“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Elena masih terus menangis. Bukan menangis rasa sakit karena tamparan Aldi, tapi karena merasa dirinya bodoh karena selama dua tahun ini mencintai pria yang salah.
Suara tangis Elena belum juga reda. Dadanya naik turun, pipinya basah. Rasanya semua energi terkuras, tapi otaknya justru berputar cepat. Pikirannya kembali ke momen di sofa tadi, Lisa dengan santai berada di rumahnya, Aldi yang dengan sadar membela sahabatnya itu.
Ponselnya bergetar di meja. Nama Axel muncul di layar.
Elena menatapnya lama sebelum akhirnya menggeser ikon hijau. Suaranya masih serak ketika menjawab.
“Halo ….”
“Lena?” Suara Axel terdengar hati-hati, sedikit cemas. “Kamu kenapa? Apa kamu lagi nangis?”
Elena menggigit bibir, menahan isak yang tersisa. “Iya.”
Hening sesaat di seberang. Lalu suara napas Axel terdengar berat. “Apa kamu sama Aldi bertengkar?”
Elena menarik napas panjang, mencoba bicara tenang. “Iya. Dan aku enggak mau di sini.”
“Aku jemput kamu,” ucap Axel cepat. “Sekarang. Tunggu aku di parkiran. Oke?”
Elena menutup mata. Ada rasa lega mendengar itu. “Oke.”
Tanpa pikir panjang, ia bangkit. Menghapus air mata dengan punggung tangan, lalu menarik tas selempang dan ponsel. Ia membuka pintu kamar.
Aldi masih duduk di sofa, tapi kali ini tubuhnya sedikit condong ke depan. Matanya langsung menatap Elena. “Kamu mau ke mana?”
Elena berhenti sejenak, tapi hanya sebentar. “Jauh dari kamu. Aku enggak mau lihat wajahmu.”
Aldi berdiri, wajahnya mengeras. “Kamu enggak bisa pergi begitu aja. Kita belum selesai.”
Elena melangkah cepat ke pintu. Aldi maju, menahan lengannya.
“Elena!”
Elena menoleh dengan mata merah. “Lepasin aku! Kalau kamu paksa aku tetap di sini, aku bakal teriak sampai semua tetangga keluar!”
Aldi terdiam sesaat. Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya Aldi melihat kemarahan Elena bukan sekadar drama. Ada api di mata istrinya.
Aldi melepaskan tangannya pelan. “Pergi kalau itu yang kamu mau,” ucap Aldi dengan nada datar. "Tapi, jangan harap bisa pisah dariku!"
Elena tak peduli apa yang pria itu katakan tanpa menunggu Aldi bicara selanjutnya dia langsung melangkah. Ia membuka pintu dan keluar, menutup pintu cukup keras hingga bunyinya menggema di lorong apartemen.
Lift terasa berjalan sangat lambat malam itu. Elena berdiri sambil menggenggam tasnya erat. Jantungnya berdebar, tapi kali ini bukan karena takut. Rasanya seperti akhirnya ia memilih untuk mengambil langkah sendiri.
Di parkiran, udara malam terasa dingin. Elena berdiri di samping pilar, memeluk dirinya sendiri. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Axel keluar, wajahnya terlihat tegang.
“Elena.”
Elena menatapnya. Ada sedikit rasa malu karena Axel melihat wajahnya bengkak dan mata sembab. Tapi begitu Axel mendekat dan menyentuh bahunya, rasa itu lenyap.
“Kamu gemetar,” ucap Axel pelan.
Elena mengangguk. “Aku … aku enggak kuat kalau harus di rumah bareng dia malam ini.”
“Pilihan tepat jika kamu keluar.” Axel membuka pintu mobil untuknya. “Ayo masuk.”
Elena menurut. Begitu duduk di kursi penumpang, ia menghela napas panjang. Rasanya seperti baru keluar dari penjara.
Axel duduk di kursi kemudi, menatap Elena sejenak sebelum menyalakan mesin. “Kamu mau ke mana? Hotel yang sama seperti kemarin, atau … kamu mau ke apartemenku?”
Elena menoleh, sedikit terkejut. “Ke apartemenmu?”
Axel mengangguk. “Aku akan lebih tenang kalau kamu ke apartemenku. Lagipula aku tinggal sendiri. Kamu bisa istirahat dengan nyaman.”
Elena berpikir sejenak. Lalu mengangguk. “Kalau begitu ke apartemenmu saja.”
Mobil melaju meninggalkan parkiran. Sepanjang perjalanan, mereka diam. Axel hanya sesekali melirik Elena, memastikan dia baik-baik saja.
Setelah setengah jam, mobil berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Axel turun lebih dulu, membukakan pintu.
“Ayo ikuti aku, kita naik. Kamu bisa tenang di sini.” Mereka masuk ke lift yang akan membawa ke apartemen pria itu.
Elena mengikuti. Apartemen Axel terlihat rapi, wangi aroma kayu. Ia berdiri di dekat pintu, merasa canggung.
“Kamu bisa duduk, Lena.” Axel meletakkan kunci mobil di meja. “Mau minum?”
Elena menggeleng. “Enggak usah.”
Axel duduk di sofa, lalu menatapnya. “Mau cerita?”
Elena menarik napas panjang. Ia duduk di seberang Axel. “Aku pulang … dan lihat Lisa ada di apartemen. Dia bersandar di paha Aldi. Seperti tak ada salah saja."
Axel mendengarkan dengan wajah serius.
“Aldi bilang mereka cuma ngobrol. Tapi … aku enggak bisa terima. Apalagi Lisa, dia sahabatku. Dia tahu aku lagi di luar kota, dan dia malah ….” Elena menunduk, matanya kembali berkaca-kaca. “Aku enggak tahan, Axel. Walau aku sudah tahu pengkhianat mereka, tetap saja aku tak bisa melihat semua itu di apartemenku."
Axel mendekat, duduk di sebelah Elena. Tangannya menyentuh punggung Elena perlahan. “Kamu enggak salah marah, Lena. Siapa pun di posisi kamu pasti bakal merasa dikhianati.”
Elena terisak kecil. “Aku bilang ke Aldi kalau aku dan kamu … sudah tidur bersama. Aku cuma ingin dia ngerasain sakitnya.”
Axel diam. Hanya tangannya yang tetap menepuk punggung Elena pelan. “Kamu bilang itu karena kamu marah. Itu wajar.”
Elena menghela napas berat. “Aku takut, Axel. Takut kalau ini akan membuat nama baikmu tercoreng."
Axel menatapnya, sorot matanya lembut tapi dalam. “Aku bisa menjaga namaku sendiri. Jangan takut."
Elena menoleh, menatap Axel. Ada kehangatan yang membuatnya sedikit tenang.
“Terima kasih, Axel.”
Axel tersenyum tipis. “Kamu bisa istirahat di kamar tamu. Aku siapin selimut.”
Malam itu Elena tidur di kamar tamu apartemen Axel. Meski pikirannya masih kacau, ia merasa sedikit lebih aman.
Paginya, Elena bangun lebih pagi. Matanya masih sembab. Ia keluar kamar dan mendapati Axel sudah siap dengan kemeja kerja.
“Gimana tidurmu? Nyenyak?” tanya Axel.
Elena mengangguk pelan. “Lumayan. Lebih nyenyak daripada di rumah.”
Axel tersenyum tipis. “Bagus. Ayo sarapan dulu. Aku sudah bikin roti panggang dan kopi.”
Elena duduk di meja makan. Aroma kopi memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya setelah semalam, ia merasa bisa menarik napas panjang.
“Axel ….” Elena menatap pria itu. “Terima kasih. Kalau kamu enggak telepon aku semalam, mungkin aku … enggak tahu akan melakukan apa.”
Axel menatapnya balik. “Kamu enggak sendiri, Lena. Aku ada di sini.”
Elena terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi menenangkan.
**
Selamat Siang. Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel anak online mama dibawah ini.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2