Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hunting Preparations
Keputusan Araya untuk melibatkan Akari segera memicu perdebatan di antara timnya. Akihisa, pria yang lebih fokus pada aspek lapangan, segera mengajukan keberatan.
"Araya-san, apa kau serius?" tanya Akihisa, memandang Akari dengan cemas. "Dia masih gadis! Dia harusnya fokus pada pendidikannya, bukan berhadapan dengan mafia."
Miku mengangguk, kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. "Aku juga khawatir. Melawan Agate bukan permainan, dan Akari bisa menjadi target utama."
Araya tidak gentar. Ia menyandarkan punggungnya dan menoleh ke arah Akari.
"Akari sudah remaja, Akihisa. Sebentar lagi dia akan berkuliah—"
Sebelum Araya menyelesaikan kalimatnya, Akari dengan dingin memotong.
"Saya membatalkan kuliah saya," ujar Akari, menggelengkan kepalanya dengan tegas. Matanya yang merah gelap menatap mereka satu per satu. "Uang yang seharusnya saya gunakan untuk kuliah berasal dari AgateX. Uang itu berlumuran darah Ayah dan Ibu. Saya tidak akan menggunakannya."
Akihisa dan Miku saling pandang. Mereka keheranan dengan kedewasaan dan tekad Akari, sekaligus terkejut dengan kenyataan pahit yang dihadapi gadis itu.
Araya menghela napas, menatap Akari dengan rasa iba yang mendalam.
"Seperti yang kalian dengar," kata Araya kepada timnya. "Kasus Otsuki ini bukan hanya tentang penipuan; ini tentang penghancuran total. Inilah cara kerja Agate. Dan sayangnya, ini sudah kasus kesekian kalinya tentang AgateX yang berujung tragis, dan selalu ditutupi oleh kepolisian lain karena uang dan ancaman."
Keputusan Akari untuk menolak masa depannya yang cerah, demi sebuah kehormatan yang hilang, meyakinkan Akihisa dan Miku. Mereka menyadari bahwa Akari bukan lagi anak-anak, melainkan seseorang yang telah kehilangan segalanya dan kini siap mempertaruhkan hidupnya.
Setelah mendengar pengakuan Akari dan kesaksian tim Araya, Akari mengerti posisinya. Ia kini memiliki sekutu, tetapi jalannya tetap harus ia pilih sendiri.
Akari bangkit dari kursinya, berdiri tegak, dan memberikan hormat membungkuk yang dalam—sebuah kebiasaan disiplin dari kendo.
"Terima kasih, Araya-san, Akihisa-san, Miku-san," ucap Akari, suaranya kini tenang dan dipenuhi ketegasan yang menakutkan. "Saya akan menerima bantuan kalian untuk informasi dan logistik."
Ia menatap mereka satu per satu, matanya yang merah memancarkan bara yang dingin.
"Namun, saya tetap akan membalas dendam kepada mereka. Saya akan mencari keadilan. Dan bagi saya, keadilan adalah ketika Agate hancur dan membayar harga atas semua yang telah mereka ambil."
Setelah mengucapkan sumpahnya yang tak terhindarkan, Akari berbalik tanpa menunggu jawaban dan pergi dari kafetaria, melangkah keluar dari kantor polisi, meninggalkan kehidupan lamanya untuk selamanya.
Akihisa dan Miku hanya bisa memandang kepergiannya.
"Pasti sulit sekali," gumam Akihisa, menggelengkan kepalanya pelan. "Hidup sendirian, di usia seperti itu, setelah kehilangan segalanya."
"Ya," tambah Miku, suaranya pelan. "Dia masih gadis, tapi sudah membawa beban yang tidak seharusnya."
Araya hanya terdiam, pandangannya mengikuti Akari hingga sosok gadis itu menghilang dari pandangan dan keluar dari kantor polisi. Araya tahu, ia bisa mencoba memaksakan Akari untuk mundur, tetapi ia juga tahu bahwa semangat Akari yang hancur kini hanya bisa disembuhkan oleh satu hal: pembalasan.
Setelah Akari pergi, meninggalkan atmosfer ketegasan dan duka, Akihisa dan Miku masih merenungkan betapa sulitnya jalan yang harus ditempuh gadis itu.
"Andai saja 'Dia' masih menjadi bagian dari tim kita," gumam Akihisa, suaranya pelan dan penuh harap. "Pasti akan jauh lebih mudah. 'Dia' punya koneksi yang luas, dan kemampuan 'Dia' di lapangan bisa melindungi Akari."
Miku mengangguk setuju.
Namun, Araya yang mendengar gumaman tentang "Dia" seketika menjadi dingin. Wajahnya yang biasanya tenang kini mengeras, dan aura di sekitarnya terasa menusuk.
"Jangan pernah sebut nama itu lagi," ujar Araya tajam, suaranya rendah dan penuh peringatan. "Dia hanya akan mengacaukan segalanya, sama seperti kasus terakhir yang kita selidiki. Keberadaannya hanya membawa masalah."
Araya segera beranjak dari kursi, mengumpulkan berkas yang diberikan Akihisa dan flash drive dari Miku. Tanpa menoleh ke belakang, ia bergegas keluar dari kafetaria.
Akihisa dan Miku ditinggalkan dalam keheningan yang canggung. Mereka terheran melihat reaksi Araya yang begitu kuat.
"Kenapa Araya-san semarah itu?" bisik Akihisa, merasa bersalah. "Itu 'kan bukan kesalahan 'Dia'. Itu jelas rencana para petinggi untuk memisahkan kita, supaya operasi korupsi mereka dengan Agate berjalan lancar."
Miku segera menepuk bahu Akihisa dan memberi isyarat agar mengecilkan suaranya.
"Sudahlah, Akihisa," bisik Miku, melirik ke sekeliling. "Kita berdua tahu alasannya."
Akihisa dan Miku tahu bahwa Araya adalah kekasih dari pria yang mereka sebut "Dia," pria yang terpaksa dikeluarkan dari tim detektif. Perpisahan yang menyakitkan dan pengkhianatan dari kepolisian yang didalangi Agate telah mengubah Araya. Cinta itu telah berubah menjadi kebencian yang dingin, dan bagi Araya, bayangan "Dia" hanya membawa kembali rasa sakit kegagalan mereka di masa lalu.
Dengan masa lalu yang retak dan masa depan yang penuh bahaya, Akihisa dan Miku kini harus melanjutkan operasi mereka dengan Araya, sambil memikul rahasia pahit yang bisa mengancam keutuhan tim mereka saat Akari memulai perburuannya.
Langit malam telah menelan kota. Di kantor Kepolisian Shirayuki yang sunyi, hanya ruangan Kepala Detektif Namida Araya yang masih menyala. Akihisa dan Miku telah pulang, tetapi Araya memilih untuk lembur, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan layar monitor yang memancarkan cahaya biru dingin.
Araya memandang layar monitornya, yang menampilkan diagram rumit dari jaringan utang AgateX—jaringan yang telah menghancurkan keluarga Otsuki. Pekerjaan itu terasa dingin dan tanpa harapan.
Setelah beberapa saat, Araya mematikan monitornya. Ia bersandar pada kursi, memandang langit-langit ruangannya yang gelap dan hampa. Dalam keheningan itu, pikirannya kembali pada satu-satunya orang yang tidak ingin ia ingat.
Ia bergumam pelan, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
"Kenapa kau harus keluar dari kepolisian? Sungguh konyol."
Araya memejamkan mata, bibirnya melengkung sedikit.
"Jika kau masih di sini... Jika saja kau masih di tim ini, pasti sekarang kau akan memberikan masukan yang benar-benar gila, sebuah ide yang di luar kepala, yang pasti membuatku harus memproses lima berkas keberatan..."
Araya terkekeh kecil, tawa kecil yang terdengar pilu dan kesepian.
"...Tapi anehnya, itu bisa jadi hal yang tepat untuk kasus seperti Agate. Sesuatu yang melanggar semua aturan."
Araya segera membuka matanya, ekspresi dingin kembali menguasai wajahnya. Ia menggelengkan kepala, mengusir bayangan mantan kekasihnya itu. Tidak ada gunanya memikirkan masa lalu. Yang tersisa hanyalah Akari, dendamnya, dan kenyataan bahwa untuk mengalahkan monster, mereka mungkin membutuhkan metode yang sama berbahayanya.
Setelah pertemuannya dengan Araya dan sumpahnya untuk membalas dendam, Akari kembali ke rumah yang berantakan, dan waktu duka pun berakhir. Yang tersisa hanyalah disiplin.
Akari tahu, melawan mafia sekelas Agate tidak cukup hanya dengan kemarahan. Ia harus sekuat, secepat, dan setajam pedang.
Di ruang tamu yang sunyi, di antara peti abu orang tuanya, Akari memulai rezim latihan yang brutal. Ia mengubah kesedihan menjadi energi dan kemarahan menjadi fokus.
Akari mulai melatih fisiknya dengan intensitas seorang atlet yang berjuang untuk hidupnya:
Latihan Dasar Inti: Akari melakukan serangkaian push-up, sit-up, dan plank hingga otot-otot perutnya terasa terbakar, membangun inti tubuh yang kuat, vital untuk stabilitas saat mengayunkan pedang.
Kekuatan Kaki dan Kelincahan: Ia melakukan squat dan lunge yang tak terhitung jumlahnya untuk memperkuat kuda-kuda dan daya ledak kakinya. Ia juga melakukan sprint pendek di halaman belakang rumahnya untuk meningkatkan kecepatan.
Daya Tahan: Ia menjalankan sesi burpee dan jumping jack yang panjang, memastikan daya tahannya cukup untuk pertarungan yang mungkin berlangsung lama.
Namun, fokus utama Akari tetap pada senjatanya.
Ia mengambil shinai (pedang bambu) lamanya dan mulai berlatih kendo dengan fokus yang dingin dan sempurna. Ia melakukan:
Suburi (Ayunan Dasar): Ratusan kali ayunan men (atas kepala), kote (pergelangan tangan), dan do (perut), mengasah ketepatan dan kekuatan setiap pukulan.
Ashi Sabaki (Gerakan Kaki): Ia melatih fumikomi (hentakan kaki) hingga lantai kayu berderit, memastikan gerakan kakinya senyap dan cepat, mampu menutup jarak dengan sekejap.
Kiai yang Hening: Tidak ada lagi kiai (teriakan semangat) yang nyaring seperti di dojo. Akari berlatih dalam keheningan, hanya menyisakan suara shinai yang membelah udara—sebuah latihan yang akan ia terapkan saat menggunakan Katana sungguhan di malam hari.
Setiap tetes keringat adalah sumpah, dan setiap ayunan pedang adalah janji yang ia ukir untuk Agate. Akari tidak hanya melatih tubuhnya; ia melatih jiwanya untuk menjadi mesin pembalasan dendam yang tak kenal lelah.