Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Tok... tok... tok...
Stela yang akan memejamkan matanya langsung bangkit dari tempat tidur setelah mendapatkan suara ketukan pintu.
Baru sepuluh menit yang lalu suaminya ke rumah sakit dan Mbak Rini ke pasar. Dan sekarang hanya ada Stela yang sendirian di rumah.
Ceklek!
Stela membuka pintu dan ia terkejut ketika melihat Uwais ada di hadapannya.
"Uwais, mau apa kamu disini? Pergilah, Wais. Nanti Mehmet marah." ucap Stela.
Uwais menggenggam tangan Stela dan memintanya untuk tenang.
"Stela, tenangkan dirimu dulu. Aku kesini hanya ingin memberikan ini." ujar Uwais sambil memberikan amplop yang berisikan uang.
Stela menggenggam amplop yang diberikan oleh Uwais.
"Jangan, Wais. Nanti Mehmet marah."
Disaat Stela sedang menolaknya, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan Mehmet yang kembali untuk mengambil ponselnya.
"Apa yang kamu lakukan disini, Wais? Sudah nggak sabar kamu untuk kembali dengan Stela?" tanya mehmet dengan tatapan sinisnya.
Uwais menggelengkan kepalanya dan menenangkan Mehmet.
"Met, aku hanya ingin memberikan uang bulan ke Stela."
Mehmet yang mendengarnya langsung tertawa sinis.
“Uang bulanan? Kamu pikir aku nggak mampu menafkahi istriku sendiri?”
Mehmet menatap wajah Uwais yang salah tingkah.
"Sekarang pergi dari rumah ini dan bawa kembali amplop kamu. Dia istriku dan aku bisa memberikan nafkah." ucap Mehmet sambil menggenggam tangan istrinya dan membawa masuk kedalam rumah.
Uwais melihat pintu yang ditutup oleh Mehmet yang sedang emosi.
"Jadi ini yang kamu lakukan saat aku nggak ada? Kamu hubungi Uwais dan minta uang?"
Stela menggelengkan kepalanya dan meminta Mehmet untuk mendengarkannya.
“Enggak, Met! Aku nggak hubungi dia! Aku bahkan kaget waktu lihat dia datang ke sini!” ucap Stela
Namun Mehmet justru tertawa kecil saat mendengar perkataan dari istrinya.
“Jangan bohong, Stela. Kamu pikir aku nggak tahu permainan kamu? Baru aku tinggal sebentar saja, kamu sudah memanggil mantan suami ke rumah dan minta uang?”
“Met, aku nggak minta apa pun!”
Mehmet mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya.
“Kamu ini istri orang, tapi masih menerima amplop dari mantan. Apa kamu senang dikasih uang begitu, Stel? Atau itu memang kebiasaan kamu dulu minta uang ke laki-laki? Ke Ravi, Uwais?"
Perkataan yang dilontarkan oleh Mehmet, membuat hati Stela sakit.
“Berhenti, Met…” suaranya nyaris berbisik, penuh perih.
Namun Mehmet terus melanjutkan dan nadanya kini semakin tajam,
“Aku baru sadar, Stela. Mungkin selama ini aku terlalu memuliakan wanita murahan yang nggak tahu harga diri seperti kamu."
PLAKK!
Suara tamparan keras menggema di seluruh ruangan.
Telapak tangan Stela masih bergetar saat menampar pipi suaminya.
“Jaga mulut kamu, Mehmet. Selama ini aku sudah sabar menghadapi kamu, tapi jangan pernah lagi hina aku seperti itu.”
Mehmet terdiam di tempat, pipinya memerah karena tamparan.
Untuk pertama kalinya, ia tak bisa membalas satu kata pun.
“Kalau kamu pikir aku murahan, maka mulai sekarang, anggap saja aku bukan siapa-siapa buat kamu lagi.”
Stela langsung naik ke kamar atas dan menutup pintu dengan sangat keras.
Mehmet masih berdiri mematung dan merasakan pipinya yang panas karena tamparan istrinya.
Sementara itu dikamar atas, Stela menangis sesenggukan sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Ya Tuhan, aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin keluar dari pernikahan ini." gumam Stela.
Stela melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.
Ia pun menghapus air matanya dan keluar dari kamar.
"Stela, kamu mau kemana? Aku minta maaf." ucap Mehmet.
Stela tidak menjawab perkataan dari Mehmet dan langsung mengambil tas kerjanya.
"Taksi!" panggil Stela.
Mehmet menggenggam tangan istrinya dan memintanya untuk tidak pergi dari rumah.
"Aku hanya mau kerja, Met. Aku nggak bisa dirumah dengan situasi yang seperti ini. Sekarang terserah kamu mau ke Tasya atau kemana. Terserah!"
Stela masuk kedalam taksi dan memintanya untuk mengantarkannya ke kantor.
Di dalam taksi, Stela kembali menangis sesenggukan.
"Tega kamu bicara seperti itu, Met? Tega." gumam Stela.
Di sepanjang perjalanan, tangisan Stela tidak berhenti.
Sampai akhirnya sopir taksi menghentikan mobilnya di depan kantor Stela
Sesampainya di depan kantor, taksi berhenti perlahan di tepi jalan.
Sopir menoleh ke belakang dan berkata pelan,
“Sudah sampai, Bu. Ini kantornya, kan?”
Stela menatap gedung tinggi di depannya, papan nama perusahaan yang biasa membuatnya merasa tenang kini terasa begitu asing.
Tangannya sudah memegang gagang pintu, tapi tubuhnya seolah kehilangan tenaga.
Ia menarik napas panjang, menatap bayangan dirinya di kaca jendela mobil.
Matanya sembab, wajahnya pucat, dan bibirnya bergetar pelan.
“Apa aku masih bisa pura-pura kuat hari ini?” bisiknya lirih.
Beberapa karyawan terlihat berjalan masuk ke gedung, tertawa kecil sambil membawa kopi dan map di tangan.
Pemandangan yang dulu biasa, kini justru membuat hatinya sesak.
Stela menunduk, lalu berkata pelan pada sopir,
“Pak, jangan berhenti di sini. Tolong lanjut ke arah pantai, ya. Pantai Anyelir.”
Sopir menatapnya lewat kaca spion dan ada sedikit keraguan.
“Ke pantai, Bu? Sekarang?”
“Iya, Pak Saya butuh udara segar."
Sopir mengangguk pelan, lalu kembali menyalakan mesin mobil.
Taksi pun melaju meninggalkan gedung kantor yang perlahan menghilang dari pandangan Stela.
Di sepanjang perjalanan, Stela hanya diam sambil mengingat perkataan Mehmet yang sangat menyakitkan.
Perjalanan yang membutuhkan waktu tiga jam akhirnya telah sampai.
Stela turun dari mobil dan membayar uang ke sopir yang sudah mengantarkannya.
Stela menatap laut lepas yang membentang di hadapannya.
Angin menerpa lembut rambutnya yang terurai, ombak bergulung-gulung kecil menyapu kakinya yang telanjang.
Ia menutup matanya, mencoba merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia dapatkan.
Namun, di balik suara debur ombak, hatinya justru semakin terasa kosong.
“Kenapa aku masih berharap dia berubah," bisik Stela dengan air matanya yang kembali mengalir.
Disaat Stela akan bermain air, tiba-tiba pandangannya kembali kabur.
"Aku, lelah sekali…” gumam Stela sebelum tubuhnya ambruk di pasir basah.
Beberapa pengunjung yang melihat langsung berlari menghampiri.
“Bu! Ibu, dengar saya?!” seru seorang pria paruh baya yang segera menunduk memeriksa nadinya.
“Masih ada napasnya! Cepat ambilkan air!”
Seorang perempuan muda mengambil ponsel yang terjatuh di dekat Stela.
Layar ponsel itu retak, tapi masih menyala dan di layar terlihat nama Mehmet dengan foto profil seorang pria.
Perempuan itu segera menekan nomor itu dan menunggu sambungan tersambung.
Tuut… tuut…
“Hallo?” suara Mehmet terdengar berat dari seberang, sedikit tergesa.
“Pak, lekas kemari. Pemilik ponsel ini sedang pingsan di Pantai Anyelir, Pak. Sekarang sedang kami baringkan di tepi, tapi sepertinya butuh pertolongan cepat.”
“Apa?! Istri saya pingsan?!”
“Iya, Pak. Tolong segera ke sini, ya.”
Tanpa menjawab lagi, Mehmet langsung berlari keluar dari rumah sakit tempat ia baru saja memeriksa Tasya.
Ia juga tidak berpamitan kepada Tasya yang sedang duduk disampingnya.