NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ibu Yang Ingin Menikah Lagi

Hujan turun sejak sore, membasahi halaman rumah yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak ayah pergi, suara hujan selalu terdengar lebih keras. Setiap tetesnya seperti jatuh tepat di dadaku pelan, tapi menghantam berkali-kali.

Aku duduk di ruang tengah, menatap jendela yang samar oleh titik-titik air. Laras ada di dapur sejak tadi, pura-pura sibuk mencuci piring yang sebenarnya sudah bersih. Dimas mengurung diri di kamar, pura-pura belajar. Raka tertidur di sofa dengan selimut tipis yang sudah lusuh. Kami semua punya cara sendiri untuk menghindari satu sama lain sejak semua hal runtuh.

Tujuh bulan... Sudah tujuh bulan sejak perceraian itu resmi. Dan hanya tiga bulan sejak bayi itu anak pertama Laras pergi tanpa sempat mengeluarkan satu pun tangisan.

Aku masih ingat jelas hari itu. Bau rumah sakit. Tangis Laras yang menggema di lorong. Ibu yang pingsan di depan ruang bersalin. Dan ayah yang datang terlambat. Semua luka itu belum juga kering, tapi sekarang… entah mengapa rasanya ada luka baru yang hendak ditorehkan.

“Ibu minta kalian kumpul sebentar.”

Suara ibu terdengar dari kamarnya. Suara yang berusaha terdengar biasa, tapi gagal menyembunyikan getar halus di ujungnya.

Aku bangkit paling dulu. Laras menyusul, mengelap tangannya yang basah dengan kain lap kasar. Dimas keluar dengan wajah datar. Raka terbangun dengan mata setengah terpejam dan langsung duduk di sampingku tanpa bertanya apa pun.

Kami duduk melingkar di ruang tengah. Ibu keluar dari kamar dengan baju sederhana warna pastel. Rambutnya disisir rapi terlalu rapi untuk ukuran pertemuan keluarga biasa. Di wajahnya ada senyum kecil yang terasa dipaksakan.

Ada satu kursi kosong di antara kami. Kursi yang dulu selalu ditempati ayah.

Dadaku terasa sesak.

“Ibu mau bicara,” kata ibu pelan.

Tak ada yang menjawab. Tak ada yang berani memulai. Hanya suara hujan yang setia menjadi latar.

Ibu menarik napas panjang. Lalu berkata, “Ibu sudah cukup lama sendiri.”

Aku menegang.

“Ibu lelah,” lanjutnya. “Ibu juga ingin bahagia.”

Kalimat itu menggantung di udara. Laras menunduk. Dimas mengatupkan rahangnya erat. Raka menoleh padaku, bingung. Dan aku… aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini bahkan sebelum ibu mengucapkan kata berikutnya.

“Ibu ingin menikah lagi.”

Waktu seperti berhenti.

Aku mendengar suara detak jam dinding lebih jelas dari biasanya. Bahkan hujan di luar terdengar seperti gema jauh.

“Apa?” suara Laras pecah lebih dulu. Serak. Tidak percaya.

“Ibu serius,” jawab ibu pelan tapi mantap. “Ibu sudah tujuh bulan sendiri. Hidup tidak bisa berhenti di satu titik.”

“Dan bayi Laras baru meninggal tiga bulan lalu, Bu,” suara Dimas akhirnya keluar, rendah, dingin. “Menurut ibu… ini waktu yang tepat?”

Kalimat itu seperti pisau.

Wajah ibu seketika pucat. Tangannya gemetar di pangkuan. “Justru karena hidup terlalu banyak kehilangan, ibu ingin belajar menggenggam lagi.”

Aku menatap ibu lekat-lekat. Ada sisi dalam diriku yang ingin berteriak, ingin menyangkal, ingin menuduh ibu egois. Tapi ada juga sisi lain yang melihat ibu sebagai perempuan yang ditinggal setelah tiga puluh tahun menikah… perempuan yang tidur sendiri setiap malam… perempuan yang menangis diam-diam di kamar setelah semua anaknya tertidur.

“Ayah baru tujuh bulan pergi,” ucapku akhirnya, sangat pelan. “Ibu tidak takut kami merasa ayah… benar-benar digantikan?”

Bibir ibu bergetar. “Tidak ada yang bisa menggantikan ayah kalian.”

“Tapi menikah lagi artinya mengganti posisi itu,” Laras berdiri mendadak. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Kami ini apa, Bu? Keluarga yang gagal sampai harus diganti juga?”

“Laras!” ibu bangkit setengah berdiri.

“Aku masih mimpiin anakku tiap malam!” teriak Laras. “Dan sekarang ibu bilang mau menikah lagi?”

Tangisnya pecah. Tubuhnya gemetar hebat. Aku reflek memeluknya, menahan tubuhnya yang lemas. Luka Laras terlalu dalam untuk menerima kabar seperti ini.

“Ibu tidak bermaksud menyakiti siapa pun,” suara ibu ikut bergetar. “Ibu hanya ingin… punya teman menjalani sisa hidup.”

“Hidup ibu bukan sisa,” potong Dimas tajam. “Tapi kami juga belum selesai berduka.”

Raka yang sejak tadi diam tiba-tiba bertanya, polos, “Ibu mau punya ayah baru?”

Pertanyaan itu jatuh seperti batu besar.

Wajah ibu hancur. Ia menghampiri Raka dan memeluknya erat. “Kamu tidak akan pernah kehilangan ayahmu, Nak…”

“Tapi ayahnya siapa nanti?” Raka berbisik, jujur tanpa filter.

Tak ada yang menjawab.

Aku menggenggam tangan Raka erat. Tanganku dingin. Kepalaku penuh oleh bayangan ayah: suara langkahnya setiap sore, cara ia memanggil namaku, caranya memarahi kami yang sekarang terasa sangat jauh.

Tujuh bulan lalu, keluarga kami resmi pecah.

Dan sekarang… ibu ingin membangun rumah baru di atas puing yang bahkan belum sempat kami rapikan.

“Ibu sudah mengenalnya lama?” tanyaku akhirnya, mencoba setenang mungkin.

Ibu mengangguk ragu. “Beberapa bulan.”

“Beberapa bulan?” Dimas tertawa sinis. “Artinya sejak ayah masih di rumah?”

“Tidak!” bantah ibu cepat. “Setelah perceraian!”

“Tapi jaraknya terlalu dekat,” jawab Dimas keras. “Terlalu cepat untuk kami.”

Tangis ibu mengalir. Tangis yang selama ini ia sembunyikan di balik wajah kuatnya sebagai ibu. “Ibu juga sendiri sejak sebelum perceraian itu terjadi,” ucapnya pilu. “Kalian tidak tahu seberapa sepinya hidup ibu di dalam pernikahan itu…”

Kalimat itu menusukku lebih dalam. Berarti selama ini… yang kami lihat hanya cangkang. Aku ingin marah, tapi aku juga mulai memahami.

Pertemuan itu berakhir tanpa kesimpulan. Laras mengurung diri di kamar, menangis tanpa suara. Dimas pergi keluar rumah meski hujan masih deras. Raka tertidur kembali sambil memeluk lenganku. Ibu masuk kamarnya dengan langkah tertatih.

Dan aku masih duduk di ruang tengah, sendirian.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak perceraian, aku merasa kehilangan ayah untuk kedua kalinya.

Yang lebih menyakitkan bukan tentang hadirnya pria baru itu. Tapi tentang kenyataan bahwa ibu sudah melangkah maju… sementara kami masih terjebak di titik runtuh.

Aku tahu satu hal dengan pasti: Keputusan ini akan membelah keluarga kami untuk kedua kalinya.

Dan kali ini, retaknya tidak akan sederhana.

Malam semakin larut ketika Dimas akhirnya pulang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Pintu dibuka tanpa suara keras, tapi langkah kakinya yang berat tetap terdengar jelas di telingaku. Sejak tadi aku memang belum tidur. Aku duduk di tepi ranjang dengan lampu kamar redup, menunggu entah apa.

Aku keluar kamar dan berdiri di dekat tangga ketika Dimas melewati ruang tengah. Bajunya basah, rambutnya meneteskan air hujan. Wajahnya keras, lebih keras dari biasanya.

“Kamu dari mana?” tanyaku.

Dimas berhenti, menoleh singkat. “Menentukan apakah aku masih pantas tinggal di rumah ini.”

Aku tercekat. “Jangan bicara begitu.”

“Kenapa? Ibu saja sudah siap membangun rumah baru,” balasnya, pahit.

Aku mendekat. “Kita tetap anak-anaknya. Apa pun keputusan ibu, kita masih keluarga.”

Dimas menatap lurus ke mataku. “Keluarga macam apa yang membangun kebahagiaan di atas duka kami?”

Aku tak sanggup menjawab.

Ia langsung masuk kamar dan membanting pintu. Dentumnya membuat Raka terbangun dan memanggil namaku kecil dari kamarnya. Aku menghampirinya, membaringkan kembali tubuh kecil itu, menepuk punggungnya sampai napasnya kembali teratur.

Malam itu, seluruh rumah seperti dipenuhi napas tertahan.

Keesokan paginya, udara terasa berat. Tak ada suara sendok beradu dengan piring. Tak ada obrolan ringan seperti dulu. Aku mendapati ibu duduk di ruang makan sendirian, menyesap teh yang sudah dingin. Matanya bengkak, jelas semalam ia menangis lama.

Laras tidak keluar kamar. Dimas juga. Hanya aku dan Raka.

“Ibu tidak tidur?” tanyaku pelan.

Ibu menggeleng. “Ibu takut kalian membenci ibu.”

Aku duduk di depannya. “Kami tidak membenci ibu. Kami hanya… belum siap.”

Ibu menatapku dengan mata merah. “Apa ibu salah kalau ingin hidup lagi?”

Pertanyaan itu memukulku tepat di dada.

“Tidak salah,” jawabku jujur. “Tapi kami juga ingin diberi waktu, Bu. Terutama Laras.”

Nama itu membuat tatapan ibu meredup. “Ibu tahu. Ibu terlalu egois semalam.”

Aku menggenggam tangan ibu. Tangannya dingin.

“Ibu sudah bertemu dia?” tanyaku hati-hati.

Ibu terdiam sesaat. Lalu mengangguk. “Namanya Pak Arman.”

Nama itu terasa asing di telingaku. Terlalu asing untuk disebut di rumah yang masih dipenuhi bayangan ayah.

“Dia duda?” tanyaku.

“Ya. Punya satu anak laki-laki, sudah kuliah.”

Aku menghela napas. “Dan ibu yakin?”

Ibu menunduk. “Ibu hanya ingin ditemani. Ibu lelah menua sendirian.”

Kalimat itu membuat tenggorokanku tercekat. Untuk pertama kalinya, aku melihat ibu bukan sebagai ibu kami… tapi sebagai seorang perempuan yang kesepian.

Siangnya, Dimas benar-benar pergi. Ia hanya meninggalkan pesan singkat di ponselku.

“Aku nginep di tempat teman. Jangan cari aku dulu.”

Aku menunjukkan pesan itu pada ibu. Wajah ibu kembali pucat.

“Ini salah ibu,” lirihnya.

Sore harinya, giliran Laras yang keluar kamar. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Ia duduk di sampingku tanpa menyapa siapa pun.

“Kamu mau makan?” tanyaku.

Ia menggeleng. “Aku mau ke makam.”

Aku terdiam. Makam bayi itu.

Aku mengantar Laras hingga depan rumah. Hujan kembali turun rintik-rintik. Aku berdiri di teras sampai punggungnya menghilang di balik tikungan. Ibu tak sanggup ikut mengantar. Ia hanya berdiri di balik pintu, menatap kosong.

“Ini jadi semua berantakan,” gumam ibu.

Aku tidak membantah.

Malamnya, Dimas tidak pulang. Laras pun tidak. Teleponku tak diangkat. Raka mulai rewel karena merasakan kecemasan yang tak bisa ia pahami. Ibu berkali-kali mondar-mandir dari pintu ke jendela.

“Seharusnya ibu tidak mengatakan apa pun kemarin,” katanya berulang kali.

“Bukan soal kapan, Bu,” jawabku pelan. “Ini tentang seberapa siap hati kami.”

Ibu terduduk lemas di sofa. Tangisnya kembali jatuh tanpa suara. Aku memeluknya. Untuk pertama kalinya sejak perceraian, ibu menangis di dadaku, bukan sebaliknya.

“Ayahmu dulu selalu ada kalau ibu jatuh,” lirihnya. “Sekarang ibu jatuh sendirian.”

Kalimat itu membuat mataku panas.

Kami sama-sama kehilangan. Hanya bentuknya yang berbeda.

Dua hari kemudian, Laras akhirnya pulang. Wajahnya tampak lebih tenang, meski matanya masih menyimpan nestapa. Ia langsung masuk kamar tanpa bicara. Dimas baru muncul malamnya, membawa aroma rokok yang tak pernah ia sentuh sebelumnya.

Kami kembali duduk di ruang tengah. Ibu memanggil kami dengan suara yang jauh lebih hati-hati dari sebelumnya.

“Ibu tidak akan memaksa,” katanya. “Ibu akan memberi waktu.”

Dimas menyilangkan tangan. “Sampai kapan?”

“Sampai kalian bisa menerima,” jawab ibu.

“Atau sampai ibu menyerah?” tanya Dimas tajam.

Ibu terdiam. Aku bisa melihat betapa dilema itu menghancurkannya dari dalam.

“Aku tidak bisa menerima sekarang,” suara Laras akhirnya keluar. “Bukan karena aku membenci ibu. Tapi karena aku belum selesai dengan anakku.”

Ibu menunduk. Air matanya jatuh tepat di kain rok.

Raka memeluk kaki ibu. “Aku tidak mau ayah baru.”

Kalimat polos itu kembali menghantam kami semua.

Ibu membelai rambut Raka dengan tangan gemetar. “Kamu boleh tidak mau, Nak.”

“Mama tetap mama?” tanya Raka lirih.

Ibu mengangguk, menangis. “Selamanya.”

Aku menatap mereka semua. Aku tahu, sejak malam itu, keluarga ini tidak lagi utuh seperti dulu. Bukan hanya karena ayah pergi, bukan hanya karena bayi yang tiada, tapi juga karena masing-masing dari kami membawa luka dengan cara berbeda.

Dan kini, ibu sedang berdiri di persimpangan hidupnya.

Jika ia memilih melangkah, kami mungkin tertinggal.

Jika ia berhenti, ia mungkin kehilangan dirinya sendiri.

Aku sadar, Babak baru keluarga ini telah dimulai.

Bukan tentang kehilangan lagi… Namun tentang keputusan siapa yang harus berkorban.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!