Ia adalah Cleofatra Valery. Wajahnya selaras dengan namanya yang merupakan nama dari ratu Mesir yang terkenal, Cleofatra. Hanya saja orang-orang di dunia aneh ini tidak pernah mengakuinya sama sekali. Kulitnya tidak putih seperti standar keindahan orang-orang tropis, sedikit cokelat cerah yang memancarkan keeksotisannya. Rambutnya selalu ia gerai, sesekali ia ikat ketika pelajaran olahraga berlangsung. Cukup indah helaian rambut tergerainya ketika ikut bergerak oleh tubuhnya yang proposional.
Itukah yang kalian sebut dengan 'jelek'?
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka yang selalu menghina wanita malang itu. Betapa putihnya hatinya berkat tidak pernah membalas apa yang sudah diperbuat orang-orang satu kelas. Mereka tidak pernah melihat peluh dari letihnya yang dipaksa membuat tugas sendirian, keluh kesahnya ketika hanya ia sendiri yang mau melaksanakan piket mingguan, serta tangisan dirinya ketika semua bully-an tertuju untuk mengiris lubuk hatinya.
"Ibu, Rayhan pergi dulu─" Kalimatku terhenti sesaat ketika menyadari bahwa Ibu telah tiada.
Rina tersenyum kecil ketika aku menyebutkan kalimat itu.
Aku kembali memulai hari di dunia yang sama sekali tidak kukenali. Wajah-wajah baru yang bahkan tidak kutahu namanya siapa, berulang kali menyapa setiap berpapasan. Aku hanya bisa tersenyum tanpa tahu apa arti sapaan dari mereka itu. Terlalu banyak hal-hal baru yang masih menjadi misteri bagiku.
Kelas seperti biasa, Meli dan kawan-kawannya memulai hari dengan berbagai gaya centil mereka. Kelompok mereka selalu heboh, terkecuali Vena. Ia sedikit lebih pendiam dari teman-temannya. Tidak ada kesan mewah dari pembawaannya sehari-hari. Mataku memandang ke sebuah kursi penuh coretan itu. Sebuah tas tersungkur di laintai penuh debu dan jejak sepatu di atasnya. Cleo tidak mungkin seceroboh itu menjatuhkan tas. Aku yakin teman-teman yang lain melakukan itu.
"Dasar dunia aneh," ucapku sembari meletakkan tas Cleo di atas mejanya.
Mata Beni beralih menatapku. Sebelah alisnya naik pertanda ada suatu yang menarik.
"Lo yang aneh. Semua orang di sini tidak menyukai Cleo. Sekarang, lo malah yang melindungi dia," balasnya.
"Termasuk lo yang ngebully Cleo." tanyaku. Beberapa kali kulihat ia menertawai Cleo.
"Iya juga, sih. Gue sebenarnya enggak suka nge-bully orang lain. Kadang, melakukan itu sesekali ternyata menyenangkan." Ia tersenyum pada layar handphone-nya.
Aku menepuk meja hingga menarik perhatian teman-teman yang lain. Beni terkejut hingga menjatuhkan handphone-nya ke lantai. Terkadang, aku tidak habis pikir untuk melakukan ini. Tetapi, kalimat Beni yang baru saja ia ucapkan sangat tidak kusukai. Ia begitu santai mengakatan bahwa mengganggu orang lain merupakan hal yang menyenangkan. Padahal, itu seharusnya merupakan hal yang menjijikkan.
"Menyenangkan kata lo? Begitu mudahnya lo bilang kalau membuat orang nangis itu menyenangkan?" tanyaku dengan sedikit menekankan kalimat.
"Rayhan? Lo kok sensitif begini, sih? Biasa aja kali. Lo juga nge-bully dia juga." Ia menunjukku.
"Itu bukan gue. Ini Rayhan yang baru." Aku menunjuk diriku sendiri. Pandanganku beralih kepada teman-teman yang lain. "Lo semua, jangan ada yang nge-bully Cleo lagi!"
Suasana sempat hening, sebelum mereka tertawa kecil mendengarkan kalimatku.
"Apa kata lo? Lo dulu yang nyuruh kami buat nge-bully Cleo!" Beni menatap sini padaku.
Aku tidak mengerti bagaimana ini terjadi. Tidak pernah sekali pun dalam hidupku berencana untuk membuat orang lain terjatuh. Semua ini tidak nyata. Aku, mereka, bahkan Cleo tidak nyata. Aku hidup di dunia entah berantah yang menyisakan kegelisahan padaku. Bukankah aku harusnya berada di dalam rumah sakit sekarang? Atau mati bertemu dengan malaikat pencabut nyawa, tepat pada kecelakaan itu. Jika aku bisa memilih sebelumnya, aku lebih ingin mati daripada hidup di dunia asing ini.
Cleo tiba dengan wajah tertunduk. Titik-titik air jatuh dari ujung dagunya serta seragam yang ia kenakan. Riasan yang ia poles pada wajahnya luntur oleh air. Rambutnya basah, begitu pula sekujur tubuhnya. Ia tampak menggeretekkan gigi karena dingin. Tangan kecilnya yang dilipat tidak mampu memberikan kehangatan.
Ia sempat menatapku sebentar ketika berhenti di pintu. Tampak mata sayu yang meminta tolong untuk diselamatkan dari gelak tawa anggota kelas yang mengejek. Aku tidak sempat berbuat apa-apa. Ia langsung mengambil tas dan pergi meninggalkan jejak-jejak basah di lantai. Sementara itu, gelak tawa teman sekelas masih berbunyi.
Aku segera menyusulnya. Cleo berbelok ke belakang gedung olahraga. Ketika kuhampiri, ia menangis sekeras-kerasnya. Wajahya terbenam di antara kedua lutut yang ia rapatkan. Air matanya tidak terbendung hingga jatuh menitik di lantai. Kegelisahan yang ia rasakan terlihat dari tubuhnya yang berkali-kali dihentakkan pada tembok gedung. Tangannya yang memegangi kepala dengan erat, menyimpulkan bahwa terlalu banyak beban yang tidak bisa ia lepaskan.
Tangisnya belum berhenti. Wajahnya masih terbenam di antara dua lutut. Selama itu, aku duduk menunggu hingga benar-benar berhenti. Hingga ia menyadari kehadiranku. Aku tidak percaya apa yang sedang ditunjukkan pada raut ekspresinya, yaitu ketakutan.
"MENJAUH DARI GUE!" teriaknya sambil menunjukku.
"Salah gue apa hingga lo seperti itu?" tanyaku.
Ia menjauh dariku. Tangisnya masih bersisa untuk dikeluarkan. "Lo bagian dari mereka!"
"Enggak, gue bukan bagian dari mereka! Plis, jangan menjauh dari gue," mohonku sembari berusaha mendekatinya.
"Lo ngehasut semuanya buat nge-bully gue."
Cleo kembali menyandang tasnya, lalu berdiri untuk meninggalkanku. Ia terlalu takut untuk berbicara padaku. Sementara itu, aku ingin Cleo benar-benar mendengarkan kalimatku kali ini.
"Gue enggak peduli kalau mungkin dulu gue pernah berbuat itu sama lo. Tapi, dengar gue sekarang. Gue bukan seperti yang lo kira." Aku menahan tasnya.
"Kenapa? Kenapa kalian berbuat seperti itu sama gue?" tanya Cleo. Nadanya bergetar oleh tangis yang masih ia tahan.
"Plis, lawan mereka Cleo. Lo harus kuat," balasku tanpa menjawab pertanyaannya.
"Apa yang harus gue lawan di dunia yang enggak nyata ini? Enggak ada gunanya gue hidup." Ia melepaskan tanganku dari tasnya.
"Jika lo berharap ada satu orang yang peduli, itu adalah gue," teriakku.
Cleo berhenti dari langkahnya. Tangannya mengepal kuat seakan ingin memukul sesuatu. Wajahnya berpaling padaku dengan air mata yang semakin bertambah deras. Tidak ada celah baginya untuk tersenyum. Garis-garis pada wajahnya sudah kaku oleh raut sedih yang tak pernah berhenti. Terlalu kaku untuk membentuk senyum, walaupun dipaksa sekali pun.
"Lo tau apa tentang gue? Setelah semua yang lo lakukan sama gue, trus lo bilang lo peduli? Bullshit ... kalian palsu ... termasuk lo," balasnya. Ia pergi dengan meninggalkan wangi tubuhnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
مرش جحر
urang mah kadang binggung macana ge tapi da penasaran atuh😬
2020-06-05
2
ifcantthebestsotheworst
aku tebak si cleo pasti sama kaya rayhan juga. sama sama memasuki dunia lain.
2020-05-02
1
Drows Gniylf
gw kok jadi ketagihan baca.. pake dukun ya nih cerita?? tapi sep lah woi bagus..
2019-12-03
3