Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Memasuki Istana
Pagi itu, ketika kereta berhias jumbai sutra ungu milik Putri Agung Fangsu baru saja melewati gerbang timur istana, kabar balasan darinya telah sampai ke kediaman pribadi Menteri Liu.
Ruangan besar beraroma tinta dan kayu cendana itu dipenuhi empat orang menteri kepercayaan sang putri.
Menteri Liu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun, wajahnya tegas dengan janggut tipis yang sudah beruban, duduk di kursi utama.
Di sisi kirinya, Menteri Ritus, Li Kang, mengenakan jubah hijau zamrud dan memegang kipas lipat dari gading. Dua menteri lain yang terkenal sebagai pendukung setia putri—Menteri He dari Kementerian Hukum dan Menteri Bai dari Kementerian Pertanian—duduk dengan raut hati-hati, seolah menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mereka.
Sementara di sudut ruangan, asap dupa melayang perlahan, menciptakan bayangan tipis di dinding yang berhias kaligrafi.
“Bagaimana jawaban Tuan Putri?” tanya Li Kang, nada suaranya dibuat ringan, tetapi semua orang tahu betapa hati-hatinya ia sebenarnya.
Menteri Liu menatap kertas bersegel yang baru saja dibacanya, lalu mengernyit samar. “Yang Mulia meminta kita diam-diam mendukung Song Shicheng, tetapi secara terbuka, kita harus memberi suara pada Menteri Su.”
Kalimat itu membuat keheningan mendadak jatuh. Hanya suara kayu meja yang berderit saat salah satu menteri tak sadar menggenggam erat kursinya.
“Song Shicheng ada di faksi netral,” ujar Menteri Bai dengan nada menimbang, “mendukungnya mungkin akan menariknya kearah Sang Putri. Namun, mengapa mesti berpura-pura mendukung Menteri Su?”
Menteri He, yang terkenal berhati panas, mencondongkan tubuhnya. “Apakah Putri Agung kehilangan akal?”
Menteri Liu menutup matanya sejenak, menenangkan diri. Lalu, alih-alih menjawab langsung, ia memanggil seorang bawahannya yang menunggu di luar.
“Selidiki hubungan pribadi antara Menteri Su dan Menteri Chen. Segala bentuk surat, pertemuan, bahkan rumor yang sampai ke telinga pelayan. Aku ingin semua catatan ada di mejaku dalam dua hari.”
Para menteri yang hadir saling pandang. Mereka adalah veteran dalam politik istana, bagaimana mungkin mereka tidak mengerti maksud perintah itu?
Jika benar Menteri Su dan Menteri Chen memiliki hubungan pribadi, itu artinya Tuan Su ini pasti berhubungan dengan faksi Ibu Suri.
Mendukung Menteri Su di permukaan akan menimbulkan kesan bahwa kubu Putri Fangsu benar-benar mulai merangkul Menteri Su.
Dan langkah Putri Agung jelas dimaksudkan untuk menciptakan keretakan antara Ibu Suri dan Menteri Chen.
Hal ini terlihat seolah Tuan Chen diam-diam telah menyerahkan seorang kepercayaannya pada lawan.
Li Kang menutup kipasnya dengan bunyi “tak”.
Senyumnya samar, penuh makna. “Ah… sungguh tak terduga. Putri kita bermain catur dengan langkah yang lebih jauh dari yang kita bayangkan.”
Menteri He mengangguk dan tersenyum dingin. “Jika langkah ini berhasil, Ibu Suri sendiri yang akan bingung.”
Mereka semua tertawa kecil, tetapi di mata mereka tersimpan ketegangan. Setiap dari mereka paham, langkah Putri Fangsu kali ini adalah pedang bermata dua.
Sementara itu, di dalam istana kekaisaran, suasana berbeda.
Ruang kerja Kaisar Murong Xuan luas dan megah, dindingnya dihiasi lukisan gunung dan sungai yang melambangkan kejayaan dinasti.
Di luar jendela, sinar matahari menembus kisi-kisi, jatuh ke meja panjang penuh gulungan laporan dari enam kementerian.
Kaisar duduk di kursi naga kayu hitam, wajahnya tampan namun lelah, menandakan pagi yang dihabiskan dengan sidang panjang.
Di depannya, Putri Fangsu—Murong Chunhua—duduk santai di kursi tamu, seakan ruangan ini bukan istana kekaisaran, tetapi sekadar ruang teh pribadinya.
Ia mengenakan jubah sutra merah muda pucat dengan hiasan benang emas.
Rambut panjangnya ditata sebagian dengan hiasan emas, perakdan permata,l, sisanya jatuh bebas di bahu.
Jemarinya yang lentik memainkan cawan teh, sementara matanya tampak tidak terlalu peduli pada tumpukan dokumen yang membuat kaisar hampir menghela napas tiap menit.
Suasana hening. Hanya bunyi halus air teh yang dituangkan dari poci.
Akhirnya Kaisar meletakkan sikat kaligrafi dari tangannya, menatap adiknya lama sekali, sebelum berkata, “Xiao Hua… aku tahu kamu suka bersenang-senang. Tapi bisakah kamu sedikit menahan diri?”
Chunhua menoleh sekilas, alisnya terangkat, lalu kembali menatap kue berbentuk bunga di piring giok di hadapannya. Ia mengambil satu, menggigit perlahan. Manisnya kue tercium di udara.
Kaisar menghela napas. “Tahukah kamu seperti apa sikapmu ini? Kamu meminta aku menganugerahkan pernikahan. Meski aku menolak, kamu tetap memaksa. Lalu mendesak tanggal pernikahan dipercepat. Padahal… malam sebelumnya, kamu membuat seorang pria hampir mati di tempat tidurmu.”
Suara Kaisar rendah namun sarat tekanan.
“Aku sudah mengabulkan permintaanmu. Bisakah kamu menahan diri sejenak? Bukan hanya untuk wajah keluarga Jenderal An, tapi juga untuk nama keluarga kekaisaran.”
Ia mengetukkan jarinya ke meja. “Tahukah kamu? Beberapa menteri bahkan meminta gelarmu dicopot.”
Chunhua berhenti sejenak
Ada rasa bersalah singkat di dadanya, tetapi hanya sebentar.
Ia sadar, reputasi Putri Fangsu sudah busuk bahkan sebelum ia menempati tubuh ini. Jadi, menambah sedikit tidak berpengaruh apapun.
“Kakak Kaisar terlalu serius,” ucapnya dengan senyum samar, seolah kata-kata Kaisar hanyalah angin lalu.
Kaisar menutup mata, jelas lelah menghadapi adik satu ini.
Akan tetapi, sebelum ia sempat menambah kata, suara kasim dari luar pintu menggema:
“Yang Mulia Kaisar, Tuan An Changyi memohon audiensi.”
Sudut mata Chunhua berkedut, sekejap saja kilatan jengkel melintas.
Ruangan itu seakan menghirup udara baru. Kaisar mengangguk tipis. “Persilakan masuk.”
Pintu kayu berat terbuka. Seorang pemuda gagah melangkah masuk dengan tenang.
An Changyi mengenakan jubah biru laut resmi pejabat tingkat empat. Pinggangnya dihiasi sabuk kulit dengan ukiran awan perunggu, tanda kehormatan dari kaisar sendiri.
Ia menunduk dalam hormat. “Saya, An Changyi, memberi hormat pada Yang Mulia Kaisar dan memberi salam hormat pada Putri Agung Fangsu.”
Suara rendahnya membuat Chunhua menoleh lebih lama dari biasanya.
Kaisar tersenyum tipis, “Bangunlah, Tuan An. Duduklah.”
An Changyi duduk di kursi yang disediakan, sikapnya tegak, tatapannya lurus, penuh ketenangan.
Seolah ia tidak terganggu oleh kabar buruk tentang calon istrinya yang tersebar di sepenjuru kota.
Chunhua menyipitkan mata, menilai. Berusaha menebak pikiran An Changyi.
Kaisar membuka percakapan. "Changyi, sejak kecil Xiao Hua terbiasa dimanjakan dan bertindak bebas. Tapi, perilakunya kali ini memang ssdikit keterlaluan," tuturnya, "aku baru saja menegurnya."
"Chang ... yi? heh!" cibir Chunhua. Dia menyesap tehnya dengan suara keras.
Suasana mendadak tegang. Semua mata tertuju pada Chunhua, hanya An Changyi yang meliriknya sekilas.
“Saya hanya seorang yang diberi kehormatan besar, Yang Mulia. Bagi saya, menjaga nama baik keluarga An dan juga keluarga kekaisaran adalah kewajiban. Namun… selama Yang Mulia Putri tetaplah Putri, hamba tidak berhak mengatur perilakunya. Hamba hanya bisa memastikan, setelah menikah, ia tidak akan kekurangan seorang suami yang menjaga martabatnya.”
Kata-kata itu sederhana, tapi penuh bobot. Kaisar terdiam, menatap adik dan calon iparnya bergantian, kemudian tersenyum puas.
Tampaknya, An Changyi ini cukup mampu menahan kenakalan adiknya.
Chunhua, di sisi lain, merasakan geli bercampur dengan sedikit rasa tak nyaman.
Pria ini benar-benar tahu cara menjaga lidahnya, tahu cara menempatkan kata tanpa terlihat menyinggung. Seolah tanpa perlu meninggikan suara, ia sudah berhasil menancapkan wibawa.
Jari Chunhua mengetuk pelan bibir cawannya, senyumnya samar. “Bagus sekali,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Kaisar melirik sekilas, lalu tertawa rendah. Senyumnya makin dalam. “Akhirnya, sumber sakit kepalaku sedikit berkurang.”