Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 34: Kejatuhan Bintang yang Ditempa Baja
Pagi di Gunung Pedang Terbang terasa aneh. Udara dingin, tapi ada tekanan halus yang membuat setiap daun gemetar sebelum jatuh ke tanah.
Liang Chen berdiri di tengah lapangan batu yang lembap, tubuhnya masih dipenuhi bekas luka dari pelatihan sebelumnya. Di hadapannya, Guru Kui Xing berdiri dengan tangan di belakang punggung, wajahnya datar, hanya mata tuanya yang tampak menyala.
“Kau sudah belajar menyerang,” katanya pelan. “Sekarang kau akan belajar bertahan.”
Liang Chen mengangguk. Ia menggenggam Kesunyian Malam lebih erat, jari-jarinya menegang. Ia tidak tahu seperti apa latihan pertahanan yang dimaksud gurunya, tapi firasatnya mengatakan, itu tidak akan ringan.
Guru Kui Xing mengangkat tangan, dan beberapa batu di sekitarnya bergetar, terangkat perlahan ke udara. Masing-masing batu itu mengeluarkan suara lirih, seperti berderak karena tekanan energi. Liang Chen sempat menelan ludah saat merasakan kekuatan spiritual yang ditanamkan di dalamnya.
“Batu ini padat dengan energi spiritual,” ujar Guru Kui Xing. “Setiap satu dari mereka bisa menghancurkan tulang seekor serigala baja. Kau harus menahannya dengan pedangmu, tidak boleh menghindar, tidak boleh menyerang balik.”
Sebelum Liang Chen sempat menjawab, batu pertama meluncur. Suaranya menembus udara seperti letusan kecil.
Liang Chen mengangkat pedangnya spontan. Benturan keras terjadi, menghasilkan percikan merah yang memancar dari bilah Kesunyian Malam. Aura Pembantaian yang biasanya tajam dan mematikan kini bergetar, seolah menolak dijadikan tameng.
Tubuh Liang Chen terpental dua langkah ke belakang. Ujung sepatunya menyeret tanah basah, tapi ia tetap berdiri.
Guru Kui Xing tidak memberi waktu. Batu kedua datang, lebih cepat dari sebelumnya. Liang Chen menangkis lagi, kali ini aura merah pada pedangnya menyebar lebih luas, membentuk semacam lapisan tipis di udara. Suara benturan bergema, tapi kali ini ia tidak mundur.
“Gunakan amarahmu sebagai dinding,” kata Guru Kui Xing, nadanya tenang. “Biarkan Pembantaian menjaga tubuhmu, bukan menghancurkan.”
Kata-kata itu menancap di kepala Liang Chen. Ia menarik napas, mencoba memusatkan pikiran. Biasanya, Energi Pembantaian di dalam dirinya bergerak seperti api liar, menyala tanpa arah. Tapi sekarang ia mencoba menekannya, menahannya agar tetap di kulit, mengalir di permukaan tubuh dan bilah pedang.
Batu ketiga menghantam. Kali ini, pedang Liang Chen memantulkannya. Batu itu pecah di udara, tapi serpihannya justru beterbangan dan melukai pipinya. Ia tidak bersuara, hanya mengusap darah yang menetes di ujung dagu.
Guru Kui Xing berjalan mendekat, suaranya rendah namun menusuk. “Pertahanan bukan tentang menunggu serangan. Pertahanan sejati adalah saat kau membuat musuhmu ragu untuk menyerang lagi.”
Liang Chen menatap batu keempat yang sudah bergetar di udara. Ia tidak menunggu. Ia melangkah maju, pedangnya diangkat miring, aura merahnya membentuk setengah lingkaran di depan tubuh.
Saat batu itu datang, bukan Liang Chen yang mundur, tapi energi dari pedangnya yang menolak serangan itu keluar, menghancurkan batu sebelum menyentuhnya.
Debu beterbangan. Liang Chen berdiri di tengahnya, bahunya naik turun. Energinya mulai tidak stabil, tapi matanya tajam seperti saat pertama kali memegang pedang itu.
Guru Kui Xing tersenyum samar. “Bagus. Tapi ini baru kulitnya saja. Kau belum memahami artinya menahan serangan tanpa kehilangan kendali.”
Batu terakhir terangkat ke udara. Besarnya dua kali lipat dari yang sebelumnya. Energi spiritual di dalamnya bergemuruh, menimbulkan getaran halus di tanah. Liang Chen tahu, satu benturan saja bisa mematahkan tulang rusuknya.
Ia menurunkan posisinya sedikit, lalu menutup mata. Dalam kegelapan itu, ia merasakan energi di dalam tubuhnya berputar, panas, berisik, berwarna merah tua. Ia menahannya di dada, lalu perlahan mendorongnya ke luar, membentuk lapisan yang tebal di sekitarnya.
Saat batu itu meluncur, suara dunia seakan hilang sesaat. Liang Chen mengangkat pedangnya, lalu…
Dentuman besar mengguncang udara.
Debu meluap ke segala arah, mengguncang pepohonan di sekitar lapangan. Batu itu hancur menjadi debu halus, dan Liang Chen berlutut, bahunya bergetar keras. Tapi ia masih hidup. Pedangnya masih utuh, dan lapisan merah di sekitarnya masih berdenyut seperti jantung yang berdetak pelan.
Guru Kui Xing melangkah mendekat. “Sekarang kau tahu,” katanya lirih, “bahwa amarah bisa menjadi tameng sekuat baja, asal kau tidak membiarkannya menelanmu.”
Liang Chen menatap pedangnya, napasnya berat. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar memahami separuh dari kekuatan yang selalu menghantuinya.
Malam turun di Gunung Pedang Terbang, tapi Guru Kui Xing belum menghentikan latihan. Langit terbentang penuh kabut tipis, seolah bintang-bintang di atas enggan menatap ke bawah. Di tengah dingin itu, Liang Chen masih berdiri dengan tubuh penuh debu dan darah kering di pelipisnya.
Guru Kui Xing memandangi muridnya lama, lalu berucap pelan, “Sekarang kita melangkah ke tahap berikutnya. Serangan dan pertahanan tidak boleh terpisah. Pedangmu harus bisa menjadi tamengmu.”
Liang Chen menegakkan tubuh, mata merahnya memantulkan cahaya dari api unggun kecil di pinggir lapangan. Ia mendengar langkah gurunya mendekat, lalu sesuatu diletakkan di tanah di depannya , sepotong batu abu-abu berbentuk spiral, memancarkan aura dingin.
“Inilah Batu Penahan Langit,” jelas Guru Kui Xing. “Gunakan pedangmu untuk menyalurkan energi melingkar. Jangan menyerang. Jangan menebas. Biarkan energi bergerak di sekelilingmu. Jika berhasil, pusaran energi itu akan menahan semua serangan di sekitarmu.”
Liang Chen mengangkat pedangnya, perlahan memejamkan mata. Ia menarik napas panjang, mencoba memusatkan Energi Pembantaian di tubuhnya seperti air yang ditampung dalam wadah rapuh. Setiap gerakan kecil di dalam meridian terasa seperti pisau yang menusuk dari dalam, tapi ia bertahan.
Pedang Kesunyian Malam mulai bergetar, memancarkan kilau merah samar. Liang Chen mengayunkannya pelan dalam gerakan melingkar, mengikuti bentuk spiral pada batu di depannya.
Suara lembut seperti desir angin terdengar, lalu berubah menjadi dengung berat saat aura merah itu mulai membentuk lingkaran tipis di udara.
Namun sesaat kemudian, lingkaran itu pecah. Ledakan kecil membuat tanah di bawahnya retak, dan Liang Chen terdorong mundur. Napasnya terputus. Ia mencoba menahan rasa sakit di lengan kanan yang berdenyut hebat.
“Energi Pembantaian terlalu keras,” komentar Guru Kui Xing tanpa ekspresi. “Kau memperlakukannya seperti musuh. Padahal, ia adalah bagian dari tubuhmu sendiri.”
Liang Chen mengangkat wajahnya, peluh bercampur darah di dagu. “Bagaimana mungkin aku bisa menganggapnya bagian dari diriku,” gumamnya, “kalau energi ini selalu berbisik untuk membunuh?”
Guru Kui Xing menatapnya dengan mata gelap seperti malam. “Karena pembunuhan bukanlah tujuannya. Energi itu adalah hasil. Ia adalah bayangan dari niat hidupmu yang kuat. Kau bisa melawannya, atau menggunakannya. Pilihanmu menentukan jalanmu, Chen’er.”
Kata-kata itu menggema di dada Liang Chen. Ia kembali berdiri, mengangkat pedangnya lagi. Kali ini ia tidak menahan amarah, tapi juga tidak melepaskannya. Ia biarkan rasa marah itu mengalir pelan, menyusuri meridiannya seperti air panas yang mencari jalan sendiri.
Perlahan, ia mulai mengayunkan pedang membentuk lingkaran lagi. Setiap gerakan terasa berat, tapi ritmenya mulai seimbang. Aura merah tipis muncul di sekeliling tubuhnya, melingkar seperti kabut darah yang padat. Suara berdengung makin kuat, dan untuk pertama kalinya, energi itu tidak pecah.
Guru Kui Xing menyipitkan mata. “Teruskan. Biarkan lingkaran itu menutup dirimu.”
Liang Chen memusatkan semua kesadarannya pada pusaran energi itu. Ia menahannya di sekitar dada dan punggung, membuat semacam dinding tak kasatmata yang berputar cepat.
Ketika angin malam meniupkan debu ke arahnya, partikel itu langsung terhempas menjauh oleh lapisan energi yang berputar.
Setelah beberapa saat, ia membuka mata. Di sekelilingnya terbentuk pusaran merah yang berdenyut lembut. Ia berdiri di pusatnya seperti batu karang yang tak tersentuh badai.
Guru Kui Xing mengangguk pelan. “Itulah dasar dari Gerakan Ketiga: Perisai Angkasa. Pedangmu kini bukan hanya alat untuk menyerang, tapi juga perisai yang menyatu dengan tubuhmu. Di medan perang, kau tidak akan punya waktu untuk berpikir tentang bertahan. Tubuhmu harus menjadi jawabannya.”
Liang Chen menurunkan pedangnya perlahan. Pusaran energi itu menghilang, tapi sensasinya masih tertinggal di kulit, seperti hembusan panas yang belum padam.
Ia tahu, ia baru saja melangkah ke tahap baru. Tubuhnya bukan lagi wadah yang menampung amarah, tapi medan pertempuran tempat amarah itu tunduk pada kehendaknya.
Guru Kui Xing berbalik, suaranya kembali datar. “Besok pagi, kita lihat apakah kau bisa menahan serangan yang sebenarnya. Malam ini, biarkan energi itu tetap berputar dalam tubuhmu. Jangan biarkan ia padam.”
Liang Chen menatap punggung gurunya yang menjauh. Angin gunung berhembus membawa bau darah yang samar, dan di bawah sinar bulan, bilah Kesunyian Malam memantulkan cahaya merah seperti bintang kecil yang belum jatuh.
Pagi di gunung itu dimulai dengan kabut tebal. Udara begitu dingin hingga embun membeku di ujung dedaunan, berkilau pucat seperti serpihan kaca.
Liang Chen sudah berdiri di tengah lapangan pelatihan, tanpa mengenakan mantel pelindung. Tubuhnya hanya dibalut pakaian kasar yang telah koyak di beberapa bagian.
Guru Kui Xing berdiri di sisi seberang, membawa tongkat kayu panjang. Tidak ada peringatan, tidak ada aba-aba. Ia menjejak tanah, dan dalam sekejap, energi menekan turun dari langit.
Liang Chen merasakannya sebelum sempat bernapas. Tekanan spiritual milik sang Guru menghantam seperti gelombang baja yang menggulung dari segala arah. Tanah bergetar. Batu-batu kecil terangkat ke udara. Di bawah tekanan itu, lutut Liang Chen hampir menekuk.
“Pertahananmu masih belum menyatu,” suara Guru Kui Xing terdengar dingin, nyaris tanpa emosi. “Perisai bukan sekadar menahan. Ia harus menjadi bagian dari gerakanmu. Jika kau berpikir tentang bertahan, kau sudah terlambat.”
Tekanan berikutnya datang lebih kuat. Liang Chen memusatkan pikirannya pada pusaran energi merah di dalam tubuhnya, mencoba menyalurkan aura Pembantaian ke seluruh otot. Kulitnya mengeras, urat-uratnya menegang, dan bilah Kesunyian Malam di tangannya mulai bergetar hebat.
Ia memutar pedang itu pelan, membentuk lingkaran samar di depan dada. Energi merah mulai muncul lagi, berputar mengikuti arah bilah. Saat tekanan spiritual menghantamnya, pusaran itu memantul kuat, membuat debu di sekitar terlempar jauh.
Tapi Guru Kui Xing tidak berhenti. Ia mengayunkan tongkatnya ke depan. Gelombang energi padat, tajam seperti tombak, menghantam dari arah kanan. Liang Chen menggeser langkah, mengayunkan pedang ke arah datangnya serangan.
Benturan keras terdengar. Udara di sekitar mereka bergetar seperti logam yang dipukul. Liang Chen terpental beberapa langkah, namun ia tidak jatuh. Pusaran merah di tubuhnya meredup, tapi tidak padam.
Guru Kui Xing menatap muridnya tanpa kata. Matanya memantulkan pantulan merah samar dari aura Liang Chen, dan di wajahnya terselip sesuatu yang hampir menyerupai kepuasan.
“Sekali lagi,” katanya.
Latihan berlangsung lama, dari matahari pagi hingga bayangan pertama sore muncul di antara batu-batu besar. Liang Chen tidak menghitung berapa kali ia terlempar, berapa kali tubuhnya terbentur tanah.
Ia hanya tahu bahwa setiap kali ia berdiri kembali, pusaran energi itu lebih mudah dipanggil. Setiap rasa sakit mengajarinya ritme baru antara kekuatan dan kendali.
Saat matahari mulai turun, Guru Kui Xing akhirnya menurunkan tongkatnya. “Cukup.”
Liang Chen berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar hebat, tetapi matanya tetap menatap ke depan. Pusaran energi merah masih berputar di sekitar tubuhnya, tidak liar, tidak panas. Kini ia terasa seperti bagian alami dari dirinya.
Guru Kui Xing berjalan mendekat, menatap muridnya lama. “Sekarang kau tahu,” ujarnya pelan. “Baja bukan diciptakan dari kekuatan semata, tapi dari kehendak untuk tidak hancur. Itulah Pondasi Besimu yang sesungguhnya.”
Liang Chen mengangguk. Suaranya parau saat ia menjawab, “Aku mengerti, Guru.”
Angin sore menyapu lembah, membawa aroma rumput basah dan suara serangga. Guru Kui Xing berbalik dan berjalan menuju pondoknya. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, lalu melempar sebuah kantong kecil ke arah Liang Chen.
Liang Chen menangkapnya. Di dalamnya ada tiga Pil Panjang Umur berwarna gelap dan beberapa Batu Spiritual yang memancarkan cahaya lembut.
“Kau sudah siap meninggalkan gunung ini,” kata Guru Kui Xing tanpa menoleh. “Tapi ingat, pelatihan sejati dimulai di luar. Dunia akan memukulmu jauh lebih keras daripada yang kulakukan hari ini.”
Liang Chen menatap kantong itu lama, lalu menyelipkannya ke dalam jubahnya. “Aku tidak akan melupakan pelajaranmu, Guru.”
Guru Kui Xing tidak menjawab. Ia hanya menatap langit yang mulai berubah warna menjadi ungu kebiruan. “Wilayah Timur penuh dengan orang yang bermain dengan darah dan kekuasaan,” katanya pelan. “Kau boleh menumpahkan darah mereka jika itu keadilanmu. Tapi jangan biarkan amarah memimpin tanganmu.”
Liang Chen menunduk dalam. “Aku mengerti.”
Mereka berdiri dalam diam cukup lama. Matahari tenggelam perlahan, menyembunyikan puncak gunung di balik bayangan panjang.
Ketika angin malam kembali turun, Liang Chen melangkah menuju jurang di tepi lapangan latihan. Dari sana, ia bisa melihat lembah luas di bawah , dunia yang selama ini hanya ia dengar lewat cerita gurunya.
Di bawah sana, lampu-lampu kecil dari desa dan kota berkelap-kelip, seperti bintang yang jatuh ke bumi. Ia tahu di antara cahaya itu, ada kegelapan yang menunggu, dosa yang menunggu ditebus oleh pedangnya.
Ia mencabut Kesunyian Malam dari sarungnya. Bilah hitam itu memantulkan cahaya lembut bulan, dan garis merah samar mengalir di sepanjang sisi bilah , bukan liar, bukan haus, tapi hidup. Liang Chen mengangkat pedang itu ke depan wajahnya, lalu menunduk hormat.
“Terima kasih, Guru. Pedang ini akan membawa cahaya di antara darah yang harus jatuh.”
Guru Kui Xing berdiri di kejauhan, hanya menjawab dengan gumaman yang hampir tidak terdengar, “Semoga langit tidak membencimu seperti ia membenci kami dulu.”
Liang Chen menatap ke bawah gunung sekali lagi. Ia tahu jalan yang menunggunya penuh darah, tapi kali ini ia tidak gentar.
Angin gunung berhembus, membawa dedaunan kering berputar di sekelilingnya. Ia menyelipkan pedangnya ke pinggang, mengencangkan ikat kepala, dan melangkah perlahan menuju jalan setapak yang turun ke lembah.
Langkah pertamanya terasa berat, tapi setiap langkah berikutnya menjadi lebih mantap. Di belakangnya, Guru Kui Xing masih berdiri dalam diam, menatap punggung muridnya yang semakin jauh.
Kabut malam menelan sosok Liang Chen perlahan, menyisakan hanya satu hal , suara samar pedang yang bergetar lembut di udara, seperti bintang yang jatuh perlahan, tapi tak pernah padam.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.