Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 Pergi ke rumah sakit
Setelah itu, Vikto mendorong kursi rodanya dan membawa Adinda masuk ke kamar tamu, diikuti oleh Mbak Tia dari belakang. Ia dengan hati-hati menurunkan Adinda ke atas tempat tidur, memastikan posisi duduknya nyaman.
“Mbak Tia, tolong jagain Adinda, ya,” ucap Vikto sambil menyerahkan secarik kertas kecil. “Kalau ada apa-apa, hubungi nomor ini. Nanti akan ada orang datang mengantarkan ponsel buat kalian, diterima saja, untuk jaga-jaga kalau butuh sesuatu.”
“Baik, Tuan,” jawab Mbak Tia sopan, menerima kertas itu dengan hati-hati.
Vikto lalu beralih menatap Adinda. Tatapannya lembut namun penuh kekhawatiran.
“Dinda, Kakak berangkat kerja dulu, ya. Jaga diri kamu baik-baik. Kalau ada apa-apa, segera hubungi Kakak.”
Adinda mengangguk pelan. “Hati-hati di jalan, Kak. Maafin Dinda yang sudah banyak merepotkan.”
Vikto menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Jangan diulang lagi kalimat itu, ya. Kakak gak suka dengarnya.”
Adinda menunduk, tak tahu harus berkata apa selain diam dan menahan perasaannya sendiri. Setelah menepuk lembut bahunya, Vikto pun berpamitan dan meninggalkan kamar.
Beberapa menit setelah kepergian Vikto, pintu kamar perlahan terbuka. Adinda dan Mbak Tia sontak menoleh kaget.
“Oma?” seru Adinda pelan.
Oma Hela tersenyum ramah sambil melangkah masuk. “Maaf, kalau Oma ganggu istirahatmu, Nak. Oma cuma mau lihat keadaanmu. Gimana? Masih belum tenang hatinya?”
Adinda menggeleng pelan. “Masih sedikit… tapi gak apa-apa, Oma.”
Oma mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. “Oma ada rencana, Nak. Hari ini Oma mau ajak kamu ke rumah sakit. Oma sudah hubungi dokter langganan Oma, dokter bagus, dia yang biasa bantu pasien pemulihan saraf. Siapa tahu ada jalan supaya kamu bisa jalan lagi.”
Adinda tertegun. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Oma, kenapa Oma begitu peduli sama Dinda? Bukankah Dinda bukan siapa-siapanya Oma? Dinda gak ingin merepotkan Oma, apalagi Kak Vikto.”
Oma tersenyum hangat, menatapnya dengan lembut. “Kamu itu ngomong apa, Dinda? Sejak pertama kali melihatmu, Oma sudah menganggap kamu seperti cucu sendiri. Di mata Oma, semua anak yang baik pantas mendapat kasih sayang. Jadi jangan pernah merasa kamu sendirian, ya.”
Adinda terdiam, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Terima kasih banyak, Oma. Dinda benar-benar terharu. Dinda janji bakal berusaha lebih kuat lagi.”
“Nah, begitu dong,” ujar Oma sambil menepuk pelan tangan Adinda. “Sekarang kamu bersiap, ya. Oma tunggu di depan. Jangan lama-lama.”
“Baik, Oma.”
Oma tersenyum, lalu beranjak keluar.
Tak lama kemudian, seorang staf rumah tangga datang membawa dua ponsel baru.
“Nona, ini titipan dari Tuan Vikto,” ucapnya singkat.
Adinda menerima ponsel itu, satu diberikan untuk Mbak Tia.
Mbak Tia menatap Adinda dengan senyum penuh arti. “Nona, Tuan Vikto benar-benar perhatian, ya. Nona sampai dibelikan ponsel baru. Jangan-jangan…”
Adinda menoleh heran. “Jangan-jangan apa, Mbak?”
“Jangan-jangan Tuan Vikto suka sama Nona,” ucap Mbak Tia setengah berbisik, senyum menggoda di wajahnya.
“Mbak Tia ngomong apaan sih? Gak mungkin lah,” balas Adinda cepat, wajahnya langsung memerah. “Kak Vikto memang baik dari dulu. Udah kayak Kakak kandung aku sendiri. Kak Erizon dan Kak Vikto itu sahabat dekat, jadi wajar kalau dia peduli.”
Mbak Tia tersenyum kecil, menatapnya sambil bergumam lirih, “Iya… mungkin saking baiknya, sampai sulit dibedakan, cinta atau sekadar perhatian.”
“Hah? Mbak ngomong apa?” tanya Adinda, menatap curiga.
“Enggak, enggak, Nona,” jawab Mbak Tia cepat sambil terkekeh. “Ya sudah, kita bersiap, ya. Siapa tahu Oma benar, mungkin hari ini jadi awal keberuntungan Nona. Siapa tahu… Nona bisa jalan lagi.”
Adinda hanya tersenyum tipis, matanya berbinar penuh harapan.
Mungkin, benar kata Mbak Tia, hari itu bisa jadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
Beberapa saat kemudian, mobil keluarga sudah terparkir di depan rumah. Sopir pribadi menurunkan kursi roda dari bagasi, lalu dengan hati-hati membantu Adinda naik ke dalam mobil. Oma Hela duduk di sampingnya, sementara Mbak Tia di kursi depan.
Perjalanan menuju rumah sakit berlangsung tenang. Jalanan pagi itu tidak terlalu ramai, dan cahaya matahari menembus kaca mobil, memantul lembut di wajah Adinda yang terlihat gugup.
Oma Hela menoleh padanya dan tersenyum hangat.
“Kenapa wajahnya tegang begitu, Nak? Jangan takut, dokter ini orangnya baik sekali. Dia sudah bantu banyak pasien yang bahkan kondisinya lebih parah dari kamu.”
Adinda menunduk, jari-jarinya saling menggenggam di pangkuan. “Dinda cuma takut berharap, Oma. Takutnya kalau hasilnya gak sesuai harapan, Dinda kecewa lagi.”
Oma menepuk lembut punggung tangannya.
“Harapan itu bukan untuk ditakuti, Dinda. Justru dengan berharap, kamu memberi kesempatan bagi keajaiban untuk datang. Oma sudah tua, tapi Oma percaya, Tuhan selalu punya rencana yang indah untuk setiap hamba-Nya.”
Ucapan itu membuat dada Adinda terasa hangat. Ia menatap Oma Hela, lalu tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. “Terima kasih, Oma.”
“Cucuku yang manis,” gumam Oma pelan sambil tersenyum.
Begitu tiba di rumah sakit, perawat segera menghampiri dan membantu mendorong kursi roda Adinda. Mereka dibawa menuju ruang dokter Arvian, seorang spesialis saraf langganan keluarga.
“Selamat pagi, Oma Hela. Wah, sudah lama sekali Oma gak ke sini,” sapa dokter Arvian ramah sambil menjabat tangan Oma.
“Pagi juga, Dok. Oma datang kali ini bukan untuk diri sendiri,” ujar Oma sambil melirik ke arah Adinda. “Ini cucu Oma, Dok. Kakinya belum pulih total. Oma mau minta tolong diperiksa, siapa tahu masih bisa disembuhkan.”
Dokter Ardian menatap Adinda dengan senyum lembut.
“Baik, mari kita lihat dulu kondisinya, ya, Nona Dinda.”
Adinda sedikit gugup, tapi ia berusaha tenang saat diperiksa. Dokter memeriksa refleks kaki, otot, dan sarafnya dengan teliti. Suasana ruang periksa seketika hening, hanya terdengar suara pena dokter yang menulis di catatan medis.
Beberapa menit kemudian, dokter menatap Oma dan Adinda.
“Saya lihat, kondisinya tidak seburuk yang saya duga. Saraf-sarafnya memang sempat lemah karena benturan berat, tapi… ada tanda-tanda pemulihan. Dengan terapi rutin dan semangat yang kuat, kemungkinan besar Nona bisa berjalan lagi.”
Mata Adinda langsung membesar. “Sungguh, Dok? Bukankah tidak bisa disembuhkan?”
"Kata siapa tidak bisa disembuhkan, memangnya kamu sudah periksa di rumah sakit mana saja?"
Seketika, Adinda terdiam, yang ia tahu, saat melakukan pemeriksaan yang didampingi mantan mertuanya dulu, dokter selalu mengatakan kalau kakinya divonis tidak bisa sembuh. Kini, Adinda benar-benar tidak menyangka, kalau dirinya masih mempunyai kesempatan untuk bisa sembuh dan berjalan seperti dulu lagi.
"Jadi, kaki saya masih bisa untuk disembuhkan kan, Dok?"
Dokter mengangguk sambil tersenyum. “Tapi kuncinya satu, jangan menyerah. Proses ini mungkin lama dan menyakitkan, tapi hasilnya akan sepadan. Kamu masih muda, tubuhmu bisa pulih asal hatimu juga ikut berjuang.”
Adinda menatap ke arah Oma, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.
“Oma… aku masih punya harapan ternyata.”
Oma Hela tersenyum sambil mengusap air matanya pelan.
“Dari awal Oma sudah bilang, Nak. Keajaiban itu nyata, asal kamu percaya. Sekarang saatnya kamu buktikan bahwa kamu bisa bangkit.”
Adinda mengangguk kuat, dengan air mata bahagia mengalir di pipinya.
Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan dan perceraian itu, ia merasa Tuhan masih memberinya kesempatan kedua, bukan hanya untuk berjalan, tapi juga untuk hidup.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..