NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Anna kamu berubah

Pria itu menoleh. Tatapannya waspada.

“Iya? Ada yang bisa saya bantu?”

Aku mendekat, menurunkan nada suaraku. “Maaf mengganggu. Tadi Bapak bertemu dengan seorang perempuan bernama Anna.”

Ekspresinya langsung berubah kaku.

“Maaf, saya tidak bisa membicarakan klien,” jawabnya tegas.

Aku sudah menduga itu.

“Saya tidak minta isi pembicaraan,” kataku cepat, menahan napas. “Tapi saya keluarga dekatnya. Kakaknya.”

Ia menatapku lebih lama, seolah menimbang apakah aku layak dipercaya atau tidak.

“Keluarga pun tetap tidak bisa,” katanya singkat, lalu berbalik hendak pergi.

“Pak,” aku menahan lengannya—pelan, sopan. “Tolong. Saya lihat sendiri kondisi Anna. Dia tidak baik-baik saja. Kalau ini menyangkut masa depan dia dan anak-anaknya… saya berhak tahu.”

Pria itu menghela napas berat. Lama. Lalu ia menarik lengannya dan berdiri diam.

“Kita bicara di luar,” ucapnya akhirnya.

Kami berdiri di dekat teras kafe. Angin pagi menyapu wajahku, tapi dadaku masih panas oleh rasa cemas.

“Nama saya Bima,” katanya sambil merapikan jas. “Saya pengacara keluarga sepupu Anda.”

Aku mengangguk cepat. “Alif.”

Pak Bima menatap lurus ke depan sebelum akhirnya berkata pelan, seolah takut ada yang mendengar.

“Saya seharusnya tidak mengatakan apa pun.”

“Pak… saya mohon.”

Ia menoleh, menatapku dalam. “Anna datang ke saya untuk mengurus gugatan cerai.”

Kata itu menghantam telingaku keras.

“Cerai…?” suaraku nyaris tak keluar.

Pak Bima mengangguk sekali. “Dan hak asuh anak.”

Dunia seolah berhenti berputar.

“Bang Rian selingkuh?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.

“Bukan hanya selingkuh,” jawab Pak Bima lirih. “Perempuan itu sedang hamil.”

Tanganku mengepal.

“Anna sudah menyimpan bukti lengkap,” lanjutnya. “Rekaman, foto, laporan detektif swasta. Dia datang bukan untuk bertanya—dia datang untuk memastikan.”

Aku memejamkan mata sesaat.

Pantas saja dia berubah.

Pantas saja doanya semalam terasa… seperti perpisahan.

“Dia minta ini dirahasiakan,” kata Pak Bima tegas. “Bahkan dari keluarga.”

Aku mengangguk pelan. “Saya mengerti.”

“Tapi sebagai kakak,” lanjutnya, “kalau Anda benar-benar peduli… jangan memaksanya bicara sebelum dia siap.”

Aku menelan ludah.

“Pak Bima,” kataku lirih, “dia kuat… tapi dia sendirian.”

Pak Bima menatapku sebentar, lalu mengangguk kecil. “Itu sebabnya saya akhirnya bicara.”

Ia melangkah pergi, meninggalkanku berdiri kaku di depan kafe.

Cerai.

Hak asuh.

Pengkhianatan.

Sekarang semuanya masuk akal.

Aku melirik jam. Sebentar lagi jam satu.

Aku harus menjemput Ayyan.

Dan berpura-pura… seolah aku belum tahu apa-apa.

Tapi satu hal kupastikan—

Mulai hari ini, Anna tidak sendirian lagi.

Sebuah mobil sedan putih terparkir tepat di depan rumah Anna. Mesinnya masih menyala saat seorang pria berwajah teduh turun dari balik kemudi. Setelan jas rapi membalut tubuhnya, langkahnya tegap—terlalu percaya diri untuk seseorang yang menyimpan banyak dusta.

Rian.

Tanpa mengetuk, tanpa mengucap salam, ia langsung membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah.

“Anna, sayang… kamu di mana?” teriaknya lantang, suaranya menggema di ruang tamu yang lengang.

Tak ada jawaban.

Rian mengernyit. Biasanya, pada jam seperti ini, Anna sudah berdiri di dapur atau ruang makan—menyambutnya dengan senyum lembut, menanyakan kabar, menyiapkan minum, atau sekadar memastikan dasinya rapi. Anna selalu begitu. Istri yang nyaris sempurna.

Ia melangkah lebih dalam, menoleh ke kanan dan kiri.

“Anna?” panggilnya lagi, kali ini nadanya sedikit menurun.

Rian sebenarnya mencintai Anna. Itu bukan kebohongan yang sepenuhnya palsu. Anna adalah sosok istri yang baik, penurut, tak pernah membantah, tak pernah meninggikan suara. Ia setia. Ia sabar. Ia mengabdikan masa mudanya sepenuhnya untuk rumah tangga dan anak-anak mereka.

Anak-anak pun sempurna—cerdas, sopan, penuh kasih.

Namun justru di situlah masalahnya.

Segalanya terlalu… sempurna.

Seperti kata pepatah—sesuatu yang kita miliki, seindah apa pun, lama-lama akan terlihat biasa. Sebaliknya, sesuatu yang bukan milik kita, meski jauh lebih sederhana, akan tampak begitu menggoda.

Itulah yang terjadi pada Rian.

Jika soal kecantikan, Anna jauh melampaui Mesya. Kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi dengan postur yang indah. Wajahnya manis alami. Namun semua itu tertutup oleh kesederhanaannya—pakaian longgar, hijab rapi, sikap tenang yang tak pernah menuntut.

Sementara Mesya…

Mesya selalu tahu caranya membuat laki-laki merasa dibutuhkan. Pakaian ketat, senyum penuh makna, tatapan yang berani. Ia tidak menunggu—ia menggoda.

Langkah Rian terhenti di depan dapur.

Kosong.

Tak ada aroma masakan. Tak ada suara penggorengan. Tak ada sosok perempuan yang biasanya menjadi pusat rumah ini.

“Ke mana dia…” gumamnya pelan.

Saat itu, dari arah tangga, terdengar suara langkah kaki.

Anna muncul.

Ia berdiri di anak tangga terakhir, mengenakan gamis sederhana warna pastel dan hijab senada. Wajahnya tenang—terlalu tenang. Tidak ada senyum. Tidak ada kerinduan.

Tatapan mereka bertemu.

“Baru pulang?” tanya Anna datar.

Rian terdiam sesaat. Ada sesuatu yang berbeda. Dingin. Jarak yang tak kasatmata tapi terasa jelas.

“Iya,” jawabnya akhirnya. “Kamu ke mana? Rumah kosong.”

“Aku keluar sebentar,” jawab Anna singkat.

Rian mendekat beberapa langkah. “Kok nggak bilang? Aku nyariin.”

Anna menatapnya lurus, tanpa emosi berlebih.

“Kamu juga sering pergi tanpa bilang, kan?”

Kalimat itu sederhana. Tapi menghantam.

Rian tercekat. “Maksud kamu?”

Anna tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata.

“Nggak ada,” katanya pelan. “Cuma jawab pertanyaan kamu.”

Keheningan jatuh di antara mereka.

Rian merasa ada sesuatu yang lepas dari genggamannya. Sesuatu yang selama ini ia anggap tak akan pernah pergi.

Dan untuk pertama kalinya…

ia merasa takut.

---

1
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!