Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Kehilangan itu sakit
Seharian Arum tak kembali ke rumah, suasana rumah keluarga Argantara terasa hampa. Tak ada suara langkah Arum di dapur, tak ada aroma teh hangat yang biasa menyambut pagi. Yang tersisa hanya Reghan, duduk di ruang tamu dengan koran yang tak benar-benar dibacanya. Setiap lembar yang dibalik hanya menjadi alasan agar ia tak terlihat menunggu.
Oma Hartati turun dari lantai atas, langkahnya pelan namun tajam ketika melihat cucunya duduk diam seperti patung.
“Arum belum juga pulang?” tanyanya, suaranya berat tapi terkontrol.
Reghan mendongak perlahan. “Belum, Oma.”
“Dia marah?”
“Mungkin…” jawabnya singkat.
Oma menarik napas panjang, lalu duduk di seberang Reghan. “Perempuan itu bukan tipe yang meninggalkan rumah tanpa alasan. Kau pasti telah membuatnya terluka parah.”
Ucapan itu menembus dada Reghan lebih dalam dari yang ia sangka. Ia menatap meja di antara mereka, di mana kalung peninggalan ibunya kini tergeletak, belum juga dikembalikan ke tempat semula.
“Dia salah paham, Oma. Aku tidak bermaksud meninggalkannya saat pesta. Aku hanya...”
“Berusaha menyelamatkan istri orang lain,” potong Oma cepat. “Dan kau pikir Arum tidak melihat itu?”
Reghan menunduk, suara hatinya berperang dengan penyesalan yang menumpuk.
Oma melanjutkan, “Aku sudah tua, Reghan. Tapi bahkan aku tahu, perempuan tidak butuh alasan besar untuk merasa hancur ... cukup satu momen kecil yang membuatnya merasa tidak dipilih.”
Reghan akhirnya beranjak dari kursinya, mengambil jaket, dan berkata pelan, “Aku akan mencari dia.”
Oma menatap punggung cucunya itu sebelum ia benar-benar melangkah pergi. “Kalau kau menemukannya, jangan hanya membawa tubuhnya pulang, Nak. Pastikan kau membawa hatinya juga.”
Di luar, langit masih kelabu sisa hujan semalam. Reghan mengemudi sendiri, tanpa sopir, menelusuri jalan menuju daerah yang dulu pernah disebut Arum sebagai tempat tinggalnya sebelum dia diangkat oleh keluarga Pratama. Mobil berhenti di depan rumah kecil yang cukup sederhana.
Dia turun, mengetuk pintu beberapa kali, tak ada jawaban. Tapi dari balik jendela, ia bisa melihat koper terbuka dan foto pernikahan mereka di atas meja. Reghan berdiri lama di depan pintu itu, tangan terangkat namun tak berani mengetuk lagi.
Suara hatinya terlalu gaduh, sementara bibirnya hanya mampu berbisik pelan,
“Arum … kalau kau mendengar ini, aku tidak ingin kau pergi, tidak kali ini.”
Hujan turun perlahan, seperti sengaja menutupi pertemuan dua hati yang retak di halaman rumah kecil itu. Reghan berdiri di depan pintu, tubuhnya basah kuyup tanpa payung. Begitu pintu terbuka, Arum muncul wajahnya pucat, matanya sembab seperti baru saja menangis semalaman.
“Arum…”
Nada suara Reghan pelan, tapi di baliknya ada tekanan berat yang hanya bisa muncul dari seseorang yang menyesal terlalu dalam.
“Aku sudah menunggumu sejak pagi.”
Arum memalingkan wajah. “Untuk apa? Supaya aku kembali pura-pura bahagia di rumah itu?”
“Bukan, aku ingin kau pulang karena tempatmu memang di sana, bersamaku.”
Arum tertawa getir. “Bersamamu?”
Tatapannya tajam, matanya bergetar menahan emosi.
“Seorang suami yang membiarkan istrinya jatuh dan memilih menyelamatkan perempuan lain, bahkan kalau itu istri saudara tirinya, tidak pantas disebut suami, Tuan Reghan.”
Kata-kata itu menghantam Reghan keras, lebih dalam dari tamparan. Dia membuka mulut, ingin menjelaskan, namun tak ada kata yang cukup untuk menebus kesalahan itu.
“Aku tak ingin kembali,” lanjut Arum lirih. “Aku lelah. Aku bukan siapa-siapa di rumah itu. Bukan istri yang dicintai, bukan menantu yang diinginkan.”
Reghan melangkah maju, suara hujan makin deras. “Kau tetap istriku, Arum. Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Kau milikku...”
“Milikmu?” potong Arum dengan nada tinggi. “Istri bukan barang, Tuan Reghan! Aku manusia. Aku bisa merasakan sakit saat ditinggalkan. Aku juga punya harga diri.”
Reghan terdiam, tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena rasa bersalah yang nyaris menyesakkan dada. Namun ketika Arum hendak berbalik masuk ke dalam rumah, ia menahan pergelangan tangan wanita itu.
“Cukup, Tuan Reghan!” seru Arum, berusaha melepaskan diri. “Lepaskan aku...”
Tapi pria itu tak melepaskannya. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Arum ke pelukannya.
“Tuan Reghan! Apa yang kau lakukan!”
“Kalau kau tidak mau kembali dengan baik-baik, maka aku akan memaksamu,” katanya serak, nadanya bergetar di antara marah dan putus asa. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”
Arum memukul dada Reghan, berteriak kecil di tengah hujan, namun tenaga pria itu lebih kuat. Ia menggendongnya seperti karung beras kasar, tergesa, dan penuh emosi yang tidak tahu harus disalurkan ke mana.
Reghan membuka pintu mobilnya dan menurunkan tubuh Arum di kursi penumpang.
Arum menunduk, napasnya berat.
“Kau pikir dengan begini aku akan berubah pikiran?”
Reghan menatap lurus ke depan, tangannya menggenggam kemudi.
“Tidak, tapi aku akan pastikan kau mendengarkan penjelasanku dulu, sebelum kau memutuskan untuk benar-benar meninggalkanku.”
Mobil melaju di bawah guyuran hujan deras, meninggalkan rumah sederhana itu. Di dalam kabin yang sunyi, hanya terdengar napas keduanya dan sisa perasaan yang belum selesai antara cinta, luka, dan penyesalan.
Jawab nya penderitaan dan semua itu karena lo plinplan jadi suami , lo nggak becusss jadi suami 😠😠😠