Karena dosa yang Serein perbuat, ia dijatuhi hukuman mati. Serein di eksekusi oleh pedang suaminya sendiri, Pangeran Hector yang tak berperasaan. Alih-alih menuju alam baka, Serein justru terperangkap dalam ruang gelap tak berujung, ditemani sebuah sistem yang menawarkan kesempatan hidup baru. Merasa hidupnya tak lagi berharga, Serein awalnya menolak tawaran tersebut.
Namun, keraguannya sirna saat ia melihat kembali saat di mana Pangeran Hector, setelah menghabisi nyawanya, menusukkan pedang yang sama ke dirinya sendiri. Suaminya, yang selama ini Serein anggap selalu tak acuh, ternyata memilih mengakhiri hidupnya setelah kematian Serein.
Tapi Kenapa? Apakah Pangeran Hector menyesal? Mungkinkah selama ini Hector mencintainya?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Serein memutuskan untuk menerima tawaran sistem dan kembali mengulang kehidupannya. Sekaligus, ia bersumpah akan membalaskan dendam kepada mereka yang telah menyebabkan penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Longing Feeling
...****************...
Di tempatnya duduk saat ini, Serein memperhatikan dengan saksama bagaimana Marchioness Eleanor tengah mengajarkan salah satu bentuk dasar tata krama berjalan kepada Lucy. Di ruang latihan yang luas dan terang itu, cahaya matahari menyorot lembut melalui jendela tinggi, menyinari lantai marmer yang mengilap dan memantulkan bayangan kedua wanita itu.
“Ya ampun, Lady. Ini hanya cara berjalan dasar, ayo ulangi lagi,” suara Marchioness terdengar naik beberapa oktaf menunjukkan sisa kesabarannya.
Lucy terlihat mendengus pelan, ekspresi wajahnya jelas menggambarkan kejengkelan yang tertahan. “Saya lelah, Nyonya Eleanor. Tidak bisa kah kita istirahat dulu?” tanyanya dengan nada memelas manja yang sudah tidak asing lagi di telinga Serein.
Marchioness Eleanor melipat tangan di depan perut, sorot matanya kini tajam meski bibirnya tetap tersenyum kecil. “Lady, Anda sebentar lagi memasuki usia dewasa, bukan anak-anak lagi. Anda harus berlatih lebih keras.” Ujarnya dengan nada tegas, tak memberi ruang untuk bantahan.
Serein menahan tawanya. Ia bahkan sempat menundukkan wajah, pura-pura merapikan lipatan gaunnya demi menyembunyikan senyum geli yang muncul. Bagaimana tidak? Lucy yang terkenal keras kepala itu kini tampak kewalahan menghadapi latihan Marchioness Eleanor. Dengan enggan, gadis itu kembali mengenakan sepatu berhak tinggi yang tadi sempat ia lepas dengan penuh protes, lalu berdiri.
Langkahnya berat, tidak stabil, dan sesekali ia terpaksa merentangkan tangan seperti akan terjatuh. Satu-satunya hal yang berhasil ia pertahankan hanyalah dagu yang terangkat tinggi, seperti yang diajarkan, meski sorot matanya menyiratkan penderitaan yang tak terlukiskan.
Lucy pasti mengira Marchioness Eleanor adalah guru yang lembut—dan wajar jika ia mengira begitu. Selama ini, saat mengajar Serein, Marchioness memang tak pernah terlihat keras atau memaksa. Namun Lucy tidak tahu, sikap itu muncul bukan karena Eleanor seorang yang lembut, melainkan karena Serein selalu memenuhi ekspektasi sang guru dengan sempurna. Maka, ketika Lucy terus menunjukkan sikap bermalas-malasan, tidak heran jika Marchioness Eleanor pun menunjukkan sisi yang lebih disiplin.
Beberapa waktu kemudian, setelah sesi berjalan yang penuh penderitaan itu selesai, Marchioness Eleanor mengambil tempat duduk di kursi antik di ujung ruangan. Ia membuka buku catatannya sejenak, lalu menjelaskan ringkas mengenai materi yang akan mereka bahas esok hari.
Sebelum mengakhiri kelas, Marchioness Eleanor meraih sesuatu dari tas bawaannya. Ia mengeluarkan dua buah undangan berwarna krem keemasan dengan segel lilin khas kediaman Dietrich, lalu menyodorkannya pada Serein dan Lucy.
“Minggu depan saya akan mengadakan pesta teh kecil di kediaman, hanya akan dihadiri oleh anak didik saya—yang jumlahnya memang tidak seberapa. Saya harap kedua Lady De Fàcto bisa menghadirinya,” ucapnya dengan senyum anggun.
Serein menerima undangan itu dengan wajah tertarik, jari-jarinya menyusuri ukiran timbul pada tepi kertas yang menunjukkan bahwa undangan ini bukan sembarangan. “Hanya anak didik Anda?” tanyanya memastikan, pandangannya kini menelusuri mata Marchioness Eleanor.
“Benar, Lady,” jawab Marchioness dengan anggukan ringan. “Saya hanya mengajar di tiga kediaman. Kalian juga bisa saling mengenal satu sama lain nantinya.”
Serein mengangguk pelan. Pesta teh itu terdengar sederhana, tapi mengingat bahwa hanya sedikit yang diajar langsung oleh Marchioness Eleanor, artinya tamu yang hadir adalah gadis-gadis terpilih. Acara semacam ini jelas bukan sesuatu yang bisa ia lewatkan begitu saja
***
Saat melewati salah satu lorong di dalam mansion yang sunyi, Serein melihat sebuah pintu yang terbuka. Ia ingat, ruangan itu adalah kamar mendiang sang ibu, Duchess sebelumnya.
Serein menatap penasaran, begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada sosok pria tegap di tengah ruangan dengan Punggung tegap yang membelakangi pintu.
“Ayah?” panggil Serein dengan suara pelan, ia melangkah mendekat.
Duke Draka tampak cukup tersentak. Bahunya menegang sesaat sebelum ia menoleh pelan ke arah putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi mata kelamnya menyiratkan sesuatu yang dalam—sebuah kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Serein mengikuti arah tatapan sang ayah. Di hadapan Duke Draka, berdiri sebuah potret besar yang terpajang di dinding utama ruangan. Potret itu... seharusnya tertutup kain putih, seperti hampir semua benda lain di kamar itu yang telah lama tidak tersentuh. Namun kini terbuka, membiarkan cahaya sore menyorot lembut ke wajah wanita cantik dalam lukisan itu.
Serein menatap lukisan itu sejenak, kemudian beralih menatap ayahnya. “Apa, Ayah... merindukan Ibu?” tanyanya.
Duke Draka mengangguk pelan, matanya tak lepas dari potret sang mantan istri. “Sangat,” jawabnya dengan suara serak tertahan. “Ayah sangat merindukan ibumu.” Ia mengalihkan pandangan pada Serein, menatapnya seolah sedang melihat bayangan masa lalunya dalam sosok sang putri. “Suara dan senyuman ibumu masih terekam jelas di ingatan Ayah sampai sekarang. Apalagi, melihatmu yang semakin dewasa... kau semakin mewarisi kecantikan ibumu, Serein.”
Wanita cantik di dalam lukisan itu—Serena Rein de Fàcto—terlihat anggun dengan rambut pirang terang yang menjuntai lembut di bahunya dan mata emerald yang teduh dan penuh kelembutan. Fitur-fitur itulah yang kini terlihat hidup dalam diri Serein. Ia mewarisinya secara sempurna dari Duchess Serena, wanita bangsawan terakhir dari garis keturunan Marquess Gillbert yang telah lama punah. Membuat Serein tak memiliki seorang pun kerabat dari pihak ibunya.
Namun meski secara fisik Serein mencerminkan ibunya, dalam sikap dan pembawaan, ia justru sangat menyerupai sang ayah. Tenang, pendiam, dan penuh perhitungan.
Serein memandangi lukisan itu lebih lama, membiarkan sepi menyelubungi mereka berdua. “Aku juga,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. “Bahkan sampai saat ini... aku juga masih tidak percaya jika Ibu sudah tiada.”
...****************...
tbc.