinnya tampak bersih dan tertata rapi seperti sekolah-sekolah elit. Ada petugas kebersihan yang selalu memerhatikan kebersihannya. Sangat nyaman untuk bersantap ria.
Belum sempat aku duduk, kulihat Cleo berulang kali bolak-balik menuju sebuah meja yang didudki oleh teman sekelasku. Peluh memenuhi keningnya hingga Cleo berulang kali menyeka keringatnya. Belum lagi teriakan yang dilontarkan oleh perempuan di meja itu saat Cleo lama membawa pesanannya. Padahal, kantin ini lumayan besar dan ramai, sehingga butuh waktu untuk kembali ke meja.
Mejaku dengan meja mereka hanya berjarak tiga meter. Makian mereka pada Cleo terdengar jelas dari sini. Tidak ada yang peduli, semua orang diam seakan sudah menjadi hal biasa.
"Kok lama banget, sih! Anak bawang itu kebangetan, yah!" gerutu Meli.
"Perlu dikasih pejaran kayanya," balas temannya.
Cleo kembali terlihat menyeka keringat di dahi. Ia berjalan dengan cepat menuju meja Meli sembari membawa dua gelas berisikan jus. Raut wajahnya dihujam oleh derasnya makian jika ia terlalu lama membawa pesanan.
Sesaat ketika kau memalingkan wajah, terengar bunyi pecahan kaca yang begitu keras. Teriakan para murid yang terkejut mengikuti tangis Cleo. Perhatian semakin tertuju kepadanya ketika tangannya tampak mengeluarkan darah akibat terkena pecahan kaca. Ia terbungkuk sembari menangis. Orang-orang hanya melihatnya saja, seakan sebuah pertunjukan drama.
Ada apa dengan sekolah ini!
Tidak ada pilihan lain. Ketika keheningan tampak dari matinya hati orang lain, di situlah dipertanyakan jika hatimu apa masih bisa menatap.
"Jangan tolong gue. Biarkan gue mati!" ucapnya ketika kusentuh.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Sugi Atun
qqqq quick to judge you nbkbv v. u just FM BBC as Drdkdkdediddz8-5@666@6"6'6@@62'/==$67==/67'6@6647/76'/6'76"67"@6&444
2022-01-13
0
ayyona
jd kebalik ya. Kakaknya jd hidup, ortu n adiknya meninggal. rey antara ada dan tiada, hbs kecelakaan rohnya lg mengembara
gitu kali 🤔
2021-04-02
0
Adhek K_chil
kerenn thooorrr
2019-09-28
3