NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Usaha Memperbaiki Silaturahmi Ayah Dan Ibu

Pagi itu rumah ibu terasa lebih sepi dari biasanya. Setelah malam yang penuh tangis dan kecemasan karena kabar kehamilan Laras, suasana rumah seperti menyisakan udara berat yang menggantung di setiap sudut.

Alya bangun lebih cepat dari biasanya. Setelah subuh, ia duduk di ruang tamu sambil memeluk mug berisi teh hangat, menatap halaman kecil rumah ibunya yang masih dipenuhi sisa hujan semalam.

Ardi masih tidur di kamar tamu, sementara Murni ibu mereka sedang menyiapkan sarapan sederhana di dapur. Alya memperhatikan punggung ibunya yang tampak menua lebih cepat dari usia sebenarnya. Ada garis lelah yang semakin dalam di wajahnya, dan Alya tahu itu bukan hanya karena usia… tapi karena luka yang belum tuntas.

Luka akibat perpisahannya dengan sang ayah. Luka yang sampai hari ini masih membuat rumah itu terasa seperti dua dunia yang tak pernah benar-benar berdamai.

Alya menghembuskan napas pelan. Ada sesuatu yang memenuhi pikirannya sejak semalam sesuatu yang mengusik hatinya tanpa henti.

“Bu…” Alya memanggil pelan saat masuk ke dapur.

Murni menoleh sambil tersenyum kecil, meski matanya jelas tampak lelah.

“Sudah bangun? Sarapan dulu, Nak.”

Alya duduk di kursi. “Bu… Laras gimana?”

Ibunya menghela napas. “Masih tidur. Kasihan… hatinya masih takut.”

Keheningan sesaat. Hanya suara sendok mengenai piring. Kemudian Alya berkata pelan, tapi mantap:

“Bu… kayaknya kita harus ngomong sama Ayah.”

Gerakan Murni langsung berhenti. Punggungnya menegang. Sesaat dapur terasa sunyi seperti ruang kosong.

“Ngapain?” jawab ibunya lirih, tidak menoleh.

“Bu, Laras lagi rapuh banget. Dia butuh semuanya utuh. Meskipun Ayah dan Ibu sudah nggak bareng lagi… tapi dia tetap anak kalian.”

Murni memejamkan mata. Ada luka lama yang seperti ditarik paksa keluar melalui kata-kata itu.

“Ayahmu yang pergi, Al…” suaranya pecah, tapi ditahan. “Bukan Ibu yang meninggalkan.”

Alya berdiri dan mendekat. “Aku tahu, Bu. Tapi… kalau kita terus begini, luka yang dulu itu nggak akan sembuh-sembuh. Kita semua terjebak di masa lalu.”

Murni menunduk, bahunya bergetar sedikit. “Ibu nggak kuat, Ly… Ketemu ayahmu itu seperti membuka pintu yang Ibu tutup rapat-rapat selama bertahun-tahun.”

Alya menahan tangan ibunya, menggenggamnya.

“Bu, kita nggak minta Ibu balikan. Kita cuma minta silaturahmi dibenerin. Biar nggak ada lagi sesak yang ketahan.”

Murni menggigit bibir. Ia tidak menjawab, tapi Alya bisa melihat pergolakan besar di dalam matanya.

 ~~~

Saat itu Ardi muncul, masih memakai kaus dan celana tidur. Rambutnya acak-acakan, tapi matanya langsung membaca suasana tegang antara Alya dan ibunya.

“Kenapa?” tanyanya pelan.

Alya menatap Ardi, seolah meminta kekuatan.

“Aku mau ngomong sama Ayah,” jawab Alya pelan.

Ardi terdiam beberapa detik lalu mengangguk. “Kalau itu yang kamu mau… aku ikut.”

Murni menatap Ardi. Ada rasa hormat sekaligus rasa berat dalam sorot matanya.

“Ardi…” Murni berkata. “Kalau kamu ikut… kamu siap lihat Ayahnya Alya?”

Ardi mengangguk. “Saya ikut karena Alya. Bukan karena siap atau nggaknya, Bu.”

Murni memejamkan mata. Ia tahu Alya keras kepala tapi berhati lembut sama seperti dirinya dulu. Dan meski ia takut, ia tahu ini tidak bisa ditahan selamanya.

“Ayahmu sekarang tinggal sama istri barunya,” kata Murni lirih.

“Saya tahu, Bu,” jawab Ardi tenang.

“Kalau kamu ketemu dia nanti… jangan tanya soal masa lalu, ya?”

“Saya cuma mau menemani Alya.”

Alya menatap Ardi hangat, terharu, dan sedikit lega. Suaminya mungkin tidak sempurna, tapi ia tahu Ardi berusaha sekuat yang ia bisa.

 ~~~

Setelah sarapan, Alya bersiap. Ibu ingin ikut, tapi ia masih ragu. Alya tidak memaksanya.

Saat hendak berangkat, Laras keluar kamar dengan wajah pucat. Ia memegang perutnya, ketakutan masih tergambar jelas.

“Ka… Kakak mau ke rumah Ayah?” tanyanya pelan.

Alya mengangguk. “Kamu istirahat, ya. Kakak cuma mau ngomong sebentar sama Ayah.”

Laras menelan ludah. “Ayah… kira-kira mau nerima kita nggak, Kak?”

Alya memeluk Laras. “Kita cuma datang bersilaturahmi. Bukan minta apa-apa.”

Laras mengangguk sambil menahan air mata.

 ~~~

Perjalanan ke rumah ayah penuh keheningan. Mobil melaju pelan, sementara Alya meremas tangannya sendiri berkali-kali.

Ardi menoleh. “Kamu gugup?”

“Banget…” Alya menjawab sambil tersenyum pahit. “Terakhir aku lihat Ayah… dia sama perempuan itu. Aku masih ingat jelas.”

Ardi mengangguk pelan. Ia tahu luka itu masih segar. Luka seorang anak yang merasa dikhianati oleh figur laki-laki pertama dalam hidupnya.

“Tapi aku ke sini bukan buat nyalahin siapa-siapa,” Alya melanjutkan. “Aku cuma mau… nutup jarak yang selama ini kita biarin kebuka.”

Ardi mengambil tangan Alya dan menggenggamnya. “Kalau kamu butuh berhenti, bilang aku.”

Rumah ayah terlihat kecil tapi rapi. Bukan rumah mewah, tapi jelas lebih baik daripada kontrakan dulu. Alya menatap rumah itu lama, menahan gejolak emosi yang naik tanpa permisi.

Saat pintu diketuk, seorang perempuan membuka. Istri baru ayah. Wanita itu kaget melihat Alya, lalu sedikit canggung menyingkir.

“Pak… ada Alya…” katanya.

Alya menegakkan tubuh. Ardi berdiri di sampingnya, tegap seperti pagar yang siap menahan badai.

Ayah muncul.

Pria yang dulu begitu gagah kini tampak lebih kurus, lebih tua. Rambutnya banyak memutih. Matanya membesar begitu melihat Alya.

“Alya…” suaranya pecah. “Kamu… apa kabar, Nak?”

Alya terdiam. Tenggorokannya tercekat.

Ardi melangkah sedikit mendekat, memberi Alya keberanian.

“Alya ingin bicara, Pak,” Ardi berkata sopan.

Ayah menatap Ardi, lalu Alya, kemudian mengangguk pelan.

“Masuklah…”

Di ruang tamu yang sederhana itu, suasana begitu canggung. Ayah duduk di hadapan mereka, wajahnya bingung bercampur rasa bersalah.

Alya meremas ujung bajunya.

“Ayah…” suara Alya pecah. “Aku datang bukan buat nuntut apa pun. Bukan buat bahas masa lalu.”

Ayah mengangguk pelan. Ada air bening menumpuk di matanya.

“Aku cuma… ingin kita bisa saling menyapa lagi seperti manusia. Bukan seperti orang asing.”

Ayah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar.

“Ayah yang salah, Ly… Ayah yang bikin kamu dan adik-adik jauh… Ayah nyesel… tapi Ayah nggak tahu harus mulai dari mana…”

Alya ikut menangis. “Mulai dari duduk bareng seperti ini saja cukup, Yah…”

Ardi menunduk, memberi ruang bagi keduanya.

“Laras hamil lagi,” kata Alya lirih.

Ayah terangkat kejut. “Hamil?”

Alya mengangguk. “Dia takut, Yah. Trauma. Makanya aku kesini… aku ingin kita bisa saling dekat lagi. Setidaknya… Laras tahu dia masih punya Ayah.”

Ayah menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca.

“Bawa dia ke Ayah kapan pun, Ly… Ayah mau ketemu… Ayah rindu kalian…”

Alya mengangguk sambil menangis.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, jarak itu mengecil.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!