HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Penolakan Ketiga
Setahun berlalu sejak penolakan Rina.
Dewanga kini berusia dua puluh dua tahun. Wajahnya semakin keras, matanya semakin dingin. Ia bekerja seperti mesin—bangun, kerja, pulang, tidur. Tidak ada harapan. Tidak ada mimpi.
Hanya rutinitas yang mematikan.
Sampai suatu hari, Imam mengajaknya ke hajatan tetangga.
"Dewa, ikut gue. Jangan di rumah mulu. Lo kayak mayat hidup."
Dewangga awalnya menolak, tapi Imam memaksa. Akhirnya ia ikut—lebih karena lelah dibujuk daripada karena ingin pergi.
Di hajatan itu, ia bertemu Sinta—janda muda berusia dua puluh delapan tahun dengan satu anak perempuan berusia lima tahun.
Sinta duduk sendirian di pojok, menggendong anaknya yang tertidur. Wajahnya lelah tapi cantik—ada kesedihan yang sama dengan yang Dewanga rasakan.
Imam yang usil langsung menyenggol Dewanga. "Tuh, janda muda. Cantik lagi. Coba deh kenalan."
"Gak ah. Gak minat."
"Sok. Mana tau jodoh. Janda mah lebih realistis, gak nuntut macem-macem."
Dewanga menatap Sinta lebih lama. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya... penasaran.
Seminggu kemudian, secara tidak sengaja, mereka bertemu lagi di pasar.
Sinta sedang membeli sayur sambil menggandeng anaknya. Dewanga yang kebetulan lewat, menyapanya.
"Bu Sinta?"
Sinta menoleh, sedikit kaget. "Oh, Mas... Mas yang waktu itu di hajatan kan?"
"Iya, Bu. Dewanga."
"Iya, saya inget. Ada perlu apa, Mas?"
"Gak ada... cuma kebetulan lewat. Belanja sendiri, Bu?"
Sinta mengangguk. "Iya. Biasa. Sendirian."
Dewanga melihat anak perempuannya yang memandang dengan mata polos. "Anak Ibu?"
"Iya. Namanya Putri."
Percakapan singkat itu berlanjut. Dewanga membantu Sinta membawa belanjaannya hingga ke rumahnya yang tidak jauh dari pasar.
Sejak itu, mereka mulai sering bertemu—tidak sengaja, tapi juga tidak benar-benar kebetulan.
Tiga bulan kemudian, Dewanga mulai serius. Ia merasa Sinta berbeda—lebih dewasa, lebih tenang, tidak banyak tuntutan.
Suatu sore, ia mengajak Sinta ngobrol.
"Bu Sinta... saya mau bilang sesuatu."
Sinta menatapnya dengan wajah datar—sudah bisa menebak.
"Saya... saya suka sama Ibu. Saya tau Ibu janda, punya anak. Tapi saya gak masalah. Saya serius. Saya mau tanggung jawab."
Sinta terdiam lama.
Lalu ia tersenyum pahit. "Mas Dewa... Mas kerja apa?"
Pertanyaan itu lagi.
Dewanga menelan ludah. "Saya kuli bangunan, Bu."
"Penghasilan berapa sebulan?"
Dewanga terdiam. Tidak pernah ada yang langsung menanyakan ini.
"Gak... gak tentu, Bu. Kadang sejuta, kadang kurang."
Sinta mengangguk pelan. "Mas, saya hargai niat baik Mas. Tapi saya harus realistis. Saya punya anak. Anak saya harus sekolah, harus makan, harus hidup layak. Mas bisa jamin itu?"
Dewanga terdiam.
Sinta melanjutkan dengan nada dingin. "Saya udah pernah hidup susah, Mas. Suami saya dulu juga kerja serabutan. Kami gak punya apa-apa. Akhirnya dia ninggalin saya karena gak kuat tanggung jawab. Saya gak mau ngulangin kesalahan yang sama."
"Bu, saya gak kayak suami Ibu. Saya—"
"Mas, semua cowok bilang gitu. Tapi pada akhirnya, yang penting itu uang. Tanpa uang, cinta itu gak cukup."
Kata-kata itu menusuk seperti pisau.
Dewanga menatap Sinta dengan mata kosong. "Jadi... Ibu nolak saya?"
"Iya, Mas. Maaf. Saya harus mikirin anak saya dulu."
Hening.
Dewanga berdiri. Tidak ada air mata. Tidak ada kemarahan.
Hanya... kekosongan.
"Terima kasih, Bu. Maaf udah ganggu."
Ia berbalik, berjalan pergi dengan langkah gontai.
Malam itu, Dewanga duduk di tepi sungai kecil dekat rumahnya. Menatap air yang mengalir pelan.
Di tangannya, sebuah batu kecil. Ia melemparnya ke sungai—bunyi cipratan kecil, lalu hening lagi.
"Tiga kali," bisiknya parau. "Tiga kali ditolak. Semuanya karena... aku miskin."
Ia melempar batu lagi.
"Ayah bilang, kerja keras itu akan membuahkan hasil. Tapi kenapa... kenapa aku kerja keras tapi tetep aja... tetep aja gak cukup?"
Ia menatap pantulan bulan di air sungai.
"Mungkin... mungkin aku emang gak berguna. Mungkin aku emang gak layak dicintai."
Angin malam berhembus dingin.
Dewanga memeluk lututnya, menunduk dalam-dalam.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar... sendirian.