Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 18
Hendro melangkah mendekati Ratna yang sedang mengobrol dengan seorang pria berpenampilan rapi. Dari gayanya, pria itu tampak seperti seorang eksekutif muda. Posisi duduk mereka terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja atau klien. Dengan nada curiga, Hendro pun menegur,
“Ratna, sedang apa kamu di sini?”
Ratna segera menoleh ke arah suara itu. Ekspresi wajahnya sempat menunjukkan keterkejutan, namun sebagai pemain ulung, ia cepat menguasai diri dan mengubah raut wajahnya.
“Suamiku, kamu ada di sini?” tanya Ratna lembut.
Hendro awalnya curiga, namun sebutan “suamiku” dari Ratna membuat kecurigaannya sedikit mereda. Sikapnya mulai melunak, senyumnya muncul kembali.
“Sayang, sedang apa kamu di sini?” tanya Hendro dengan nada lebih ramah.
Ratna segera berdiri dan menarik tangan Hendro mendekat, lalu berbicara dengan nada ramah,
“Sayang, perkenalkan ini Pak Joni, bos properti. Beliau tertarik membangun kawasan pariwisata di desa tempat mantan istrimu tinggal. Kami sedang membahas prospek bisnisnya,” ucap Ratna sambil tersenyum memperkenalkan pria di depannya.
“Perkenalkan, Pak, saya Joni. Saya dengar dari Bu Ratna bahwa Anda ahli dalam urusan perizinan. Beliau banyak bercerita tentang Anda,” ucap Joni dengan nada ramah dan penuh hormat.
“Oh… istri saya memang suka melebih-lebihkan, tapi memang saya cukup kompeten di bidang itu,” ucap Hendro dengan nada bangga, disertai senyum percaya diri.
Saat Hendro hendak melanjutkan obrolan, tiba-tiba ponselnya berdering—ternyata Hermawan yang menelepon. Hendro sedikit menjauh untuk menerima panggilan itu. Setelah berbincang sebentar, ia kembali ke tempat Ratna. Namun kini posisi duduk mereka terlihat sudah agak berjauhan.
“Sayang, maaf sekali, aku dipanggil atasanku,” ucap Hendro dengan nada sedikit menyesal, menatap Ratna seolah enggan meninggalkannya.
“Ya sudah, Sayang. Jangan sia-siakan kepercayaan atasanmu,” ucap Ratna lembut sambil tersenyum mendukung.
Dengan berat hati, akhirnya Hendro pergi. Namun ada satu hal yang membuatnya bangga—ternyata Ratna mengenal banyak pengusaha besar, dan tentu saja, itu bisa sangat menguntungkan dirinya.
“Apa yang kamu harapkan dari pria semacam itu?” tanya Joni dengan nada meremehkan.
“Jangan anggap remeh dia,” jawab Ratna tenang. “Dia pemain birokrasi yang andal, jaringan ke pemerintahnya lumayan kuat. Itu bisa sangat berguna untuk proyek kita.”
“Hayu kita masuk kamar, Bos. Aku sudah pesan kamar—sayang sekali kalau tidak dipakai,” ucap Ratna dengan senyum menggoda.
Mereka pun melangkah menyusuri lorong hotel. Awalnya berjalan berjauhan, namun begitu suasana mulai sepi, mereka berjalan berdampingan seperti sepasang kekasih.
..
Sesampainya di kantor, Hendro langsung masuk ke ruang Kepala Perizinan. Ia adalah salah satu staf yang bebas keluar masuk ruangan itu—sebuah tanda bahwa ia sangat diandalkan. Hal ini pun membuat banyak rekan kerjanya merasa iri dalam diam.
“Bos galian itu mau bayar 800 juta. Nanti malam kamu ambil di hotel tempat kamu ketemu tadi,” ucap Hermawan dengan suara pelan namun tegas.
“Baik, Pak,” ucap Hendro singkat.
Ia sudah paham apa yang harus dilakukan. Dalam hati, ia bergumam,
“Menikah dengan Ratna memang berkah. Dari sini saja aku dapat 400 juta. Sepertinya aku harus liburan ke Bali.”
“Hendro, ada rumah sakit bernama Zahira. Mereka sangat sulit memenuhi permintaan kita. Minggu depan, kamu lakukan inspeksi ke sana. Cari celah kesalahan mereka. Rumah sakit itu harus diberi pelajaran,” ucap Hermawan dengan nada yang kini terdengar muram dan penuh tekanan.
“Zahira…? Sepertinya saya baru dengar,” ucap Hendro sambil mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat nama itu.
“Ya, rumah sakit itu sudah berdiri tiga tahun lalu. Mereka sok idealis,” ucap Hermawan dengan nada sinis. “Kamu harus kasih mereka paham, apa itu birokrasi.”
“Baik, Pak. Saya akan laksanakan dengan baik,” ucap Hendro mantap.
Setelah itu, ia melangkah keluar dari ruangan kepala dinas dan kembali duduk di meja kerjanya, wajahnya menunjukkan kepuasan sekaligus rencana yang mulai disusun dalam benaknya.
Budiman tampak serius menatap layar komputernya.
“Pak Hendro, Rumah Sakit Zahira baru saja mendapat penghargaan dari Persatuan Rumah Sakit Asia sebagai rumah sakit dengan pelayanan terbaik. Tapi kenapa ya kita belum juga memberikan izin operasional penuh untuk mereka?” ucap Budi dengan nada heran.
“Saya kurang paham, Pak. Pekerjaan saya sangat banyak, jadi saya tidak tahu detailnya,” ucap Hendro dengan wajah tenang, menyembunyikan maksud sebenarnya di balik jawaban itu.
Namun dalam hati, Hendro berkata,
“Itulah kekuasaan bodoh… yang mudah bisa dipersulit, dan yang sulit bisa dipermudah—semua tergantung siapa yang berani membayar.”
Budi menghela napas panjang, matanya menatap layar kosong sejenak. Ia tahu jawaban Hendro bukan jawaban sebenarnya.
Bagaimana mungkin Hendro tidak tahu, sedangkan dia selalu bersama kepala dinas? pikir Budi dalam hati, mulai merasakan ada yang tidak beres dalam sistem yang seharusnya mereka jaga bersama.
Dan mungkin benar kata pepatah: malaikat pun bisa jadi iblis ketika masuk ke dalam birokrasi yang korup.
Budi sudah jauh lebih lama menjadi ASN dibanding Hendro, tapi posisinya tak pernah naik, jalan di tempat. Semua karena satu hal—dia terlalu jujur.
Di tengah sistem yang penuh kebohongan, orang jujur seperti dirinya terasa seperti alien… terasingkan.
Baru saja Hendro hendak menghidupkan komputernya, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah nomor asing muncul di layar. Awalnya ia mencoba mengabaikan, namun dering itu terus berbunyi tanpa henti, membuatnya tak tenang.
Akhirnya, dengan sedikit enggan, Hendro mengangkatnya.
“Halo, dengan siapa ini?” tanyanya curiga.
“Apakah ini dengan Pak Hendro, wali dari Angga?” ucap seseorang di seberang sana.
“Iya, saya sendiri,” jawab Hendro dengan nada datar.
“Pak, anak Bapak terlibat tawuran. Sekarang sedang diamankan di Polsek Matraman. Kami harap Bapak segera datang ke sini,” ujar suara polisi dengan tegas.
Hendro terdiam sejenak. Dadanya sesak oleh emosi. Rasanya ingin membanting ponsel saat itu juga.
Bisa-bisanya anakku terlibat tawuran, geramnya dalam hati, antara marah dan malu.
“Tidak, Pak… tidak mungkin! Anak saya itu anak baik,” ucap Hendro, setengah tak percaya.
“Sebaiknya Bapak datang saja ke sini,” jawab polisi itu tenang namun tegas.
Dengan wajah tegang, Hendro segera masuk ke ruangan Pak Hermawan. Setelah menjelaskan situasinya, Hermawan hanya mengangguk singkat.
“Silakan, tapi jangan lupa tugas malammu,” ucap Hermawan dengan tersenyum, Hendro adalah aset berharganya, hanya sekedar ijin pulang itu tidak sebanding dengan apa yang bisa Hendro setorkan pada dirinya,
Hendro keluar dari ruangan lalu meninggalkan kantor tanpa banyak bicara.
Pemandangan itu bukan hal baru—dan justru itulah yang membuat banyak staf merasa iri.
“Enak banget ya, datang jam 1 siang, pulang jam 2 siang. Makan gaji buta dia,” gumam seorang staf dengan nada kesal.
“Hush, jangan keras-keras. Dia anak buah kesayangan bos,” sahut yang lain pelan sambil melirik ke sekitar.
Mereka hanya berani membicarakan Hendro dari belakang—karena semua tahu, posisi Hendro terlalu kuat untuk disentuh.
..
..
Sementara itu, di kampung, Zahira mulai belajar mengetik. Awalnya ia kesulitan—untuk menyelesaikan satu paragraf saja, ia membutuhkan waktu hingga setengah jam.
“Astaga… sudah sejauh ini aku tertinggal,” gumamnya dengan napas berat.
Sesekali Zahira membuka aplikasi novel online. Ia menggelengkan kepala berkali-kali.
Kenapa banyak sekali cerita vulgar? Dan kenapa begitu banyak yang meniru cerita asing? pikirnya.
Padahal dulu, orang-orang tua bercerita untuk membangun karakter—kisah kepahlawanan yang membangkitkan semangat juang.
Awalnya Zahira ingin meniru tren yang ada, tapi setiap kali mencoba, kepalanya malah terasa pusing. Akhirnya, ia menaruh ponselnya, mengambil selembar kertas, memejamkan mata sejenak, lalu mulai menulis.
Itulah kebiasaannya dulu, dari tahun 1995 sampai 2002. Ia menulis dengan tangan, mencurahkan isi hati tanpa peduli tata bahasa.
Toh nanti akan ia ketik ulang. Memang seperti bekerja dua kali, tapi itu bukan masalah. Baginya, yang terpenting adalah menyajikan sesuatu yang benar-benar terbaik dari hati.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.