Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Amira
"Ah... itu... biasa kok Mbak. Di desa saya sering manjat pohon kelapa," jawab Arjuna seadanya, berusaha menutupi keheranannya sendiri.
"Masa sih cuma manjat pohon?" Amira tertawa kecil, mengulurkan tangannya. "Saya Amira. Baru turun dari kereta mau ke kantor, eh malah kena copet. Untung ada Mas..."
Arjuna memandang tangan yang terulur itu dengan canggung. Ia tidak biasa bersalaman dengan wanita, apalagi yang secantik ini. Ditambah lagi, tangan Amira yang terawat dengan kuteks merah muda itu sangat kontras dengan tangannya yang kasar.
"Sa-saya... Arjuna..." jawabnya terbata, menunduk dengan wajah memerah, tanpa membalas uluran tangan Amira.
Amira menurunkan tangannya sambil tersenyum maklum. Ada sesuatu yang menggemaskan dari sikap malu-malu pemuda desa ini - sangat berbeda dengan pria Jakarta yang biasa ia temui.
"Arjuna... nama yang bagus," Amira mengeluarkan kartu nama dari tasnya. "Ini, simpan nomor saya. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, jangan sungkan menghubungi ya? Saya berhutang budi sama Mas Arjuna."
"I-iya Mbak," Arjuna menerima kartu nama itu dengan kedua tangan, masih menunduk. Cincin di jarinya terasa hangat, seolah bereaksi pada situasi ini.
Arjuna membungkuk sekali lagi sebelum berbalik menuju ranselnya yang ia tinggalkan di tepi trotoar. Jantungnya masih berdegup kencang, entah karena aksi kejar-kejaran tadi atau karena grogi berhadapan dengan Amira.
"Mas Arjuna!" suara Amira memanggilnya lagi.
Arjuna menoleh ragu-ragu.
"Hati-hati ya! Semoga kita bisa ketemu lagi!"
Arjuna hanya mengangguk canggung, lalu bergegas mengambil ranselnya. Ia bisa merasakan wajahnya memanas. Di belakangnya, beberapa orang masih membicarakannya, bahkan ada yang menunjukkan video rekamannya melompati mobil tadi.
"Itu cincin apa ya..." gumamnya pelan, memandangi batu biru yang berkilau di jarinya. Teringat pesan kakeknya dalam mimpi: "Gunakan untuk kebaikan, bukan kesombongan."
Menghela nafas panjang, Arjuna merapikan ranselnya. Masih banyak yang harus ia lakukan - mencari angkot ke Jakarta Kota, naik KRL ke Bekasi, dan mencari alamat kos yang diberikan Pak Karso.
Tapi setidaknya, hari pertamanya di Jakarta sudah dimulai dengan berbuat kebaikan. Meski dengan cara yang sama sekali tak ia duga.
Matahari Jakarta sudah condong ke barat ketika Arjuna turun dari KRL di Stasiun Bekasi. Setelah bertanya ke sana-kemari dan dua kali salah naik angkot, akhirnya ia sampai di sebuah gang sempit di daerah Tambun. Keringat membasahi kemejanya yang lusuh, ransel butut di punggungnya terasa semakin berat.
"Gang Mawar 2... nomor 15..." gumamnya, membaca ulang kertas lusuh pemberian Pak Karso.
Langkahnya terhenti di depan rumah bercat hijau pudar. Pagar besinya berkarat, dan halaman kecilnya dipenuhi rumput liar. Sebuah plang "DIKONTRAKKAN" tergantung miring di pagarnya.
"Permisi..." Arjuna mengetuk pagar dengan ragu.
Seorang ibu paruh baya keluar dari rumah sebelah. "Cari siapa, Mas?"
"Ini... saya cari Pak Bambang, Bu. Yang punya kos-kosan..."
"Oh, Pak Bambang?" ibu itu menggeleng. "Udah pindah, Mas. Sebulan yang lalu rumahnya dijual. Katanya pindah ke Tangerang."
Arjuna tertegun. Kakinya mendadak lemas.
"Mas dari mana? Kok sendirian?"
"Dari... Temanggung, Bu."
"Ya ampun! Jauh amat! Terus sekarang mau kemana?"
Arjuna menggeleng pelan. "Tidak tahu, Bu..." jawabnya jujur. Kepalanya tertunduk, mencoba menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.
Setelah bertanya-tanya, akhirnya Arjuna pun menyerah, dan memilih pamit, dan mencari kos lagi.
Langit sudah gelap ketika Arjuna akhirnya menemukan sebuah kos-kosan di Gang Delima. Bangunan tiga lantai itu berdiri kokoh di tengah keramaian pertokoan. Papan nama "Kos Berkah" terpampang di depannya, dengan lampu neon yang berkedip-kedip.
"Masih ada kamar kosong, Bu?" tanya Arjuna pada ibu penjaga kos yang sedang menonton TV di pos depan.
"Ada Mas, tapi..." Ibu kos yang memperkenalkan diri sebagai Bu Yati itu menggantung kalimatnya.
"Tapi kenapa, Bu?"
"Yang kosong cuma kamar nomor 13, di lantai satu paling ujung." Bu Yati menatapnya ragu. "Kamar itu... agak special."
"Maksudnya... angker, Bu?" Arjuna menelan ludah.
Bu Yati mengangguk. "Anak-anak kos sini bilang suka dengar suara-suara aneh dari sana. Tiga penghuni sebelumnya nggak betah, paling lama seminggu langsung pindah."
Arjuna terdiam. Di saku celananya, uang pemberian warga desa tinggal separuh, habis untuk ongkos. Cincin di jarinya terasa hangat, seolah memberinya keberanian.
"Berapa sewanya, Bu?"
"Karena kondisinya begitu... Ibu kasih murah deh. Setengah harga dari kamar lain. Tapi beneran berani, Mas?"
Arjuna mengangguk mantap. "Tidak apa-apa, Bu. Yang penting ada tempat berteduh."
Bu Yati mengambil kunci berkarat dari gantungan. "Ya sudah... tapi jangan salahkan Ibu ya kalau ada apa-apa. Lantai satu untuk anak cowok, lantai dua cewek, lantai tiga yang sudah berkeluarga. Kamar mandinya di ujung tiap lantai."
Mereka berjalan menyusuri lorong lantai satu yang remang-remang. Suara TV dari kamar-kamar lain terdengar samar. Di ujung lorong, kamar nomor 13 berdiri menyendiri, catnya lebih pudar dari kamar lain.
"Ini kuncinya," Bu Yati menyerahkan kunci dengan tangan sedikit gemetar. "Kalau ada apa-apa, kamar Ibu di lantai tiga ya."
Arjuna mengangguk, memasukkan kunci ke lubangnya. Pintu terbuka dengan suara berderit panjang. Kamar itu kecil, hanya muat kasur single dan lemari kayu tua. Jendela kecil di dindingnya menghadap tembok tinggi, membuat ruangan itu selalu tampak gelap.
"Ya sudah, Ibu tinggal dulu ya," Bu Yati bergegas pergi, meninggalkan Arjuna sendirian.
Menghela nafas panjang, Arjuna meletakkan ranselnya. Ini akan menjadi malam pertamanya di Jakarta, di sebuah kamar yang katanya berhantu. Tapi setidaknya, ia punya tempat untuk bermalam.
Arjuna meletakkan ranselnya di lantai yang berdebu. Seketika, hawa dingin yang tidak wajar menyergap tubuhnya. Bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang... tidak beres dengan kamar ini.
"Bismillah..." bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri.
Tiba-tiba, tangan kanannya terasa kebas. Rasa dingin yang aneh menjalar dari jarinya tempat cincin itu melingkar. Arjuna memejamkan mata, kepalanya sedikit pusing.
Tanpa ia sadari, batu biru di cincinnya mulai berpendar samar. Cahaya kebiruan yang lembut memancar, memenuhi setiap sudut kamar. Dan dalam keheningan malam itu, terjadi sesuatu yang tak tertangkap mata Arjuna - bayangan-bayangan gelap yang tadinya bersembunyi di sudut-sudut kamar bergerak gelisah, seolah tersengat energi asing yang lebih kuat.
"Pergi... pergi..." bisikan-bisikan samar terdengar, makin lama makin menjauh.
Ketika Arjuna membuka mata, rasa tidak nyaman itu sudah hilang. Kamar sempit itu terasa... berbeda. Lebih hangat, lebih ramah. Seolah sesuatu yang tadinya mengisi ruangan ini telah pergi.
"Aneh..." gumamnya, memandangi cincin pemberian kakeknya. "Perasaanku saja atau memang ada yang berubah?"
Di luar kamar, sayup-sayup terdengar langkah kaki yang terburu-buru menjauh. Mungkin penghuni kos lain yang penasaran dengan penghuni baru kamar angker ini.
Arjuna mengeluarkan barang-barangnya dari ransel - tiga potong baju, dua celana, seragam SMA lamanya, dan beberapa buku pelajaran yang tak tega ia tinggalkan. Semuanya ditata rapi dalam lemari kayu tua yang sedikit berderit saat dibuka.
"Tidak banyak memang..." gumamnya sambil tersenyum kecut. Seluruh hidupnya hanya muat dalam satu ransel butut.
Setelah menyapu lantai seadanya dengan sapu yang tersandar di sudut kamar, Arjuna menggelar sajadah lusuh pemberian neneknya. Suara adzan Isya berkumandang dari masjid tak jauh dari sana.
"Alhamdulillah," bisiknya. "Setidaknya ada tempat untuk shalat dan tidur malam ini."
Ia melirik cincin di jarinya yang kini tampak normal. Entah kenapa, kamar yang katanya angker ini justru terasa nyaman. Mungkin memang benar kata neneknya dulu - yang penting selalu ingat Yang Di Atas, tidak perlu takut pada yang di bawah.
biar nulisny makin lancar...💪