Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Amara siapa kamu?
Lorong depan gedung pengadilan tampak padat pagi itu. Langit Jakarta masih diselimuti mendung, hujan semalam meninggalkan genangan air di sisi tangga batu yang kini diinjak oleh puluhan kaki yang lalu-lalang.
Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan gedung. Amara turun dengan langkah tegap, meski wajahnya tampak sedikit pucat. Zico menyusul di belakang, memayunginya agar tak terkena sisa rintik hujan. Di tangannya, Amara menggenggam map cokelat berisi berkas perceraian, hasil dari keputusan yang ia buat dengan hati bulat.
Namun begitu mereka menapaki anak tangga pertama, Shaka Wirantara sudah berdiri di depan pintu pengadilan. Seragam pilotnya masih ia kenakan, tanda ia datang langsung dari bandara. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras. Amara menatapnya sejenak, tanpa ekspresi.
“Minggirlah, Kapten. Aku tidak ingin membuat keributan di sini.”
Shaka melangkah mendekat tanpa menghiraukan kata-katanya.
“Keributan?” ujarnya datar tapi dingin. “Yang kamu sebut keributan itu adalah usahaku mempertahankan rumah tangga kita, Amara.”
Amara menghela napas berat, menatap Shaka tanpa takut. “Tidak ada yang perlu dipertahankan, Mas Shaka. Pernikahan kita hanya kontrak bisnis yang sudah habis masa berlakunya.”
Namun Shaka mendekat selangkah lagi, menatap mata Amara dalam. “Aku tidak akan menceraikanmu.”
Kata-kata itu tegas dan juga dingin. Zico yang berdiri di belakang Amara langsung menegakkan tubuhnya, siap bereaksi.
“Mas Shaka...”
“Selama kau masih mengandung anakku,” potong Shaka cepat, “aku tidak akan membiarkan anak itu memanggil pria lain sebagai ayah.” Ucapannya diakhiri dengan lirikan tajam ke arah Zico.
Zico hanya menatap Shaka datar, kemudian memalingkan wajah sambil menahan tawa tipis, bukan karena geli melainkan karena sinis. Reaksi itu tak luput dari mata Amara. Ia menoleh cepat, menatap Zico dengan dahi berkerut.
“Zico?” suaranya bergetar pelan. Tapi pria itu hanya menunduk, memilih diam. Seketika, pikiran Amara bercabang. Ia tahu Shaka salah menilai, tapi dalam cara tertentu, reaksi Zico justru membuat situasi semakin membingungkan.
Shaka menatap keduanya dengan mata penuh tuduhan. “Kamu pikir aku buta, Amara? Sejak kapan kamu datang ke pengadilan diantar oleh laki-laki lain? Bahkan berani berdiri di hadapanku sambil membawanya?”
Amara menatap Shaka tajam. “Zico hanya asist...”
Namun sebelum kata-katanya selesai, dering keras ponsel Zico memotong ketegangan di antara mereka. Zico menggeser layar, dan wajahnya langsung berubah tegang.
“Ya, ini Zico … apa?”
Dia menunduk sedikit, mendengarkan suara di seberang dengan wajah pucat.
“Baik, siapkan tim medis cadangan di ruang isolasi. Kami akan segera ke sana.”
Amara menatapnya dengan mata membulat. “Zico, ada apa?”
Zico menatapnya dengan raut berat. “Tuan Besar ... dilarikan ke rumah sakit. Keadaannya kritis.”
Amara terdiam sejenak, darahnya terasa berhenti mengalir. Seketika ia menoleh ke arah Shaka, lalu bergegas menuruni tangga. Namun baru beberapa langkah, tangan kuat Shaka menahan lengannya.
“Amara, siapa Tuan Besar yang kamu maksud?” tanyanya cepat.
Amara menoleh, matanya tajam namun penuh emosi. “Lepas, Mas Shaka. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan...”
“Jawab aku dulu!” bentak Shaka, suaranya keras hingga membuat beberapa orang di sekitar menoleh. Amara menatap wajah suaminya lama, seolah menimbang apakah perlu berkata jujur. Akhirnya ia menjawab pelan namun tegas,
“Kakekku, dia orang yang lebih banyak mengajariku tentang hidup daripada siapa pun di dunia ini.”
Shaka tertegun.
'Kakek?' bisiknya dalam hati.
Selama ini, dia bahkan tak tahu Amara masih memiliki keluarga, karena pernikahan mereka tidak dibangun atas dasar cinta atau kepercayaan, melainkan perjanjian. Ia hanya tahu, Amara datang ke hidupannya karena keinginan keluarga besar Wirantara untuk memperluas jaringan bisnis penerbangan mereka dan kerja sama dengan Marvionne Group, justru Shaka berpikir Amara adalah gadis yang dipilih oleh keluarga Marvionne.
“Amara...” Shaka menatapnya, kali ini nada suaranya lebih lembut. Namun Amara menarik tangannya keras, menatapnya dingin.
“Tidak usah bersikap seperti kamu peduli, Mas Kapten. Pernikahan kita tak pernah melibatkan hati, jadi jangan mulai berpura-pura sekarang.”
Setelah itu, ia berbalik dan berjalan cepat ke arah mobil. Zico sudah membuka pintu, membiarkan Amara masuk.
Sebelum mobil melaju, Amara menurunkan kaca jendela, menatap Shaka sekali lagi tatapan yang kali ini dingin namun getir.
“Aku akan tetap menggugat cerai. Setelah semua yang terjadi, mas kamu tidak berhak menahanku lagi.”
Mobil melaju meninggalkan halaman pengadilan, meninggalkan Shaka berdiri kaku di bawah langit yang mulai mendung kembali. Ia menatap jauh ke arah mobil yang menghilang, napasnya berat. Di dadanya, amarah dan penyesalan bertabrakan.
Lorong rumah sakit sore itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu putih di langit-langit menyinari lantai marmer mengilap tempat langkah-langkah Amara bergema cepat.
Di tangannya, ia masih menggenggam tas kecil berisi obat dan hasil pemeriksaan terakhir kakeknya, Tuan Besar Marvionne, satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya. Begitu tiba di depan ruang perawatan VIP, dua orang pengawal bersetelan hitam langsung memberi hormat.
“Selamat sore, Nona Amara,” ucap salah satu dari mereka.
“Bagaimana keadaan Kakek?” tanya Amara cepat, matanya langsung menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
“Stabil, Nona. Tapi dokter menyarankan agar beliau tidak menerima banyak tamu dulu...”
Kalimat itu belum sempat selesai ketika dari ujung lorong terdengar suara gaduh.
“Maaf, Pak! Kami tidak bisa membiarkan Anda masuk tanpa izin Nona Amara!” bentak salah satu pengawal di ujung sana. Amara menoleh cepat, langkahnya berhenti mendadak.
Di antara dua pengawal yang mencoba menahan seseorang, berdiri Shaka Wirantara, dengan ekspresi tegas dan mata yang menatap lurus ke depan.
Seragam penerbangnya masih menempel di tubuh, kemejanya sedikit kusut, menandakan ia datang tanpa sempat berganti pakaian.
“Maaf, Tuan, tapi ini ruangan pribadi keluarga Marvionne!” suara pengawal kembali meninggi.
Namun Shaka tidak bergeming. “Saya hanya ingin memastikan kondisi beliau baik-baik saja,” katanya tenang, namun nada suaranya tetap keras.
Amara mematung sejenak, matanya membulat tak percaya.
“Mas Shaka?” suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Dua pengawal itu sontak menunduk, memberi jalan saat menyadari siapa yang memanggil. Shaka menoleh, pandangan mereka bertemu di tengah lorong yang sunyi.
Sekilas, waktu seolah berhenti. Amara melangkah mendekat, suaranya tegas meski hatinya berdebar.
“Lepaskan dia,” katanya pada para pengawal.
Kedua pria itu saling pandang, lalu memberi hormat kecil sebelum mundur beberapa langkah, menjaga jarak. Shaka menatap Amara dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi mulutnya terasa kelu.
Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata pelan,
“Bagaimana keadaan Kakekmu?”
Amara menatapnya dengan mata tajam namun lelah. “Sedang beristirahat. Aku tidak menyangka Mas Shaka akan datang ke sini.”
“Aku dengar beliau yang kamu maksud ‘Tuan Besar’,” jawab Shaka tanpa ragu. “Dan ... aku merasa aku punya hak untuk tahu.”
Amara mengernyit. “Hak?” ucapnya sinis. “Mas Shaka bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya. Jadi atas dasar apa Mas merasa punya hak?”
Shaka menunduk sejenak, menahan diri agar tidak terpancing emosi. “Karena aku suamimu,” ucapnya tenang. “Dan bagaimanapun juga, aku peduli.”
Ucapan itu membuat dada Amara terasa sesak. Ia ingin menertawakan kalimat itu peduli, setelah semua luka yang ditimbulkan namun di saat bersamaan, matanya menangkap ketulusan samar di sorot mata Shaka. Sebuah hal yang jarang ia lihat selama ini.
Ia menghela napas pelan, menunduk sejenak sebelum menjawab, “Kalau begitu, aku beri kamu izin bertemu dengan Kakek. Tapi hanya sebentar. Jangan terlalu banyak bicara, beliau belum boleh kelelahan.”
Shaka mengangguk. “Baik.”
Amara melangkah mendahului, membuka pintu kamar dengan perlahan. Aroma obat dan suara alat monitor jantung langsung menyambut mereka.
Di ranjang putih bersih itu, Tuan Marvionne tampak terbaring lemah, namun matanya terbuka, menatap ke arah mereka.
“Amara...” suara tuanya bergetar, tapi lembut.
Amara segera mendekat, menggenggam tangan keriput itu dengan lembut. “Aku di sini, Kek.”
Shaka berdiri di ambang pintu, sempat menunduk sopan. Tatapan Tuan Marvionne langsung beralih padanya. Sekilas, senyum tipis muncul di wajah renta itu.
“Jadi ini ... suamimu?” katanya pelan.
Amara menatap Shaka sekilas, lalu menjawab singkat, “Ya, Kek.” Pernikahan itu atas persetujuannya, namun Tuan Besar tak pernah melihat Shaka dari dekat.
Tuan Marvionne mengangguk perlahan. “Kau punya banyak hal untuk dijelaskan padanya, Nak...”
Shaka mengerutkan dahi, tidak mengerti maksud kalimat itu, sementara Amara tampak menegang.
Namun sebelum salah satu dari mereka sempat menanggapi, alarm dari alat medis berbunyi pelan, membuat dokter jaga segera masuk untuk memeriksa kondisi pasien.
Amara menatap Shaka cepat. “Keluar dulu, biarkan dokter bekerja.”
Shaka menatapnya sesaat, ingin membantah, tapi akhirnya menuruti. Ia melangkah mundur, keluar dari ruangan itu dengan perasaan aneh di dadanya campuran antara cemas, penasaran, dan rasa bersalah.
Begitu pintu tertutup, Shaka menatap kaca bening yang memperlihatkan bayangan Amara di sisi ranjang. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat sisi Amara yang belum pernah ia pahami sebelumnya, bukan hanya istri kontrak, tapi seorang wanita dengan masa lalu besar yang penuh rahasia.
"Amara siapa kamu?" gumam Shaka pelan.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya