NovelToon NovelToon
Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.

Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.

Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.

Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?

silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Suara deru mesin taksi malam itu terasa begitu lambat di telinga Dominic. Nafasnya terengah, satu tangannya menggenggam erat tubuh Elanor yang terkulai di pangkuannya, sementara tangan satunya menepuk-nepuk pipi adiknya pelan. “Bertahan, Ela... sebentar lagi sampai, jangan tidur...” suaranya serak, hampir pecah.

Begitu taksi berhenti di depan Rumah Sakit Cromwel, Dominic langsung membuka pintu dengan kasar dan menggendong Ela keluar. Para perawat yang sudah sigap menunggu di depan pintu IGD segera berlari menghampiri.

“Cepat! Siapkan ruangan!,” teriak Dominic, nadanya penuh perintah.

Ela langsung dilarikan masuk. Dominic berdiri di ambang pintu IGD, kedua tangannya masih bergetar, matanya tak lepas dari sosok adik bungsunya yang menghilang di balik pintu putih itu.

Sementara itu, di sisi lain kota, Daniel masih menyusuri jalan Olympus dengan mobilnya. Wajahnya menegang, tangannya berulang kali mengepal di setir. Ponselnya tiba-tiba berdering, nama sekretaris pribadinya muncul di layar. Dengan cepat ia menekan tombol hijau.

“Tuan,” suara sekretaris itu terdengar tergesa, “saya baru mendapat kabar... Nona Elanor berada di Rumah Sakit Cromwel.”

Daniel seketika menginjak rem keras. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan, dadanya naik-turun menahan syok. “Apa yang kau bilang?” suaranya berat, dingin sekaligus panik.

“Benar, Tuan... beliau dibawa ke rumah sakit keluarga.”

Tanpa menjawab, Daniel langsung membanting setir, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang—setiap detik perjalanan terasa begitu panjang, hanya satu bayangan memenuhi pikirannya, yaitu wajah adik bungsunya yang belum ia temui sejak siang tadi.

Di ruang tunggu IGD, Dominic duduk di kursi panjang berlapis besi dingin. Kedua tangannya berlumuran sedikit darah akibat luka kecil saat berkelahi dengan para preman tadi. Ia bahkan tak peduli. Yang ada di kepalanya hanya satu: Elanor.

Kakinya bergoyang resah, jemari mengetuk-ngetuk lutut tanpa henti. Sekali-sekali ia bangkit, berjalan mondar-mandir di koridor sepi itu, lalu kembali duduk dengan wajah menunduk, menyembunyikan mata yang mulai memerah.

"Kenapa aku bisa lengah?" gumamnya dalam hati. Bayangan adiknya yang gemetar tadi, yang menatapnya dengan mata penuh ketakutan, terus menghantui. Dada Dominic sesak, rasa bersalah menekan habis egonya yang biasanya keras kepala.

Sementara itu, di jalanan Olympus, mobil hitam Daniel melesat membelah malam. Lampu kota berganti-ganti melewati kaca depannya, tapi pandangannya lurus, tajam, penuh amarah.

Tangannya menggenggam setir begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Keringat dingin mengalir di pelipis meski AC mobil menyala penuh.

"Bagaimana bisa aku kecolongan begini?" pikirnya, rahangnya mengeras. Ia sudah menggerakkan begitu banyak orang untuk mencari, mengeluarkan berita, bahkan menaruh imbalan besar. Tapi hasilnya nihil, dan sekarang, justru dia yang menyesali semuanya.

Ponselnya masih tergeletak di jok samping, layar masih menyala dengan pesan terakhir dari sekretarisnya: “Nona Ela sudah ditangani tim medis, Tuan. Kami akan terus update tentang kondisi Nona Elanor.”

Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Di balik sorot matanya yang penuh tekanan, ada ketakutan besar yang tak bisa ia ucapkan, takut kehilangan satu-satunya adik yang menjadi alasan ia tetap bertahan di tengah kerasnya hidup keluarga Cromwel.

Rumah sakit keluarga Cromwel tidak seperti rumah sakit biasa. Bangunannya menjulang tinggi dengan dinding kaca yang berkilau diterpa lampu-lampu kota Olympus. Logo Cromwel Medical Center terpampang jelas di depan, dengan pilar-pilar megah yang membuat siapa pun tahu, ini bukan sekadar tempat berobat, tapi simbol kekuasaan dan nama besar.

Begitu memasuki lobi utama, suasana hening bercampur tegang. Lantai marmer putih berkilau, lampu gantung kristal berayun pelan di langit-langit tinggi. Di sisi kanan kiri, beberapa pasien VIP terlihat duduk dengan wajah lelah, tapi tetap terjaga karena aura ruangan membuat mereka enggan bersuara terlalu keras.

Malam itu, IGD berada dalam kondisi sibuk. Suara roda brankar berdecit pelan saat para perawat mendorong pasien yang baru datang. Bau antiseptik menyengat menusuk hidung, bercampur dengan suara mesin monitor yang berbunyi teratur

beep… beep… beep…

Di depan pintu IGD, beberapa staf medis berlalu lalang, sebagian membawa map tebal, sebagian lagi berkomunikasi lewat handy talkie, menyebut nama-nama dokter dengan terburu-buru. Aura profesionalitas dan kedisiplinan benar-benar terlihat, tapi tetap ada hawa cemas yang tak bisa ditutupi.

Para staf jelas tahu siapa yang sedang mereka tangani. Putri bungsu keluarga Cromwel. Nama besar itu sendiri sudah cukup membuat semua orang bekerja dua kali lipat lebih hati-hati. Tak ada yang berani salah, tak ada yang berani lengah.

Di ruang tunggu yang luas, kursi-kursi berderet rapi dengan pencahayaan temaram. Dindingnya dipenuhi lukisan abstrak mahal yang kontras dengan wajah-wajah tegang para pengunjung. Jam dinding digital terus berdetak, seolah memperlambat waktu, setiap menit terasa seperti jam.

Beberapa orang staf senior bahkan berdiri di sudut, berbisik-bisik sambil mengawasi jalannya situasi. Seolah menunggu kedatangan seseorang yang pasti akan datang

Dominic mondar-mandir di depan pintu IGD. Sepatunya berdecit tiap kali berbalik arah, wajahnya kusut, rahang mengeras menahan cemas. Sesekali tangannya mengacak rambutnya sendiri, gusar.

Pintu ruang tunggu terbuka mendadak. Daniel masuk dengan langkah panjang, dasi yang tadinya rapi sudah ditarik longgar, wajahnya basah oleh keringat dingin. Tatapannya langsung mencari ke segala arah sampai berhenti tepat pada sosok Dominic.

“Kau di sini…” suara Daniel berat, nyaris bergetar karena marah sekaligus lega. “Kenapa seharian penuh kau tidak memberitahuku kalau Elanor menghilang?!”

Dominic menghentikan langkah, menatap kakaknya itu dengan sorot mata tajam. “Lo serius nanya gitu ke gue, Dan? Seharian penuh lo di mana hah? Lo kakak tertua! Lo yang paling bertanggung jawab sama Ela! Tapi lo bahkan nggak sadar kalau dia nggak ada!”

Daniel melangkah lebih dekat, nada suaranya naik. “Aku tidak buta, Dominic! Aku mencari dia, menghubungi orang-orangku, menggerakkan semua jaringan yang aku punya. Aku tidak duduk diam seperti yang kau pikirkan!”

Dominic mendengus kasar. “Lo pikir itu cukup? Kalau aja gue nggak nemuin Ela di jalan tadi, lo tau apa yang bisa kejadian sama dia? Hah?! Dia nyaris ditarik preman, Daniel! Preman! Lo bisa bayangin kalau gue telat satu menit aja?”

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi padanya!” Daniel membalas cepat, suaranya bergetar. “Aku sudah memerintahkan sekretarisku menyiarkan berita, menggerakkan orang-orang—”

“Dan itu semua lo lakuin setelah berapa jam, hah?!” Dominic memotong, nadanya penuh sindiran getir. Dia maju mendekat, menuding dada Daniel. “Lo baru sadar Ela hilang setelah Bella ngomong! Seharian lo kemana? Duduk manis di kursi direksi? Nunduk di meja rapat? Sementara adik lo… adik lo itu sendirian, Dan!”

Daniel meremas tangannya, berusaha menahan amarah. “Kau pikir kau lebih baik, Dominic? Seharian penuh kau berputar-putar dengan Rio, dan tetap saja kau tidak menemukannya. Kau datang terlambat sama seperti aku!”

Itu cukup membuat Dominic meledak. Dia meraih kerah jas Daniel, mendorong tubuh kakaknya itu keras ke dinding ruang tunggu. Suara dentuman membuat beberapa perawat yang lewat menoleh kaget, lalu buru-buru menghindar.

“Lo jangan sotoy di depan gue!” Dominic menggeram, wajahnya hanya sejengkal dari Daniel. “Gue liat sendiri, dengan mata kepala gue, Ela ketakutan, ditarik kayak barang murahan! Lo tau rasanya?! Lo tau rasanya ngeliat adik lo sendiri hampir—” suaranya pecah, namun dia menggertakkan giginya, menahan kata-kata yang terlalu berat untuk diucapkan.

Daniel tak tinggal diam. Dengan kasar dia menepis tangan Dominic yang mencengkeram jasnya. “Kau tidak bisa menyalahkanku seolah-olah semua ini hanya salahku! Kau juga gagal menjaganya! Kau tahu betul Ela selalu keras kepala, tapi kau malah membiarkan dia berkeliaran sendirian!”

Dominic tertawa pendek, pahit. “Lo kira gue biarin? Gue nyari dia seharian! Gue muter kota sampe motor gue hampir mogok! Sementara lo? Lo baru nongol sekarang, dengan jas lo yang masih keliatan kayak habis rapat!”

“Diam, Dominic!” Daniel membalas, matanya membara. “Aku kakaknya, aku tahu bagaimana menjaga dia!”

“Lo?!” Dominic menunjuk wajah Daniel, suaranya meledak. “Lo bahkan nggak tau kalo Ela bolos sekolah dari pagi! Lo bahkan nggak ngerti gimana perasaan dia! Lo pikir duit lo, jabatan lo, semua itu bisa bikin Ela aman? Nggak, Dan! Sama sekali nggak!”

Hening mencekam menyelimuti ruang tunggu. Hanya terdengar suara mesin monitor dari dalam IGD dan napas kasar keduanya.

Daniel menatap balik, kali ini dengan mata yang memerah, bukan hanya amarah—ada penyesalan yang tertahan. Tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya. “Kau… kau pikir dengan cara kasarmu itu kau bisa melindunginya lebih baik dariku?”

Dominic maju selangkah lagi, wajahnya menunduk mendekat, hampir beradu dengan Daniel. “Kalau gue nggak ada di sana, lo pikir Ela masih selamat sekarang? Jawab, Dan! Jawab gue!”

Daniel terdiam, rahangnya mengeras, tapi matanya berguncang.

Udara di ruang tunggu menegang, siap pecah menjadi baku pukul kapan saja.

Udara di ruang tunggu semakin berat. Dominic masih menatap tajam, matanya merah karena emosi yang ditahan. Sementara Daniel berdiri dengan dada naik-turun, tangannya terkepal seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri.

“Jawab gue, Dan!” Dominic mendesak lagi, suaranya pecah dan penuh luka. “Kalau tadi gue nggak ada di sana, lo pikir Ela masih bisa selamat?! Atau lo mau pura-pura nggak tau aja, biar gampang nyalahin gue?”

Daniel menggeleng pelan, menunduk sebentar, lalu mengangkat kepalanya lagi dengan sorot mata penuh amarah. “Kau terlalu jauh, Dominic…” nadanya rendah, dingin, menusuk. “Aku tidak akan biarkan kau berbicara seolah-olah aku ini kakak yang gagal—”

Dominic mendengus. “Lo udah gagal, Dan. Dan gue ngeliat itu dengan mata kepala gue sendiri.”

Kalimat itu seperti bara terakhir yang menyulut api.

Daniel mendadak maju, kepalan tangannya menghantam wajah Dominic dengan suara "BUGH!" yang menggema di ruang tunggu. Dominic terdorong setengah langkah ke belakang, darah segar mengalir tipis dari sudut bibirnya.

Suasana langsung membeku. Beberapa perawat yang tadinya berani mengintip langsung kabur menjauh, pura-pura sibuk.

Dominic mengangkat tangannya, menyeka darah di bibirnya, lalu terkekeh pendek, tawa getir yang lebih mirip erangan binatang terluka. “Heh… ternyata lo bisa juga, Dan. Lo beneran berani mukul gue sekarang?”

Daniel tidak menjawab, hanya berdiri dengan bahu tegang, kepalan tangannya masih bergetar karena amarah.

Dominic maju selangkah, menatap kakaknya itu tepat di mata. “Kalau bukan karena kita lagi di rumah sakit, gue udah bales pukulan lo sekarang juga.”

Hening beberapa detik. Dua pasang mata itu saling menantang, sama-sama berkilat, sama-sama tak mau kalah.

Dan tepat ketika Dominic hendak mengangkat tangannya, pintu IGD terbuka dengan bunyi krek! yang begitu nyaring.

Seorang dokter keluar dengan wajah serius, menoleh ke arah mereka berdua yang masih berdiri tegang. “Tuan-tuan Muda Cromwel… kondisi Nona Elanor sudah stabil. Kami ingin berbicara dengan kalian berdua.”

Kalimat itu menggantung di udara, menjadi palu pemecah ketegangan yang hampir pecah jadi baku hantam. Daniel dan Dominic sama-sama menoleh ke arah dokter, tapi tatapan mereka masih penuh bara, jelas pertarungan ini belum berakhir.

1
Nanabrum
Ngakakk woyy😭😭
Can
Lanjuuutttt THORRRRR
Andr45
keren kak
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭
Andr45
wow amazing 🤗🤗
Can
Lanjut Thor
Cikka
Lanjut
Ken
Semangaaat Authooor, Up yang banyakk
Ken
Udah ngaku ajaaa
Ken
Jangan tidur atau jangan Pingsan thor😭😭
Ken
Nahh kann, Mulai lagiii🗿
Ken
Wanita Kadal 02🤣🤣
Ken
Bisa hapus karakter nya gak thor🗿
Ken
Kan, Kayak Kadal beneran/Panic/
Ken
Apaan coba nih wanita kadal/Angry/
Vytas
mantap
Ceyra Heelshire
gak bisa! mending balas aja PLAK PLAK PLAK
Ceyra Heelshire
apaan sih si nyi lampir ini /Panic/
Ceyra Heelshire
wih, bikin novel baru lagi Thor
Hazelnutz: ehehe iyaa😅
total 1 replies
RiaChenko♥️
Rekomended banget
RiaChenko♥️
Ahhhh GANTUNGGGGG WOYYY
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!