Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 — Malam yang Membuahkan Luka
Waktu berdetak lambat dan menyakitkan di dalam penthouse. Pintu yang dibanting oleh Dion masih menyisakan getaran dingin di udara. Aira telah berhenti menangis, tetapi hatinya terasa hampa, terkoyak oleh kata-kata Dion yang menghunus: “Arvan tetap di sini!”
Aira berjalan ke kamar Arvan. Bocah itu tidur nyenyak, tidak terganggu oleh badai emosi orang tuanya. Aira meringkuk di sisi ranjangnya, mencium kening Arvan yang hangat. Setidaknya, Dion tidak benar-benar mengambilnya—belum. Kehadiran Arvan adalah jangkar satu-satunya.
Malam semakin larut. Lampu-lampu kota mulai redup, tetapi Aira tidak bisa tidur. Dia hanya menunggu, di ambang ketakutan dan harapan yang tipis. Dia menunggu Tiran itu kembali.
Hampir pukul dua dini hari, pintu utama terbuka. Suara langkah kaki Dion yang berat terdengar di lantai marmer, langkah yang menunjukkan kelelahan dan emosi yang kacau.
Dion tidak pergi ke ruang kerjanya. Dia langsung menuju kamar utama.
Aira sudah berada di tempat tidur, pura-pura tidur, seluruh tubuhnya menegang.
Dion berdiri di ambang pintu, menatap siluet Aira di bawah cahaya rembulan yang masuk dari jendela. Dia tidak mabuk—dia terlalu takut untuk kehilangan kendali lagi. Tetapi dia hancur. Dia menghabiskan waktu berjam-jam mengemudi tanpa tujuan, mencoba menenangkan amarahnya pada Aira, yang tidak pernah mau mempercayainya.
“Bangun, Aira,” kata Dion, suaranya parau, dipenuhi kelelahan emosional.
Aira membuka matanya. Ia melihat mata Dion yang berkobar, mata yang sama dengan malam mereka bertemu—hanya kali ini, api itu adalah campuran amarah, rindu, dan penyesalan.
“Kau kembali untuk mengambil Arvan?” tanya Aira dingin, bangkit dari ranjang, mengenakan jubah sutranya.
Pertanyaan itu memicu ledakan baru di hati Dion.
“Mengambilnya? Kau pikir aku monster?” teriak Dion, suaranya sedikit meninggi, tetapi cepat-cepat direndahkannya karena takut membangunkan Arvan. “Kau pikir aku adalah pria yang akan menggunakan anakku untuk menyakitimu? Setelah semua yang aku katakan? Setelah malam pengakuan itu? Kenapa, Aira? Kenapa kau tidak pernah mau percaya padaku?”
“Karena aku melihatmu dengan Nayra!” balas Aira, air mata kembali menggenang. “Aku melihatnya! Dia ada di sana, di kantormu, di tempatmu yang paling pribadi! Kau bisa memecat semua media, tetapi kau tidak bisa memotong masa lalumu! Kau memilih Arganata daripada aku!”
Dion melangkah cepat ke arah Aira, mencengkeram bahu Aira dengan kedua tangan. “Aku tidak memilih siapa-siapa! Aku sedang berjuang! Aku sedang berjuang melawan Tantri dan semua orang gila itu! Dan kau… kau menusukku dari belakang dengan tuduhanmu yang tidak berdasar!”
“Tuduhan? Atau kebenaran?” tantang Aira, air mata mengalir membasahi wajahnya. “Aku melihat bagaimana dia menatapmu, Dion. Dan aku tahu kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku! Aku hanyalah petugas kebersihan, Dion! Aku hanyalah pengisi kekosongan! Kau bisa merebut Arvan dan menikahinya!”
Kata-kata Aira, ‘pengisi kekosongan’, menghancurkan Dion. Itu adalah refleksi ketakutan terbesarnya—bahwa dia hanyalah seorang pria yang terbiasa mengisi kekosongan dengan kekayaan dan kekuasaan.
Dion melepaskan bahu Aira, tetapi ia segera mencengkeram wajah Aira, memaksanya menatap matanya.
“Kau bukan pengisi kekosongan!” desis Dion, napasnya memburu. “Kau adalah segalanya! Aku sudah mencoba melupakanmu selama empat tahun! Aku sudah mencoba menghukummu! Tapi kau… kau ada di setiap sudut ruangan ini! Kau ada di mata putraku! Kau ada di setiap nafas yang kuhela!”
Cengkeraman Dion beralih dari amarah menjadi keputusasaan. Rasa sakit yang mematikan karena ketidakpercayaan Aira dan hasrat yang tak terucapkan yang Dion pendam sejak Aira kembali, kini meledak.
Dion menunduk, mencium Aira.
Ciuman itu brutal, ganas, dan sangat intens. Itu bukan ciuman cinta; itu adalah ciuman kemarahan dan rindu yang bercampur aduk. Itu adalah upaya Dion untuk membuktikan kepada Aira melalui sentuhan bahwa tidak ada wanita lain di dalam hatinya, tidak ada Nayra, tidak ada masa lalu. Hanya Aira.
Aira melawan sejenak, meninju dada Dion. Ia marah, ia terluka, tetapi sentuhan Dion, amarah yang diwarnai keputusasaan itu, menariknya kembali ke dalam api.
Ia merangkul Dion, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama. Mereka tidak lagi bertengkar dengan kata-kata, tetapi dengan sentuhan. Semua rasa sakit, rasa takut, dan rasa bersalah yang terpendam, tumpah dalam adegan fisik yang kacau dan berapi-api.
Dion mendorong Aira ke tempat tidur. Ia merobek jubah yang ia kenakan, melakukan segalanya dengan kecepatan yang didorong oleh emosi murni—tidak ada kelembutan, hanya penuntutan.
Aira menerima semuanya, karena ini adalah satu-satunya cara mereka bisa berkomunikasi. Itu adalah momen pengakuan yang kasar, sebuah konfirmasi bahwa meskipun mereka bisa saling menyakiti dengan kata-kata, tubuh mereka tidak bisa berbohong. Mereka terikat. Terikat oleh takdir, terikat oleh anak, dan terikat oleh hasrat yang tidak akan pernah hilang.
Setelah badai emosi itu mereda, keheningan kembali. Kali ini, keheningan itu diisi dengan napas yang memburu dan air mata.
Dion ambruk di samping Aira. Dia tidak bergerak, hanya memeluk Aira erat-erat, wajahnya tersembunyi di rambut Aira.
Aira, yang seluruh tubuhnya terasa sakit dan lelah, akhirnya menangis lagi—tetapi bukan karena amarah atau ketakutan, melainkan karena pelepasan. Ia mencengkeram punggung Dion.
Mereka berdua menangis tanpa suara, air mata mereka bercampur. Untuk pria seangkuh Dion Arganata, tangisan itu adalah pengakuan kekalahan terbesar.
“Aku minta maaf,” bisik Dion, suaranya serak dan pecah. Ini adalah permintaan maaf yang tulus, bukan karena pertengkaran, tetapi karena kekerasan emosional yang ia bawa ke dalam hubungan mereka.
Aira hanya menggeleng, membiarkan tangisannya menjadi jawaban.
Setelah beberapa saat, Dion menjauhkan dirinya sedikit, menatap mata Aira di dalam kegelapan. Matanya kini penuh kesedihan, bukan lagi amarah.
“Aku… aku takut, Aira,” bisik Dion.
Aira terkejut. Itu adalah hal yang paling tidak ia harapkan. Dion Arganata, pria yang tak terkalahkan, mengakui ketakutannya.
“Tantri. Papa tiri. Nayra,” lanjut Dion, suaranya rendah dan penuh rasa sakit. “Mereka mengincarmu. Mereka mengincar Arvan. Mereka akan menggunakan segala cara untuk memisahkanku dari kalian.”
Dion mencium kening Aira dengan lembut, ciuman yang memohon perlindungan.
“Aku takut… aku takut kehilangan kalian berdua. Aku tidak pernah punya keluarga. Kalian adalah rumahku yang rapuh. Dan aku takut, aku tidak cukup kuat untuk melindungi kalian. Aku takut aku akan kembali menjadi monster yang kubenci, hanya untuk menyelamatkan kalian.”
Aira merasakan getaran yang menjalar di hatinya. Ini pertama kalinya Dion mengakui ketakutannya yang paling dalam—ketakutan kehilangan kendali dan kehilangan cinta.
Aira memegang wajah Dion dengan kedua tangannya. Ia menatap Dion, bukan lagi sebagai Tiran atau CEO, tetapi sebagai pria yang ia cintai empat tahun lalu, pria yang sangat rapuh.
“Saya juga takut, Dion,” bisik Aira. “Tapi kita punya Arvan. Kita punya benih itu. Kita punya darah kita. Dan itu membuat kita kuat.”
Aira memeluk Dion, memeluk pria yang ketakutan itu. Malam itu, mereka tidak lagi terikat oleh kontrak dan kebencian. Mereka terikat oleh rasa takut yang sama dan janji yang baru ditemukan: mereka akan melindungi keluarga kecil mereka, apa pun risikonya.
Luka fisik dan emosional malam itu terasa sangat menyakitkan, tetapi itu adalah luka yang membuahkan pemahaman dan pengakuan yang mutlak. Mereka adalah satu kesatuan melawan dunia Arganata yang kejam.
semoga cepet up lagi