Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Menyesal pun tiada guna
Pagi itu kantor pusat Wirantara Air terasa seperti sarang lebah yang terbakar. Telepon berdering tanpa henti, staf berlarian ke sana kemari membawa berkas laporan, dan ruang rapat dipenuhi suara panik. Semua mata menatap ke arah satu ruangan di lantai tertinggi, ruang CEO tempat Kapten Shaka Wirantara duduk dengan wajah menegang, tatapan kosong menatap layar laptop yang menampilkan sederet angka merah, laporan kerugian dan pembatalan kontrak.
Di luar ruangan, Haris baru saja menerima telepon dari dewan direksi, wajahnya pucat pasi. Dia menelan ludah, mengetuk pintu dengan hati-hati sebelum masuk.
“Kapten…” suaranya pelan, nyaris bergetar. “Kita kehilangan semua akses penerbangan internasional. Kementerian juga menahan izin terbang sementara. Dan jalur yang Kapten izinkan kemarin ... sudah digunakan untuk penyelundupan.”
Haris berhenti sejenak, menunduk. “Media sudah mulai memberitakan. Nama Kapten Shaka disebut sebagai penanggung jawab.”
Shaka tidak menjawab, dia hanya menatap layar yang berkedip, rahangnya mengeras. “Dan Amara?” tanyanya dingin, lirih. “Dia tahu soal ini?”
Haris ragu sejenak, lalu mengeluarkan amplop cokelat dari map hitam di tangannya. “Bu Amara menitipkan ini pada pihak pengadilan, dan pagi ini sampai ke meja saya.”
Dia menunduk dalam. “Ini surat cerai yang sudah ditandatangani pihak Bu Amara.”
Hening, suara hujan di luar jendela terdengar jelas, memantul di kaca besar ruangan itu. Shaka menatap amplop itu dengan pandangan tak percaya, kemudian berdiri perlahan, mengambilnya dengan tangan bergetar. Saat membaca tanda tangan di bawah nama Amara Marvionne, sesuatu dalam dirinya runtuh.
“Dia … benar-benar melakukannya.”
Suaranya serak, matanya memerah. “Dia meninggalkanku … di saat semuanya hancur.”
Haris menunduk, tak berani menatap atasannya yang tampak kehilangan arah.
“Kapten, mohon tenang dulu. Tuan Wirantara baru saja...”
“Baru saja apa?” potong Shaka cepat, nadanya tajam.
Haris menarik napas panjang. “Tuan Wirantara dilarikan ke rumah sakit, serangan jantung mendadak, Kapten. Setelah membaca laporan pagi ini.”
Langkah Shaka terhenti, tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. Dia menatap kosong, lalu menjatuhkan amplop itu ke meja.
“Tidak … ini tidak mungkin.”
Tanpa pikir panjang, Shaka langsung mengambil jaket pilotnya dan berlari keluar dari ruangannya. Haris berusaha memanggil, namun Shaka sudah menghilang di balik pintu lift.
Di dalam mobil, hujan semakin deras. Wiper bergerak cepat menghapus butiran air di kaca depan, tapi penglihatan Shaka kabur oleh emosi. Tangannya menekan setir kuat-kuat, pikirannya hanya dipenuhi dua hal, ayahnya yang kini di rumah sakit, dan Amara wanita yang kini benar-benar meninggalkannya.
“Di mana kamu, Amara?” gumamnya lirih di tengah hujan. “Sampai kapan kamu akan menghukum aku seperti ini?”
Namun, tak ada jawaban, hanya suara petir yang menggema, seolah langit pun ikut menertawakan kejatuhannya.
Malam itu langit tampak kelam, hujan baru saja berhenti tapi sisa air masih menetes dari atap rumah sakit. Di lorong yang panjang dan sunyi, langkah kaki Shaka terdengar tergesa. Wajahnya pucat, matanya merah karena kelelahan dan kemarahan yang tertahan. Begitu membuka pintu ruang perawatan ayahnya, pandangannya langsung tertuju pada sosok Merlin, yang duduk di kursi dengan wajah tegang, dan Karina yang berdiri di sisi ranjang dengan mata sembab.
“Bu…” suara Shaka serak, “bagaimana keadaan Ayah?”
Merlin menoleh pelan, tapi begitu matanya menangkap wajah anaknya, perempuan itu berdiri dengan sorot mata tajam. Tanpa peringatan,
plak!
tamparan keras mendarat di pipi Shaka.
Karina spontan menjerit kecil, “Ibu!” serunya sambil menahan tangan Merlin.
Namun Merlin menepis kasar. “Jangan bela dia, Karina! Kau bahkan tidak tahu apa yang sudah dia lakukan!”
Shaka menunduk, tidak melawan, tidak juga menatap ibunya. Suaranya lirih tapi berat, “Ini memang salahku, Bu. Aku yang biarkan Amara pergi. Aku yang kehilangan kendali atas semua ini.”
Merlin menatap anak laki-lakinya itu lama sekali, mata tuanya bergetar menahan air mata. “Kau bukan hanya kehilangan kendali, Shaka. Kau menghancurkan keluarga ini. Ayahmu terbaring tak berdaya karena perbuatanmu!”
Karina melangkah mendekat, mencoba menenangkan suasana. “Tapi, Bu, Mas Shaka juga sudah cukup menderita, semua ini...”
“Diam, Karina!” bentak Merlin, “Kau tidak tahu apa-apa tentang luka seorang istri yang kehilangan kepercayaan!”
Suasana hening, hanya suara alat medis yang berbunyi pelan dari sisi tempat tidur Tuan Wirantara. Shaka menatap ibunya dengan mata yang mulai berair, lalu perlahan berlutut di depan Merlin.
“Bu, aku mohon,” katanya pelan tapi jelas. “Tolong … katakan di mana Amara sekarang. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya sebelum terlambat.”
Merlin menatap anaknya yang kini berlutut di lantai dingin, tubuh tegap itu tampak goyah, rapuh untuk pertama kalinya. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang.
“Amara…” suaranya bergetar. “Amara sudah kembali ke kediaman Marvionne.”
Mata Shaka membulat, ia langsung berdiri, tanpa mengucap sepatah kata pun lagi. Tangannya meraih jaket dan melangkah cepat menuju pintu.
“Mas Shaka!” seru Karina, hendak mengejar. Tapi Merlin menahan pergelangan tangannya.
“Biarkan dia,” ucap Merlin lirih namun tegas. “Dia harus menghadapi ini sendiri.”
Karina menatap punggung Shaka yang menjauh di lorong rumah sakit, langkahnya berat tapi pasti. Dalam diam, gadis itu tahu, malam itu bukan sekadar perjalanan Shaka untuk menjemput Amara, melainkan juga perjalanan seorang pria yang akhirnya harus membayar semua kesalahannya. Karina diam-diam berdiri mengepalkan tangannya menatap kepergian Shaka.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka