Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Penyelamatan
Medan perang bukanlah tempat untuk pahlawan dalam dongeng. Itu adalah tempat pejagalan.
Elara belajar hal itu begitu mereka tiba di Celah Utara. Udara di sini berbau tembaga dan daging busuk. Langit di atas mereka robek, memperlihatkan lubang hitam menganga yang memuntahkan makhluk-makhluk mimpi buruk.
Void Walkers.
Mereka tidak memiliki bentuk yang pasti. Mereka seperti gumpalan asap hitam pekat yang dipadatkan, memiliki cakar panjang dan mulut yang terlalu lebar berisi gigi-gigi jarum. Mereka bergerak cepat, merayap di tanah seperti serangga raksasa, menerjang barisan pertahanan prajurit Shadowguard.
"Tahan barisan!" teriak Vorian.
Di garis depan, Kaelen adalah badai kematian.
Elara memperhatikannya dari bukit kecil di belakang garis pertahanan, tempat dia dan beberapa penyembuh lapangan merawat prajurit yang terluka. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga terasa sakit di dadanya.
Kaelen tidak bertarung seperti manusia. Dia bertarung seperti bencana alam.
Pedang hitam besarnya menyala dengan api ungu, membelah tubuh monster Void menjadi dua. Setiap kali dia mengayunkan pedang, duri-duri kristal hitam melesat keluar dari bahu kanannya, menembus musuh yang mencoba menyerangnya dari belakang. Dia brutal, efisien, dan menakutkan.
Tapi Elara bisa melihat tanda-tandanya.
Setiap kali Kaelen melepaskan ledakan sihir untuk memusnahkan sekelompok musuh, gerakan tubuhnya menjadi sedikit lebih kaku. Warna abu-abu batu obsidian di kulitnya merambat naik, menyebar dari leher ke rahangnya. Cahaya merah di mata kanannya semakin terang dan liar.
"Dia menggunakan terlalu banyak tenaga," bisik Elara, tangannya yang berlumuran darah prajurit gemetar. "Kutukannya memakan energinya."
"Nona! Kami butuh bantuan di sini!" seru seorang prajurit muda yang kakinya robek.
Elara memalingkan wajahnya dari Kaelen, memaksa dirinya fokus pada pasien di depan matanya. Dia menempelkan tangannya ke luka prajurit itu, menyalurkan sedikit sihir hijaunya untuk menghentikan pendarahan.
"Kau akan baik-baik saja," kata Elara, meski dia sendiri ingin menangis.
Tiba-tiba, tanah berguncang hebat.
Dari dalam lubang Void di langit, sesuatu yang jauh lebih besar turun. Sebuah tangan raksasa berwarna hitam pekat menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang melemparkan puluhan prajurit ke udara.
Seorang Void Lord.
Tingginya sepuluh meter, tubuhnya terbuat dari bayangan padat yang berputar-putar. Dia tidak memiliki wajah, hanya satu mata merah raksasa di tengah dada.
Makhluk itu meraung, suara yang membuat telinga berdenging dan kaca-kaca di kejauhan pecah. Dia melangkah maju, menghancurkan barikade pertahanan seperti mainan.
Kaelen adalah satu-satunya yang berdiri di jalurnya.
Raja itu memacu kudanya, Nightmare-nya meringkik liar. Kaelen melompat dari punggung kuda, melayang di udara dengan dorongan sihir, dan menghujamkan pedangnya ke bahu raksasa itu.
BLAAAR!
Ledakan energi ungu dan hitam bertabrakan. Void Lord itu terhuyung mundur, meraung kesakitan.
Tapi kemudian, Elara melihatnya.
Saat Kaelen mendarat kembali ke tanah, dia tidak bangkit. Dia berlutut, satu tangannya menumpu pada pedang. Tubuhnya mengejang.
Dari jarak lima puluh meter, Elara bisa melihat lapisan batu obsidian merambat cepat menutupi seluruh lengan kiri manusianya. Kaki kanannya sudah kaku total, menyatu dengan tanah berbatu di bawahnya.
Dia membatu. Di tengah pertempuran.
"Raja jatuh!" teriak seseorang.
Void Lord itu pulih dari serangan. Mata merah di dadanya bersinar terang, mengumpulkan energi untuk serangan balasan yang mematikan. Sinar laser hitam siap ditembakkan tepat ke arah Kaelen yang tak bisa bergerak.
Vorian dan pasukannya terlalu jauh, tertahan oleh gelombang monster kecil.
"TIDAK!"
Elara tidak berpikir. Dia tidak menimbang risiko. Dia hanya bergerak.
Dia meninggalkan pos penyembuh, berlari menuruni bukit, menerobos kekacauan medan perang. Dia tidak membawa senjata. Dia hanya membawa tas obat dan tekad yang nekat.
"Nona Elara! KEMBALI!" teriak Vorian dari kejauhan.
Elara tidak mendengarnya. Matanya terkunci pada sosok Kaelen yang berlutut kaku.
Seekor Void Walker kecil melompat ke arahnya, mencakar lengan gaunnya hingga robek dan menggores kulitnya. Elara menjerit, tapi dia tidak berhenti. Dia melemparkan bubuk Flashbang—ramuan herbal peledak cahaya—ke wajah monster itu, membuatnya buta sesaat, lalu terus berlari.
Kaelen melihatnya.
Meski lehernya kaku dan sulit digerakkan, dia melihat gadis bodoh itu berlari ke arahnya.
"Lari..." bisik Kaelen, suaranya parau, bibirnya nyaris menjadi batu. "Pergi... Elara..."
Elara menjatuhkan diri berlutut di samping Kaelen, tepat saat Void Lord di depan mereka mulai menembakkan sinar hitamnya.
Elara tidak membuat perisai. Dia tidak bisa.
Dia melakukan satu-satunya hal yang dia bisa.
Dia memeluk Kaelen.
Dia melingkarkan kedua lengannya ke leher Kaelen yang keras dan dingin seperti patung. Dia menempelkan keningnya ke pipi batu Kaelen, memejamkan mata, dan menuangkan seluruh sihir kehidupan yang dia miliki. Bukan tetesan, bukan aliran sungai, tapi bendungan yang jebol.
"Hidup," bisik Elara. "Kembalilah padaku."
Cahaya hijau zamrud meledak dari tubuh Elara.
Cahaya itu begitu terang, begitu murni, hingga menyilaukan mata di tengah kegelapan Void. Cahaya itu merambat masuk ke dalam retakan tubuh Kaelen, menghancurkan lapisan batu yang mengurungnya, mengalirkan darah panas kembali ke pembuluh darahnya yang beku.
Dalam satu detik, Kaelen merasakan sentakan nyawa yang luar biasa. Rasa sakitnya hilang. Kekuatannya kembali, berlipat ganda.
Dia merasakan tubuh kecil Elara yang gemetar di pelukannya. Dan dia melihat sinar hitam kematian dari Void Lord yang melesat ke arah mereka.
Kaelen meraung.
Dia tidak lagi kaku. Dia berputar, menarik Elara ke dalam pelindung dadanya, memunggungi serangan itu. Duri-duri kristal di punggungnya memanjang secara instan, membentuk perisai anyaman yang rapat dan kokoh.
BOOOM!
Sinar hitam itu menghantam punggung Kaelen.
Ledakannya menciptakan kawah besar di sekitar mereka. Debu dan batu beterbangan. Vorian dan para prajurit menahan napas, horor menyaksikan Raja dan gadis penyembuh itu tertelan ledakan.
Hening.
Angin membawa debu pergi perlahan.
Di tengah kawah yang berasap, sesosok tubuh masih berdiri tegak.
Kaelen masih berdiri. Perisai duri di punggungnya hancur dan hangus, punggungnya berasap, tapi dia tidak jatuh. Dan di dalam pelukannya, tersembunyi aman dari segala bahaya, Elara masih bernapas, wajahnya terbenam di dada zirah Kaelen.
Kaelen mengangkat wajahnya. Matanya bukan lagi merah gila, tapi abu-abu jernih yang memancarkan kemurkaan dingin.
Dia mengulurkan tangan kanannya—cakar monsternya—ke arah Void Lord yang terkejut.
"Kau mencoba menyentuh milikku," geram Kaelen.
Bumi di bawah Void Lord itu meledak. Akar-akar duri raksasa setebal pohon beringin mencuat dari tanah, melilit tubuh monster raksasa itu, meremukkannya, mencabik-cabiknya hingga menjadi asap hitam yang lenyap ditiup angin.
Pertempuran berakhir.
Sisa-sisa monster Void yang lebih kecil melarikan diri kembali ke dalam celah langit yang perlahan menutup.
Kaelen berdiri diam, napasnya memburu. Perlahan, dia melonggarkan pelukannya.
Elara mendongak. Wajahnya pucat, hidungnya berdarah karena penggunaan sihir yang berlebihan, dan ada luka cakar di lengannya. Tapi dia tersenyum lemah.
"Anda masih hangat," bisik Elara.
Kaelen menatap gadis itu. Tatapannya intens, menelusuri setiap inci wajah Elara, memastikan dia benar-benar hidup. Jantung Kaelen berdetak sangat kencang—bukan karena adrenalin perang, tapi karena ketakutan setengah mati saat melihat Elara berlari ke arahnya tadi.
"Kau bodoh," kata Kaelen, suaranya bergetar. Dia mengangkat tangan kirinya, menyeka darah di bawah hidung Elara dengan ibu jarinya yang lembut. "Kau benar-benar bodoh, nekat, dan gila."
"Dan Anda masih hidup," balas Elara. "Jadi saya menang."
Kaki Elara menyerah. Dia merosot pingsan karena kelelahan sihir.
Tapi dia tidak menyentuh tanah. Kaelen menangkapnya. Dengan mudah, Raja itu mengangkat tubuh mungil Elara ke dalam gendongannya, membawanya seperti membawa harta karun yang paling berharga.
Vorian berlari mendekat, wajahnya lega luar biasa. "Yang Mulia! Anda baik-baik saja?"
"Siapkan kereta," perintah Kaelen tajam, matanya tidak lepas dari wajah Elara yang tertidur di dadanya. "Kita pulang. Dan panggilkan tabib terbaik untuk merawat lukanya. Jika ada satu bekas luka yang tertinggal di kulitnya, aku akan membakar seluruh departemen medis."
Kaelen berjalan melewati barisan prajuritnya yang bersorak mengelu-elukan namanya. Tapi Kaelen tidak peduli pada sorakan itu. Dia hanya bisa merasakan detak jantung lemah di pelukannya.
Dia menatap langit yang mulai cerah.
Elara benar. Dia adalah penyeimbangnya. Dia adalah jangkarnya.
Dan Kaelen bersumpah pada dirinya sendiri, mulai hari ini, tidak ada apa pun—baik itu Void, Duke Vane, atau kutukan para dewa—yang boleh menyakiti gadis ini lagi.
Sang Raja Duri telah menemukan bunganya.
BERSAMBUNG...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️