SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MISI
Burung kerjaan burung seperti apa?
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika barisan kecil itu berkumpul di pelataran barat istana. Embun membasahi tanah berbatu dan dedaunan di sekitarnya. Burung-burung hutan berkicau pelan, seakan tahu bahwa hari ini akan berbeda. Daren berdiri tegak, meski tubuhnya terasa sedikit gemetar. Jubah merah tua yang dikenakannya sedikit kebesaran, dan pedang baja yang tergantung di pinggangnya terasa berat, tapi ia tak mengeluh. Ini adalah misi pertamanya.
Komandan Kanel, pria yang berusia tiga puluh tahun itu... Menatap kedepan dengan sorot mata tegas, berdiri di sampingnya. Ia menyerahkan sebuah kantung kecil berisi makanan kering dan sebotol air.
"Jangan anggap ini sekadar pencarian burung, Daren. Gagak Kaisar adalah pembawa pesan kerajaan. Jika jatuh ke tangan yang salah, bisa berarti bencana," ujar Kanel dengan suara pelan tapi tegas.
Daren mengangguk, mengerti. Ia menoleh ke arah Putra Mahkota Gerald yang berdiri beberapa langkah darinya, diapit oleh dua sahabatnya. Jaden dan Benson dengan mata jahil, sibuk mengelap sepatunya dari lumpur.
"Burung... burung... Aku tak percaya kita harus berangkat pagi-pagi buta demi burung!" gerutu Benson, membuat Daren menatapnya tajam.
"Kalau burung itu membawa pesan rahasia untuk kaisar dari perbatasan utara, aku yakin kamu juga akan bangun tengah malam," sahut Jaden datar.
Gerald tak menimpali. Wajahnya serius. Ia tahu seberapa besar tanggung jawab yang dipikulnya.
Dari lorong Karin muncul sekaligus bersama magangnya. Ia berjalan mantap, meski bayangan lelah terlihat di wajahnya. Di belakangnya, Fyona menggenggam erat tangan Karin. Wajahnya tampak gugup, bahkan sedikit memerah karena malu berada di antara para prajurit yang tengah berbaris rapi.
“Tunggu!” seru Karin, suaranya cukup lantang untuk menghentikan langkah mereka.
Kanel menoleh, begitu pula Daren, karin mendekat, lalu menoleh ke arah Kanel. “Bawa anak ini. Dia tidak berhenti menangis, ingin ikut menemani temannya ke hutan.”
Kanel mengangkat alis, lalu menatap Fyona. “Benarkah?”
Fyona menunduk malu, tapi dengan cepat berlari ke arah Daren sambil memeluk erat tas kecil berisi obat-obatan.
Daren mengamati pakaian Fyona. Tidak lagi compang-camping seperti biasanya. Sekarang ia mengenakan pakaian ringan berwarna hijau daun, seragam sederhana para calon tabib istana. Sedikit kebesaran, tapi bersih dan layak.
Daren menarik napas panjang. “Kamu tidak usah ikut. Ini bukan misi biasa.”
Fyona menggeleng cepat, matanya bersinar tegas. “Tidak. Aku mau menemani Daren.”
Kanel melangkah mendekat, menyilangkan tangan di depan dada sambil menahan senyum kecil.
“Kalian ini seperti orang dewasa saja,” komentarnya ringan. Ia terkekeh pelan melihat dua anak kecil itu berdiri seolah sedang berunding penting. “Baiklah. Kalau begitu, ayo bersiap. Kita akan berangkat sekarang.”
Mereka pun berangkat, menunggangi kuda dengan dipandu oleh dua pelatih senior bersenjata lengkap. Jalanan berkelok menuju hutan selatan itu cukup menantang. Rerimbunan pohon tua menjulang tinggi, menciptakan bayangan panjang yang mengintimidasi. Aroma tanah basah dan dedaunan busuk menyelimuti udara.
Awalnya perjalanan berlangsung tenang. Mereka bertukar sedikit candaan, Benson sesekali menjahili Jaden, dan Daren menjaga jarak, masih merasa canggung menjadi bagian dari kelompok ini. Namun Kanel sesekali menoleh ke arahnya, memberikan anggukan kecil penuh keyakinan.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.
Suara ranting patah. Angin berhembus membawa aroma besi tercium. Semua kuda berhenti, Daren yang duduk di belakang pelatih senior, melihat sekeliling. Ia memicingkan mata.
"Berhenti," bisik Kanel dari atas kudanya. Tangan prianya terangkat, memberi sinyal pada semua orang.
Dari balik semak dan batang pohon besar, makhluk-makhluk itu muncul. Tubuh tinggi besar, kulit gelap keabu-abuan, taring panjang, dan mata kuning yang menyala buas. Mereka mengendap, mengepung tanpa suara. Jumlah mereka lebih dari sepuluh.
“Suku Umbra...” desis Jaden, suaranya tercekat.
“Mereka pemakan manusia,” tambah pelatih senior di sampingnya, mencabut pedang.
Jeritan kuda terdengar. Beberapa dari Umbra sudah menyerbu. Komandan Kanel berteriak, "Lindungi Putra Mahkota! Formasi bertahan!"
Daren membeku. Tangannya gemetar di gagang pedang. Tapi saat matanya menangkap satu sosok Umbra meloncat ke arah Gerald dari sisi kanan... refleks tubuhnya mendahului pikirannya.
"Fyona bersembunyi di balik semak, cepat!" Pinta Daren waspada.
Fyona bergegas bersembunyi di balik semak, sedari dulu dia memang kurang handal untuk bertarung dan jika ia terluka Daren akan marah padanya.
Dengan teriakan pendek, Daren melesat, mendorong tubuh Gerald hingga mereka jatuh ke tanah, lalu mengayunkan pedangnya. Logam bertemu daging. Darah hitam pekat muncrat dari bahu makhluk itu. Suara geramnya membuat semua orang menoleh.
Benson melongo. Jaden bersiap menembak panah. Gerald terdiam, menatap Daren yang berdiri di depannya, napasnya tersengal, tubuh kecilnya melindungi tubuh sang pangeran.
“Bangun... dan ambil senjatamu!” bentak Daren.
Gerald, yang biasanya memberi perintah, kini hanya bisa mengikuti. Ia menarik pedangnya dan berdiri di samping Daren.
Pertempuran berlangsung sengit. Kanel melawan tiga Umbra sekaligus, Jaden dan Benson bekerja sama untuk menjatuhkan satu per satu lawan mereka. Pelatih senior melindungi sisi belakang. Tapi jumlah mereka kalah.
Daren terluka di bahu, sebuah cakaran tajam nyaris menghantam wajahnya jika Gerald tak menariknya ke belakang. Untuk pertama kalinya, mereka saling menutupi punggung masing-masing.
“Kalau kita selamat hari ini, aku akan berhenti mengeluh soal burung,” ujar Benson, tersengal.
“Dan belajar cara mengikat sepatu dengan benar,” tambah Jaden tanpa ekspresi.
Daren mengerahkan seluruh tenaga terakhirnya untuk menusuk Umbra yang mencoba menyerang Benson dari belakang. Mereka akhirnya berhasil memukul mundur sebagian suku Umbra. Sisanya melarikan diri saat melihat sekelompoknya mati.
Tubuh-tubuh kelelahan tergeletak di tanah. Nafas berat. Senjata tercabik. Tapi mereka selamat.
Fyona berlari menghampiri Daren yang tergeletak dengan luka di lengan dan bahunya. Matanya membulat, napasnya tercekat.
Ia tidak pernah sanggup melihat Daren terluka, hatinya selalu hancur saat melihat darah mengalir dari tubuh sahabat kecilnya itu.
Tanpa berkata apa-apa, Fyona segera berlutut, mengeluarkan botol kecil berisi ramuan obat dan sehelai kain bersih dari tasnya. Kali ini, bukan bajunya yang ia robek seperti dulu. Ia sudah lebih siap.
“Ini pasti sakit… tunggu sebentar,” bisiknya, pelan tapi penuh perhatian. Tangannya terlatih saat mulai membersihkan luka, lalu membalutnya dengan hati-hati.
Daren hanya menahan napas, menatap sahabatnya yang sibuk bekerja dengan wajah penuh cemas.
"Fyona… obati juga yang lain,” ucap Daren lirih. “Tunjukkan pada mereka kalau kau juga bisa.”
Fyona terdiam. Kata-kata itu menghentak dadanya dengan penuh harapan, dan juga kepercayaan.
Ia mengangguk pelan. Meski sedikit ragu, ia berdiri. Setelah memastikan Daren baik-baik saja, Fyona melangkah pelan menuju salah satu sosok tinggi yang duduk bersandar di dekat pohon: Kanel.
Ia menunduk sopan. “Apakah aku boleh… mengobati Komandan?” tanyanya lembut, suaranya terdengar gugup.
Kanel sempat terkejut, namun kemudian tersenyum hangat.
“Tentu. Lakukanlah, Tabib kecil,” jawabnya sambil mengangguk.
Fyona tersenyum, lalu berjongkok di sisi Kanel, siap menolong dengan tangan kecil yang mulai percaya diri.
Gerald yang masih tergeletak menatap Daren dengan pandangan berbeda. Bukan karena status atau keturunan, tapi karena apa yang Daren lakukan di medan nyata.
“Terima kasih,” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Daren tak menjawab. Ia hanya menunduk, pedangnya digenggam erat meski tangannya bergetar.
Kanel masih duduk bersandar pada batang pohon besar itu, membiarkan tubuhnya beristirahat sementara Fyona menyelesaikan perban di lengannya yang terluka. Angin hutan sore menyapu rambutnya, namun matanya tetap awas, mengamati sekeliling.
Tatapannya tajam, menembus sela-sela pepohonan yang mulai gelap. Jemarinya menggenggam gagang pedang di pangkuannya, seolah nalurinya belum bisa benar-benar tenang.
Suku Umbra… rahangnya mengeras. Mengapa mereka bisa masuk sejauh ini?
Ini bukan perbatasan yang biasa mereka incar. Kawasan ini adalah wilayah penjagaan utama kerajaan. Terlalu dekat dengan rute diplomatik dan rute logistik istana.
Kecurigaan tumbuh cepat di dadanya.
“Ini bukan serangan acak. Mereka tahu jalur ini. Mereka sedang mengincar…”
Ia menoleh sekilas ke arah Putra Mahkota yang sedang duduk dengan napas memburu, tubuhnya dilindungi oleh Daren dan yang lain.
★★★
“kau...”
“Ini berbahaya,” gumamnya nyaris tak terdengar, tapi nada suaranya berat, penuh dengan waspada dan kecemasan yang tersembunyi rapi di balik sikap tenangnya.